[Flash Review] Tehran: City of Love; Tipikal Film Iran

Tehran; City of Love

Ini adalah hari kedua kami ada di JAFF. Pada hari kedua kami sudah menonton setidaknya 3 film dan membuat 3 Flash Review dari 3 film tersebut. Film-film yang kami tonton di hari pertama antara lain Bento Harassment, Ode to Nothing, dan Wet Season. Kalian bisa membacanya di Akuaktor. Nah, di hari kedua, film ketiga ini kami juga menonton setidaknya 3 film. Film pertama yang kami tonton adalah Tehran: City of Love. 

Sebelum kami menuliskan Flash Review-nya, kami memilih film ini semata karena ia film Iran. Dimana sejauh pengetahuan kami, film Iran selalu muncul dengan premis yang sederhana, tapi cara bertutur yang tidak sederhana. Terkadang menarik, dalam waktu yang lain tidak. Bagaimana film Tehran: City of Love ini? Menarikkah? Flash review ini bebas spoiler. Jadi aman dibaca sampai akhir. 

 

 

Tehran: City of Love, Seperti Kebanyakan Film Iran

Hal pertama yang kami dapatkan setelah menonton film ini adalah kesan bahwa ia memang film Iran. Tapi menurut kami premis yang ia bawakan tidak sangat sederhana. Jika kita melihat dari sisi cerita, film ini menceritakan soal bagaimana 3 orang yang gagal dalam cinta mereka, menjalani kehidupannya. Mereka adalah seorang wanita gendut bernama Mina, seorang bodybuilder bernama Hessam, dan seorang penyanyi upacara kematian bernama Vahid. 

Tiga tokoh ini adalah tokoh yang kurang lebih memiliki masalah yang kemudian menjadi sama yakni soal cinta. Mereka bertiga mengalami kegagalan dalam percintaan dan ketiganya sudah menyerah pada cinta. Hingga pada suatu ketika muncul secercah harapan untuk Mina, Hessam dan Vahid. Nah, secercah harapan itu membuat mereka yang awalnya luar biasa muak dalam hidupnya dan tak percaya pada hampir apapun, menjadi lebih bersemangat. 

Hal yang menarik bukan hanya soal perjalanan ceritanya, tapi cara film ini bertutur. Pada tiap masalah yang dimunculkan, sang sutradara, Ali Jaberansari menggunakan pendekatan yang berbeda. Pendekatan-pendekatan itu menjadi sebuah spektakel tersendiri dalam susunan cerita. Misalnya pada Hessam, dimana cintanya “lain” dari pada Vahid dan Mina. Kami tak bisa menyebutkan itu. Tapi lewat trailer kalian bisa menduga-duga. Lalu pada Vahid, perjalanan emosi personalnya berbeda dari dua tokoh yang lain ketika mendapatkan secercah harapan. Sementara Mina, menjalani ketidak percayaannya atas cinta dan lelaki dengan cara yang lain juga. Pendekatan itu yang membuat film ini menarik. 

Soal dramatik, seperti kebanyakan film Iran yang lain, dramatik film ini tidak sangat fluktuatif. Ketika kalian menonton film ini kalian tidak dibawa naik roller coaster. Kalian seperti ada di sebuah sampan, di tengah laut yang tenang dengan ombak kecil yang sesekali menabrak perahu kalian. Kira-kira seperti itu analogi dramatik film ini. 

 

 

Cara Beremosi yang Hampir Sama

Sementara untuk para tokohnya, satu hal yang bisa kami garis bawahi adalah mereka bertiga memiliki cara beremosi yang sama. Mungkin karena tokoh ini memiliki dasar emosi yang sama atas kehidupan mereka masing-masing, yakni muak. Mereka hampir tidak percaya lagi pada hidup yang mereka jalani. 

Hal yang menarik adalah cara para aktor mengontrol emosi mereka kemudian kesadaran mereka untuk menumbuhkan emosinya perlahan-lahan. Aktor-aktor ini punya kendali yang menarik pada emosi mereka. Jika dalam pemahaman kami, tokoh selalu punya motivasi dasar atau juga emosi dasar, nah para aktor di film Tehran: City of Love ini berhasil memegang motivasi dan emosi dasar mereka dengan baik. 

Dengan memiliki dasar yang baik, semua kembangan yang mereka lakukan atas laku mereka jadi sangat menarik. Menarik karena relate, bukan hanya dengan adegan, tapi juga dengan emosi dasarnya, dan juga jadi sangat logis. 

Film Tehran: City of Love ini seperti kebanyakan film Iran yang lain. Menunjukkan semua persoalan dengan cara yang tidak sangat sederhana. Ingat saja, jika kalian mau menonton film ini, pastikan kalian tak mudah bosan, karena tempo film ini juga cukup lambat. 

Terima kasih, viva aktor!  

About The Author