[Flash Review] Mekah I’m Coming; Komedi yang Relate
Mekah I’m Coming adalah film panjang pertama garapan Jeihan Angga. Film ini mendapatkan kesempatan ikut dalam kompetisi di JAFF tahun ini. Mekah I’m Coming adalah sebuah film komedi. Kami sudah menontonnya di hari ketiga. Ini adalah film ketiga sekaligus terakhir yang kami tonton di hari ketiga. Seperti apa filmnya? Apakah cukup menghibur? Apakah memberikan sesuatu yang baru? Berikut Flash Reviewnya. Tenang, tanpa spoiler.
Mekah I’m Coming, Komedi yang Relate
Satu hal yang bisa kami garis bawahi dari film ini setelah selesai menonton adalah komedi mereka yang sebagian relate dengan masyarakat. Film ini film komedi, seperti yang kami sebut sebelumnya. Film ini juga film yang komedi slapstiknya kental sekali. Tapi, di luar soal slapstik, komedi film ini relate dengan masyarakat umum. Sehingga pada beberapa momen, tawa penonton menggelegar. Ada satu momen dimana menurut kami komedi yang dipakai relate sekali. Kami tak bisa menyebutkan apa, tunggu saja Februari tahun depan.
Nah, di luar soal komedi yang relate, kami tak menemukan yang lain. Dalam sesi QnA kami sempat melemparkan dua pertanyaan. Pertama adalah kenapa sutradara menggunakan gaya berkomedi macam itu? Apa yang menjadi pertimbangannya? Sayang, kami tak mendapatkan jawaban. Sejauh yang kami tangkap, sutradara menggunakan gaya berkomedi itu karena persoalan struktur sosial penonton yang disasarnya. Tapi lagi-lagi, jawaban sutradara tak sangat memuaskan. Kami masih belum tahu kenapa ia memakai jenis komedi macam itu? Komedi yang slapstick di beberapa bagian, dan “sangat dislastikkan” di bagian yang lain. Apakah ini persoalan pasar yang disasar?
Dan jika Ephy Sekuriti, yang seorang stand up comedian mengatakan bahwa komedi itu soal selera, tentu saja kami sepakat. Bukan hanya komedi yang soal selera, hampir semua yang ada di dunia ini juga soal selera. Tapi kami agak tak bersepakat dengan bahwa komedi itu hanya satu jenis. Atau dua, stand up dan lawak.
Dalam tulisan thedramateacher.com, ada banyak sekali jenis komedi. Bahkan lebih dari 10. Ada 30 jenis komedi yang ditulis di website tersebut. Mulai dari slapstick, low comedy, farce, satire, parody, stand-up, black comedy, commedia dell’arte, burlesque, travesty (yang dipakai teater tradisi kita seperti ludruk dan ketoprak jaman dulu), tragic comedy, dan masih banyak lagi. Nah, dari sekian banyak jenis komedi yang ada di dunia, mana yang dipakai? Kami tak mendapatkan jawaban itu.
Memang benar bahwa memilih komedi harus melihat siapa yang menonton agar relate. Dan Jeihan sudah melakukannya dengan menggunakan idiom-idiom Jawa dalam komedi mereka. Tapi kenapa ia memilih komedi itu? Dan gaya komedi yang mana yang dipakai? Semoga kami mendapatkan kesempatan untuk bincang aktor dengan Jeihan Angga untuk mengulas filmnya.
Tapi di luar itu, percayalah, mostly kalian akan tertawa terbahak-bahak menonton film ini. Terutama untuk yang suka film-film dengan komedi slapstick yang kuat luar biasa.
Soal Pemain, Kami Angkat Tangan
Pertanyaan selanjutnya yang kami tanyakan adalah soal treatment pemain. Dan kami juga tak mendapatkan jawabannya selain “Kamu harus tengil” dan jawaban sejenis. Mohon maaf, bukankah meskipun ini komedi, yang diciptakannya adalah seharusnya manusia baru?
Kami sadar bahwa ini komedi. Dan kami setuju dengan apa yang dikatakan Ephy bahwa komedi itu juga harus “janjian” agar lucu. Tapi, bukankah mereka tetap melakukan kerja seni peran? Bukankah seharusnya upaya mendengarkan lawan main, menjalankan pikiran dan perasaan si tokoh, dan aspek lain harus dilakukan? Kalau tidak, bagaimana peristiwanya bisa sampai pada penonton.
Soal permainan aktornya, kami angkat tangan. Bagi kami, satu-satunya yang memiliki ciptaan menarik dan setidaknya agak jauh dari kesan artifisial adalah Ria Irawan. Lalu satu pemain lagi yang ciptaannya menarik, tapi sangat dengan dengan artifisial, karena mungkin tidak mendengarkan dengan baik adalah Eka Wahyu Primadani. Selain itu, kami angkat tangan setinggi-tingginya.