[Flash Review] Dua Garis Biru; Industrial yang Tetap Estetis
Dua Garis Biru sebenarnya sudah rilis di bioskop dari beberapa bulan yang lalu. Kami melewatkan film ini karena satu dan lain hal. Hingga akhirnya nominasi FFI muncul dan nama Angga Yunanda dan Adhisty Zara masuk sebagai nominator Pemeran Utama Pria Terbaik dan Pemeran Utama Wanita Terbaik. Kami lalu jadi penasaran. Apakah peristiwa tahun lalu terulang kembali?
setelah selesai menonton, kami mendapatkan jawaban. berikut jawabannya;
Dua Garis Biru, Industri, Tapi Masih Estetis
Sebelum kita membahas kenapa dua aktor muda tersebut masuk FFI, kami membahas soal film terlebih dahulu. Kami awalnya berpikir (sebuah sikap yang harus dilakukan dengan hati-hati) kalau film ini akan muncul sama dengan film-film yang dibintangi oleh anak muda lainnya. Terutama ketika film ini bicara soal kisah cinta anak muda. Tapi kami salah. Tentu saja film ini bicara soal anak muda. Tapi bukan soal percintaannya yang jadi premis utama. Film ini bicara soal masalah pelik yang sepertinya dari entah kapan dihadapi oleh banyak anak muda usia sekolah, hamil di luar nikah.
Kami tak hendak membahas premisnya karena sudah menarik. Ini masalah yang sering terjadi, tapi hampir tak ada yang mau mengangkat. Mungkin terlalu kontroversi dan akan mendapatkan banyak perlawanan. Dimana memang iya, film ini dapat banyak perlawanan dari orang-orang konservatif yang berpikir pendidikan seks itu tabu. Kami masih tak habis pikir kenapa.
Anyway, selain soal premisnya, satu hal yang menarik sekali dari film ini setelah kami menonton adalah bagaimana ia tetap terasa industri, tapi masih memiliki nilai estetika yang kuat. Misalnya, dalam film ini kalian akan mendapati banyak adegan dimana suara yang sedang terjadi di adegan tersebut, montage-montage yang terjadi di adegan tersebut, muncul dengan arti. Ia tak sekedar muncul sia-sia.
Itu yang kami bilang industrial, tapi masih estetis. Gina S. Noer sepertinya tahu betul bagaimana meletakkan “perpanjangan tangan kreatifnya” agar tidak diutak-atik kebutuhan industri. Kami tak bicara soal komposisi dalam kamera, warna, atau sejenisnya. Film ini menurut kami tidak menonjol disana.
Justru pada bagian-bagian kecil itulah yang menonjol. Kami beri bocoran satu adegan yang menurut kami estetis sekali tapi film ini tetap terasa industrial. Adegan itu terjadi ketika Dara untuk pertama kali datang ke rumah Bima. Sepanjang jalan kalian akan mendengarkan dialog tetangga dan adegan para tetangga yang merepresentasikan hidup Bima dan Dara selanjutnya. Menarik.
Ini Alasan Zara dan Angga Masuk FFI
Nah, sekarang baru kami mau mengatakan kenapa akhirnya Zara dan Angga bisa masuk FFI. Kurang lebih begini; untuk aktor seusia mereka, tidak dipungkiri permainan Angga dan Zara sangat bagus. Kalian akan melihat pada hampir semua adegan perjalanan emosi yang menarik dan upaya mendengarkan yang baik. Kami tahu, bahwa salah satu alasan terbesar Angga dan Zara bisa masuk adalah permainan emosi mereka. Tentu saja. Karena kalau dilihat dari capaian fisiologis atau kita bicara soal capaian keaktoran yang kompleks, Zara dan Angga jauh dari itu. Tipikal banyak aktor Indonesia. Capaiannya hampir tidak pernah kompleks. Entah soal waktu, atau karena “menciptakan manusia baru” tidak sesuai dengan paham keaktoran mereka.
Selain soal permainan mereka yang setidaknya jauh lebih baik dari pada nominator tahun lalu yang tetiba namanya muncul padahal ia bermain tanpa dinamika, datar, dan tidak mendengarkan dengan baik, alasan lain adalah karena dalam shortlist FFI tidak ada pilihan lain. Paling pilihan lain ada A Man Called Ahok, Daniel Manantha yang jadi Ahok. Tapi rasa-rasanya Daniel juga tak cukup berhasil memainkan Ahok.
Selain itu, rasa-rasanya di FFI sekarang ini selalu ada pembagian “usia muda dan usia tua”. Kami masih agak skeptis dengan FFI tahun ini. Bagaimana tidak, pertama, dari keaktoran, ada 3 asosiasi tapi yang mengirimkan perwakilan hanya 2 asosiasi. Lalu yang kedua, dalam salah satu perwakilan asosiasi ada nama aktor yang filmnya juga ada dalam shortlist. Apakah itu etis? Bukankah dia bisa jadi memilih filmnya sendiri? Atau… Ah sudahlah. Namanya juga masih berbenah.