[Prediksi FFI] Aktor Utama Terbaik FFI 2019; Kualitas yang Membaik
FFI akan diselenggarakan Minggu, 8 Desember 2019. Kami, AkuAktor setidaknya mulai rajin mengikuti FFI sejak tahun lalu. Terutama pada nominasi Aktor Utama Terbaik FFI. Tahun lalu, kami dibuat terkejut dengan masuknya salah satu nama yang menurut kami tidak cukup layak untuk masuk. Kalian bisa membaca Prediksi Aktor Utama Terbaik FFI 2018 disini.
Lalu semenjak itu, kami merasa penting untuk menjadi pemerhati FFI terutama pada bagian keaktoran. Terlebih ketika kami punya visi membuat keaktoran Indonesia menjadi lebih baik dan juga niat FFI yang ingin menjadi tolak ukur kualitas segala aspek perfilman Indonesia termasuk keaktoran. Karena FFI ingin menjadi barometer, maka mereka tak bisa main-main soal memilih siapa saja yang bisa masuk nominasi FFI.
FFI tahun ini sudah merilis nama-nama yang masuk nominasi Aktor dan Aktris Utama Terbaik, serta Aktor dan Aktris Pendukung Terbaik. Beberapa sudah kami duga, beberapa yang lain membuat kami cukup terkejut dan bertanya-tanya. Tapi kali ini, untuk kategori Aktor Utama Terbaik FFI 2019, kami tak terkejut dan tak bertanya-tanya. Tidak seperti tahun lalu yang membuat bukan hanya kami, tapi juga banyak orang terkejut.
Seperti tahun lalu, tahun ini kami juga membuat prediksi kira-kira siapa yang akan mendapatkan penghargaan aktor terbaik. Siapa yang punya kans terbesar dan kenapa? Berikut pembahasannya;
Muhammad Khan Di Kucumbu Tubuh Indahku 21,5%
Ya, dialah nama pertama yang punya kans terbesar mendapatkan Aktor Utama Terbaik FFI tahun ini. Kucumbu Tubuh Indahku memang film layar lebar pertamanya. Tapi Kucumbu Tubuh Indahku bukan karya keaktoran pertamanya. Lelaki yang juga kami kenal baik ini sudah menggeluti dunia seni peran setidaknya sejak 2009 hingga sekarang. Sejujurnya agak sulit meletakkan Khan di urutan teratas dengan prosentase kemenangan terbesar. Kami berusaha sebaik mungkin untuk menghilangkan hubungan personal dan melihat karyanya secara objektif. Dan inilah hasilnya. Khan, panggilan akrabnya memang memiliki kans paling besar, tapi hanya 21,5% dan hanya berjarak 0,5% dari Ringgo Agus Rahman. Kenapa?
Kami berusaha mengingat kembali permainannya di Kucumbu Tubuh Indahku dan membaca acting review yang pernah kami buat. Jika kita melihat keaktoran secara utuh, Khan memiliki capaian yang sedikit lebih baik dari pada Ringgo. Mulai dari bagian fisiologis yang ia ubah sedemikian rupa. Kalian bisa melihatnya sendiri dari mulai bentuk tubuhnya, cara berjalannya, hingga yang paling detail, caranya memainkan tangan dan tempo tokohnya. Pada dimensi fisiologis Khan sedikit berada di depan Ringgo Agus Rahman. Dimensi yang tidak bisa kita kesampingkan. Meskipun, kami merasa bahwa para voter FFI punya kecenderungan untuk tidak memilih bagus tidaknya permainan seseorang berdasarkan capaian fisik. Mereka cenderung memilih berdasarkan permainan emosi.
Lalu bagaimana dengan dimensi psikologis yang kemudian salah satu ejawantahnya ada pada permainan emosi? Jika dibandingkan dengan Ringgo, Lukman Sardi, dan Angga Yunanda, Khan bertarung sengit. Dengan Ringgo misalnya. Kami bahkan bisa mengatakan bahwa kalau soal permainan emosi, Ringgo punya capaian yang sedikit lebih baik dari Khan. Kami awalnya menduga karena porsi masing-masing tokoh mereka. Tapi tidak, ini bukan soal porsi. Tapi soal bagaimana si aktor bisa memainkan emosinya dengan berapa pun porsi yang diberikan padanya.
Pada Kucumbu Tubuh Indahku, emosi Khan memang dijalankan dengan baik. Ada banyak adegan dengan konten emosi yang dalam dan kompleks. Tapi kami merasa emosi yang Khan mainkan “tidak sangat realis”, tidak serealis Ringgo.
Maksudnya begini. Dalam menulis prediksi ini, kami tentu mempertimbangkan juga bagaimana “selera” para voter terhadap permainan emosi. Di Ringgo, emosi-emosi yang terjadi adalah emosi sehari-hari yang dekat. Sehingga lebih mudah menyentuh dari pada Khan. Adegan emosional Khan memang cenderung “lain”. Sehingga butuh cara pandang yang berbeda dan upaya lebih untuk menikmati adegan-adegan emosional tokoh ini.
Sehingga, dalam perkiraan kami, jika mencoba memposisikan diri pada bagaimana para voter menilai, permainan emosi Khan tidak semenyentuh Ringgo. Menurut kami, jika melihat kecenderungan pemenang dan pemilihan nominasi FFI, adegan emosional Khan tidak memenuhi dahaga pasar. Itulah yang membuat kami merasa bahwa Ringgo dan bahkan Angga Yunanda bermain emosi dengan lebih baik dari pada Khan. Bukan, bukan lebih baik, tapi lebih “memenuhi dahaga pasar” dari pada Muhammad Khan.
Ringgo Agus Rahman di Keluarga Cemara 21%
Ringgo Agus Rahman kami letakkan di posisi kedua dalam prediksi Aktor Utama Terbaik FFI 2019. Ada banyak alasan kenapa Ringgo ada di posisi ini. Pertama karena Ringgo untuk pertama kalinya sepanjang kami menyaksikan permainannya, memiliki capaian fisiologis. Dimana capaian fisiologis adalah satu hal yang sangat amat langka dicapai aktor-aktor Indonesia. Alasannya banyak. Soal waktu dan lain sebagainya. Tapi di Keluarga Cemara, Ringgo berhasil menciptakan capaian fisiologis yang menarik. Tapi jauh di bawah Muhammad Khan. Kenapa?
Pada capaian fisiologis, Ringgo tidak menciptakan cara berjalan yang berbeda, cara memandang yang berbeda, cara memainkan tangan atau bahasa tubuh lain sedetail Muhammad Khan. Dalam soal fisiologis, penciptaan Ringgo ada pada suara yang sedikit diubah dan ritme tokoh. Itu kenapa ia ada di posisi kedua dengan 21%.
Tapi seperti yang kami katakan, Ringgo mengungguli Muhammad Khan dalam soal permainan emosi karena dalam Keluarga Cemara, adegan-adegan emosional Ringgo lebih “memenuhi dahaga pasar” dari pada Muhammad Khan. Kami harus memasukkan hal tersebut sebagai salah satu poin penilaian.
Sementara jika dibandingkan dengan nominator yang lain, seperti misalnya Lukman Sardi, atau Reza Rahadian, sekali lagi, permainan emosi Ringgo lebih “memenuhi dahaga pasar” dari pada Lukman dan Reza. Dan kenapa Ringgo ada di atas Lukman, sederhana saja. Karena Ringgo memiliki capaian fisiologis yang lebih baik dari pada Lukman Sardi. Meskipun jika kita melihat capaian psikologis, Ringgo, Lukman, Khan, dan Angga bersaing ketat.
Lalu kenapa Ringgo ada di atas Lukman Sardi dan Reza Rahadian? Padahal Reza kan menciptakan fisiologis lebih baik dari pada Ringgo, bahkan dari Muhammad Khan. Kalau yang ini tentu soal porsi. Kami ulangi berkali-kali, Ringgo lebih “memenuhi dahaga” para voter secara emosional dari pada Reza Rahadian. Jika kami menilik kecenderungan para voter memilih, mereka seperti Oscar pada kategori Best Actress. Dimana dimensi yang lain seperti fisiologis atau sosiologis tidak sangat diperhatikan, sementara dimensi psikologis atau permainan emosi jadi perhatian utama.
Lukman Sardi di 27 Steps of May 19%
Apa yang membuat Lukman Sardi ada di posisi ketiga dengan 19%? Lukman Sardi memiliki capaian yang baik pada permainan emosi. Seperti yang kita lihat di film 27 Steps of May, permainan emosi Lukman Sardi cukup banyak, kompleks, dan banyak yang meledak-ledak. Tipikal permainan emosi yang disukai voter FFI. Itu yang setidaknya membuat Lukman Sardi ada di posisi ketiga.
Tapi jika kita melihat permainan Lukman Sardi lebih detail, maka kita akan melihat permainan emosi dengan bentuk yang sama seperti permainan emosinya di film yang lain. Hal itulah yang membuatnya ada di posisi ketiga, di bawah Ringgo Agus Rahman dan Muhammad Khan. Selain itu Lukman Sardi juga tak memiliki capaian fisiologis sama sekali.
Jika kalian sudah menonton filmnya dan sudah membaca acting review kami, maka kalian akan bisa melihat bahwa dalam dimensi fisiologis, Lukman Sardi hampir tidak berubah. Cara bicara, warna suara, cara berjalan, detail gesture tubuh, semuanya sama seperti permainannya di film yang lain. Soal capaian fisiologis, Lukman Sardi bahkan sebenarnya tidak sebaik Reza Rahadian.
Jika kami urut capaian para aktor ini secara fisiologis, maka Reza Rahadian ada di urutan pertama, lalu di urutan kedua dan ketiga ada Muhammad Khan dan Ringgo Agus Rahman yang berbagi nilai sama. Sementara di urutan ke empat ada Abimana Aryasatya, dilanjutkan dengan Lukman Sardi di urutan ke-5 dan Angga Yunanda di urutan ke-6. Hal ini pulalah yang membuat Lukman Sardi kami letakkan di posisi ketiga.
Tapi ingat, voter FFI sangat suka dengan permainan emosi yang meledak-ledak, kompleks, dan dalam. Jika melihat kecenderungan tersebut, maka 19% dan posisi ketiga layak disandang Lukman Sardi.
Reza Rahadian di My Stupid Boss 2 18,5%
Kalau Reza Rahadian, ada banyak pertimbangan kenapa kami meletakkan peraih Piala Citra 3 kali ini di posisi keempat. Seperti yang kami bilang, jika kami hanya melihat capaian fisiologis saja, maka Reza Rahadian adalah pemenangnya. Itu sudah jelas. Warna suara Reza berubah, bentuk tubuhnya berubah, cara berjalan, cara merespon, cara menjalankan emosi, dan dimensi fisiologis Reza diciptakan jauh lebih baik dari pada Muhammad Khan, Ringgo Agus Rahman, dan semua nominator Aktor Utama Terbaik FFI 2019.
Tapi kenapa ia ada di posisi keempat? Pertama, dalam My Stupid Boss 2, Reza tidak mendapatkan banyak porsi bermain emosi yang dalam dan kompleks. Tentu saja, karena ini film komedi. Dalam film tersebut bahkan hampir tidak ada adegan yang emosional dan menguras air mata atau menggetarkan seperti “selera para voter”. Lalu alasan kedua yang menurut kami juga paling logis adalah Reza pernah mendapatkan FFI untuk tokoh yang sama.
Seperti yang kalian tahu, Reza Rahadian sebelumnya sudah pernah mendapatkan Pemeran Utama Pria Terbaik untuk permainannya sebagai Bossman di film My Stupid Boss. Film My Stupid Boss 2 adalah sekuel dari film tersebut. Dan tokohnya sama. Maka, jika kami berpikir secara logis, hal itu bisa menjadi sebuah pertimbangan para voter untuk tidak memilih lagi Reza Rahadian. Entah karena “Reza udah pernah dapet FFI untuk tokoh ini, masak dapet lagi” atau soal peningkatan kualitas pemenang. Jelas saja, kalau Reza dapat lagi tahun ini, bukankah itu artinya secara kualitas keaktoran, FFI berhenti tumbuh? Jelas! Itu karena mereka memilih aktor yang sama untuk tokoh yang sama. Terlebih ketika ada banyak aktor lain dalam kategori ini yang menawarkan capaian yang baru dalam keaktoran Indonesia. Dengan pertimbangan macam itu, maka tepat rasanya jika kami meletakkan Reza Rahadian di posisi keempat dengan 18,5%.
Angga Yunanda di Dua Garis Biru 11%
Jujur saja, kami agak terkejut ketika mendengar nama anak ini masuk dalam nominasi FFI. Jujur saja juga bahwa kami baru menonton filmnya setelah kami tahu bahwa ia masuk nominasi. Kenapa? Pertama, karena Angga Yunanda tak memiliki track record yang baik dalam keaktoran. Namanya hampir tak pernah kami dengar. Kedua, film yang dimainkannya, sebelum kami menonton, adalah film yang sepertinya tidak akan sangat memuaskan dahaga keaktoran kami. Jadi kami tidak menontonnya. Meskipun, anggapan kami salah.
Pada perhelatan JAFF 2019, kami akhirnya menyempatkan menonton film Dua Garis Biru. Kami awalnya menduga Angga Yunanda mendapatkan posisi sebagai nominator karena soal politis. Karena filmnya laris, dia anak muda, sehingga harus ada “pembagian porsi” agar FFI juga “ramah generasi millennials”. Tapi tidak sepenuhnya begitu setelah kami selesai menonton.
Permainan Angga Yunanda memang baik terutama pada ranah permainan emosi. Di film Dua Garis Biru, Angga Yunanda berhasil memainkan emosi tokohnya dengan sangat baik, tidak berlebihan (seperti kebanyakan sinetron kita yang kualitasnya amburadul itu), dan bahkan ia lebih baik dari nominator tahun lalu yang membuat kami terkejut kenapa namanya bisa masuk. Selain itu, yang membuat kami merasa Angga pantas masuk nominasi adalah karena jika dibandingkan dengan permainan Iqbaal Ramadhan di Dilan 1990, Angga lebih hidup. Ia lebih punya dinamika dalam permainannya. Angga juga mendengarkan jauh lebih baik dari pada Iqbaal.
Selain soal bahwa permainan emosinya memang lebih baik dari Iqbaal, dalam daftar pendek film yang sudah dipilih kurator, tidak ada nama lain yang rasanya pantas untuk masuk nominasi. Kami sempat mengira Daniel Mananta di A Man Called Ahok akan masuk. Tapi ternyata tidak. Kami menduga karena Daniel Mananta tidak sangat mirip Ahok dan permainan emosinya tidak sekompleks Angga.
Tapi kenapa ia ada di posisi kelima? Iya, jika soal permainan emosi, Angga memang bisa disejajarkan dengan Lukman Sardi, Ringgo, dan Muhammad Khan. Tapi ingat, keaktoran bukan hanya soal memainkan emosi. Tapi juga ada capaian fisiologis, sosiologis, hingga soal konsistensi permainan. Nah, dalam dimensi lain selain emosi, Angga tidak lebih baik dari para nominator yang lain. Bahkan ia ada di posisi terakhir jika kita melihat capaian dimensi fisiologisnya.
Abimana Aryasatya di Gundala 9%
Kok bisa Abimana ada di posisi terakhir? Bahkan di bawah Angga Yunanda, yang bisa juga dibilang “junior’ dalam dunia seni peran. Jawabannya gampang. Jika kita melihat permainan emosi, Angga jelas jauh lebih baik dari Abimana. Kalau yang satu ini benar-benar persoalan porsi. Ingatkan kalau di Gundala hampir tidak ada emosi yang sebesar, sedalam, dan sekompleks Dua Garis Biru? Itulah satu dari dua hal utama yang membuat Abimana ada di posisi terakhir. Selain soal porsi permainan emosi, capaian Abimana pada dimensi lain juga tak cukup banyak di Gundala.
Misalnya pada dimensi fisiologis. Sejauh yang kami lihat dan sudah kami tulis di Acting Review, Abimana hanya nampak jauh lebih kurus dari ia di luar film dan di film yang lain. Tapi soal cara berjalan, cara menunjuk, cara memandang, detail gesture yang lain dan warna suara, Abimana hampir tidak memiliki capaian. Seperti yang sudah kami sebutkan di atas, jika kami urutkan capaian para aktor ini dalam dimensi fisiologis saja, maka Abimana ada di posisi kelima di atas Angga Yunanda. Kenapa? Soal fisiologis Angga tidak memiliki capaian sebaik Abimana.
Tapi kami rasa Abimana memang pantas ada di nominasi. Selain karena permainannya, juga karena ia dan Gundala adalah tonggak sejarah. Abimana bisa kami bilang sebagai aktor pertama yang masuk FFI dengan bermain di film superhero. Momentum ini tak bisa dibiarkan begitu saja.
Aktor Utama Terbaik FFI 2019; Kualitas yang Membaik
Melihat nama-nama yang masuk nominasi aktor utama terbaik FFI, kami merasa cara FFI memilih lebih baik dari tahun sebelumnya. Jika melihat semua aktor yang masuk nominasi aktor utama terbaik ini, mereka semua memiliki nilainya masing-masing. Dimana nilai-nilai itu membuat mereka pantas mendapatkan tempat di kategori ini.
Soal siapa yang menang, sekali lagi bahwa tulisan kami ini hanya prediksi. Sangat mungkin meleset. Terlebih ketika kami hanya melihat FFI dari luarnya saja. Mungkin saja 203 voter FFI itu memiliki pikiran yang sama seperti kami atau sebaliknya. Kami hanya berdoa, semoga siapapun yang menang, dipilih karena kualitas. Bukan karena siapa kenal siapa yang akhirnya membuat supremasi tertinggi perfilman Indonesia tidak sangat kredibel.
Kenapa kami bilang begitu? Sebenarnya kami merasa ada yang tidak beres semenjak asosiasi mengirimkan perwakilan mereka. Perlu diketahui, bahwa ada 4 asosiasi keaktoran di Indonesia yang terdaftar di FFI. Mereka adalah PARFI, Rumah Aktor Indonesia, PAFINDO, dan PARFI 56. Sebenarnya ada 1 lagi asosiasi yakni ACI (Asosiasi Casting Indonesia) yang kami tak tahu apakah mereka masuk dalam ranah keaktoran atau ranah yang lain.
Nah, dari setidaknya 5 asosiasi itu, hanya 2 yang mengirimkan perwakilannya. Kami mendapatkan informasi ini dari IG FFI. Hanya PARFI 56 dan RAI yang mengirimkan wakilnya untuk memilih siapa-siapa aktor yang pantas masuk nominasi dari daftar pendek yang sudah dipilih kurator. Nah, beberapa nama yang ada dalam perwakilan asosiasi tersebut, namanya, atau lawan mainnya terpilih sebagai nominasi Aktor dan Aktris terbaik.
Kami tekankan sekali lagi bahwa kami menulis ini karena kami perhatian pada FFI yang memiliki niat menjadi barometer kualitas perfilman Indonesia. Ingat juga dalam obrolan kami dengan Nia Dinata di Bincang Aktor, bahwa yang juga penting adalah perasaan etis atau tidak jika filmnya ada dalam daftar pendek, dan namanya juga ada dalam perwakilan asosiasi.
Terima kasih, viva aktor!