[Flash Review] Empu; Kisah Para Perempuan yang Menginspirasi
Empu merupakan sebuah film yang kurang lebih bercerita tentang perjalanan para perempuan merubah stigma dan menyelamatkan nasib sekitarnya. Seperti yang terlihat di poster, ada 3 perempuan yang menjadi pusat cerita. Masing-masing perempuan itu adalah Yati yang diperankan oleh Tiara Arianggi, Sutringah yang diperankan oleh Annisa Hertami, dan Maria yang diperankan oleh Putry Moruk.
Empu disutradarai oleh Harvan Agustriyansyah dan menjadi salah satu film yang diputar di JAFF. Kami memilih film ini karena takut di bioskop tak akan punya waktu menontonnya, lalu film ini hilang, dan kami tak pernah bisa menonton film ini lagi.
Flash Review Empu bebas spoiler. Jadi aman untuk kalian baca sampai akhir.
Empu, Kisah-kisah Inspiratif
Film Empu, seperti judulnya, berisi kisah inspiratif tiga orang perempuan, Yati, Sutringah, dan Maria. Yati adalah anak seorang pengusaha lurik yang difabel dari Klaten. Sementara Sutringah adalah istri seorang penderes gula yang hidup susah di Banyumas. Lalu Maria adalah seorang pengrajin kain tenun di Kupang. Dalam film ini mereka bertiga tidak saling berhubungan satu sama lain. Setidaknya dari segi cerita.
Film ini seperti film Omnibus. Ketika kami menonton, film ini hanya berdurasi sekitar 1 jam seperti apa yang dikatakan oleh si sutradara. Mungkin nanti ketika sudah muncul di bioskop ia akan berdurasi lebih dari 1 jam.
Dalam Empu, Harvan berhasil menunjukkan betapa inspiratifnya ketiga perempuan ini. Dengan segala persoalan yang ditunjukkannya di awal, dari mulai Yati, Sutringah, hingga Maria, berhasil memperkuat kesan inspiratif untuk banyak orang yang menonton. Tapi kemudian ada hal janggal yang kami tangkap. Setidaknya dari film yang kami tonton kemarin. Bisa jadi berbeda dengan film yang kalian tonton di bioskop nanti. Apa masalahnya?
Pertama, soal dramatik cerita. Kami tak mendapati dramatik yang intens. Di film ini semua masalah muncul dengan cepat dan selesai dengan cepat. Hampir bisa dikatakan tidak ada keruwetan dalam menyelesaikan masalah ini. Kami tak tahu, apakah karena dikejar waktu, atau karena film ini film “pesanan” sehingga Harvan membuatnya macam itu?
Memang ia berhasil membuat film ini terasa inspiratif. Tapi jika diperhatikan betul, kami mungkin hanya terinspirasi 10 menit setelah menonton film ini dan setelahnya film ini tak berbekas. Karena memang konflik-konflik yang dimunculkan dalam film ini tidak ada yang sangat pelik, diselesaikan dengan rumit dan butuh perjuangan keras. Semuanya selesai dengan mudah, lancar, ndlujur, dan tidak kompleks. Kami tahu, tak semua cerita harus diselesaikan dengan kompleks. Tapi karena penyelesaian masalahnya sangat lancar, kami jadi bisa menebak kemana arah perjalanan film ini selanjutnya. Bahkan kami bisa mengatakan hampir tak ada kejutan dalam film ini. Pola dramatik film ini umum. Dimulai dari tokoh yang punya masalah, lalu masalah bertambah besar, lalu tokoh berusaha menyelesaikan masalahnya, dan masalah selesai. Semudah itu.
Semoga ketika film ini juga tayang di bioskop, berbeda dengan film yang ditayangkan di JAFF tahun 2019 ini.
Para Pemain Bermain Emosional
Dengan persiapan yang mereka lakukan hanya kurang dari 1 hari, seperti yang dikatakan salah satu pemain di sesi tanya jawab, maka capaian mereka luar biasa. Setidaknya dari satu sudut pandang yakni soal permainan emosi dan aksi reaksi. Kami tak berusaha melihat capaian fisiologis atau capaian yang lebih detail lainnya. Tentu saja, mereka hanya punya waktu 1 hari. Apa yang bisa kita harapkan dari waktu yang sependek itu untuk menciptakan tokoh?
Setidaknya mereka berhasil bermain sesuai porsi yang diberikan. Meskipun tetap ada beberapa kekurangan yang seharusnya juga tidak boleh terjadi meski baru bisa melakukan persiapan tokoh selama kurang dari sehari. Misalnya persoalan bahasa daerah, aksen, dan beberapa aksi reaksi yang terkesan buntung, tak menjalankan pikiran dan perasaannya, serta “bermain sendiri”.