[Flash Review] Humba Dreams; Isu yang Terbalut Rapi
Humba Dreams adalah sebuah film yang disutradarai oleh Riri Riza, dibintangi oleh J.S Khairen dan Ully Triani. Film ini menjadi film pertama yang kami tonton di hari ketiga. Alasan memilih film ini sebenarnya sederhana. Kita tahu bahwa di Indonesia, lebih sulit menonton film yang sudah turun bioskop dari pada bertemu dengan filmakernya. Maka kami tak ingin melewatkan kesempatan ini.
Humba Dreams memukau kami dalam beberapa sudut pandang. Apa saja? Flash Review ini bebas spoiler, jadi jangan khawatir, Kalian bisa membacanya sampai akhir.
Humba Dreams dan Isu yang Terbalut Rapi
Apa yang sebenarnya dibicarakan di film Humba Dreams ini? Apakah soal Martin dan kehidupannya sebagai mahasiswa film yang disuruh pulang kampung oleh orang tuanya? Atau yang mana? Kami tak bisa mengatakan lebih banyak karena takut spoiler. Nyatanya, jika kalian akhirnya akan menonton film ini, kami belum tahu akan rilis kapan, kalian akan mendapati hal yang sama. Di awal kalian akan mengira film ini berbicara soal Martin. Tapi setelah kalian selesai menonton film ini, nyatanya ini bukan soal Martin. Tapi ini soal mimpi-mimpi Sumba yang ada di masyarakat sekitar.
Apa saja itu? Kami tak bisa menyebutkan apa. Tapi yang jelas, kalian akan relate dengan judulnya setelah selesai menonton film ini. Bahwa iya, memang bukan soal Martin, bukan soal mimpi Martin sama sekali, tapi soal mimpi orang-orang Sumba. Mimpi yang dikejar banyak orang hingga mengorbankan banyak hal yang penting untuk mereka.
Ini kenapa kami mengatakan bahwa Humba Dreams berhasil membalut dengan rapi isu ini. Penonton yang tak jeli akan menganggap ini perjalanan Martin. Bukan, ini bukan perjalanan Martin. Perjalanan Martin adalah layer terluar yang membungkus isu yang lebih penting. Kami menduga, isu ini sengaja tidak dijadikan yang utama karena mungkin terlalu sensitif. Atau mungkin ada alasan lain?
Tapi yang menarik, meskipun isu ini tidak menjadi yang utama, ia terasa penting sekali dan diletakkan di timing-timing yang penting. Bahkan pada beberapa bagian ia dijadikan pemantik peristiwa. Itu kenapa isu ini jadi pusat dari film ini sekaligus terbalut dengan rapi agak tak menuai kontroversi. Begitu kah mbak Mira dan Mas Riri?
Cast yang Non Actor
Kami sempat bertanya di sesi tanya jawab soal alasan memilih J.S Khairen sebagai tokoh utama. Sebelumnya Mira Lesmana sempat mengatakan bahwa ia memilih Khairen karena menurut Riri Riza tampangnya sudah mirip mahasiswa film kebanyakan. Lalu kami bertanya lagi, apakah hanya soal tampilan wajah saja memilih Khairen? Sementara dikatakan oleh Mira Lesmana bahwa tokoh Martin cukup sulit untuk dimainkan. Kenapa ia tak memberikan tokoh ini pada aktor yang lebih berpengalaman atau setidaknya pada orang yang memang punya basic keaktoran.
Jawabannya menarik. Ia memberikannya pada non actor seperti J.S Khairen karena ia ingin memunculkan talenta baru. Kunci yang disebutkan oleh Mira Lesmana ada pada treatment. Katanya, Mira Lesmana memberikan banyak waktu untuk J.S Khairen menciptakan tokoh. Tapi, satu persoalan kemudian muncul dalam kepala kami setelah menonton permainan J.S Khairen.
Kami merasa, pada banyak adegan, permainan Khairen buntung. Ia seperti tidak mendengarkan dengan baik dan terasa kaku. Pada beberapa adegan respon Khairen terasa janggal. Kami menduga kejanggalan itu karena ia tak menjalankan pikiran dan perasaan tokoh ketika mendengarkan lawan main berbicara. Beberapa bagian adegan Khairen nampak kebingungan. Bukan pas adegan bingung ya.
Selain itu jika kalian perhatikan baik-baik Khairen memang berhasil menguasai logat Sumba dan bahasa Sumba dengan baik. Tapi yang lalu jadi persoalan adalah ketika ia bicara bahasa Jakarta, aksennya hilang. Selalu jadi pertanyaan kami, bukankah aksen itu seharusnya tertinggal? Bukan sirna begitu saja?
Di luar itu, J.S Khairen setidaknya berhasil memiliki capaian yang menarik dalam soal yang lain seperti silent act dan permainan mata. Setidaknya juga dengan latar belakang J.S Khairen ia telah memiliki capaian yang tinggi.