[Flash Review] Bento Harassment; Komunikasi Itu Dua Arah
Dada kami masih sesak selesai menonton film Bento Harassment, sebuah film yang menjadi salah satu film yang kami tonton di hari kedua perhelatan JAFF. Film yang disutradarai oleh Renpei Tsukamoto ini berhasil membuat kami melow dan menahan tangis di beberapa bagian. Atau… mungkin memang kami yang mudah baperan?
Anyway, setelah menonton Bento Harassment, impresi itu yang kami dapatkan. Tapi kenapa? Apa yang terjadi? Berikut flash review nya. Tenang, tanpa spoiler kok! Jadi aman dibaca sampai akhir.
Bento Harassment, Premis Kompleks, Penyampaian Sederhana
Salah satu hal yang menurut kami menarik dari film ini adalah premis yang dibawakan. Sejauh yang berhasil kami tangkap, premis utama dalam film ini adalah persoalan komunikasi. Bercerita tentang seorang ibu yang ingin berkomunikasi dengan anak perempuannya yang sudah sekian lama tidak mau bicara dengan si ibu. Si Ibu memutar pikiran dan mencari cara bagaimana ia bisa membuat anaknya mau berkomunikasi dengannya. Hingga pada suatu ketika, ia menemukan Bento bisa dijadikan perpanjangan tangannya untuk berkomunikasi dengan si anak, Futaba.
Premis film ini kompleks dalam sudut pandang kami. Persoalan komunikasi untuk banyak orang sering jadi sebuah persoalan yang kompleks. Terutama antara orang tua dan anaknya. Sehingga kadang cara-cara kompleks dilakukan agar komunikasi yang ideal bisa tercapai. Upaya yang kompleks sepertinya tidak ingin dipakai Tsukamoto untuk menyelesaikan persoalan komunikasi itu. Sehingga ia menggunakan cara yang paling sederhana sekaligus paling dekat secara sosial untuk orang-orang Jepang. Bento adalah perwakilan yang tepat.
Ditambah pembawaan cerita yang ringan dan sederhana membuat persoalan yang kompleks itu jadi tersampaikan dengan cara yang paling sederhana. Dan seperti yang kita semua sadari tapi jarang dilakukan dalam komunikasi yakni soal mendengarkan dengan baik, dimunculkan sebagai persoalan lain yang membuat dramatik film ini jadi lebih tajam. Keinginan si ibu untuk didengarkan anaknya, dibalik sedemikian rupa di seperempat akhir film ini.
Lalu kalau bicara soal cara film ini menyampaikan konflik, menurut kami berhasil dilakukan dengan cara yang sederhana. Hampir tidak ada intensi yang sangat berat dari tiap konflik yang hadir. Kecuali di seperempat terakhir film ini yang semua konfliknya disampaikan dengan pola yang tetap sederhana, tapi jadi agak dalam.
Nah, intinya, pesan-pesan yang seolah pelik itu berhasil disampaikan dengan cara yang sederhana, menarik, lucu, dan agak menguras emosi.
Aktor yang Mendengarkan Dengan Baik
Hal lain yang kami catat dan bisa menjadi sebuah pelajaran yang baik untuk aktor-aktor di Indonesia atau siapapun aktor yang menonton film ini adalah kemampuan para cast mendengarkan lawan main dan peristiwa yang sedang dialami si tokoh. Kami tak tahu apakah mereka memiliki capaian fisiologis atau sosiologis yang menarik, karena kami tak tahu track record para aktornya. Di luar itu, aktor-aktor ini mendengarkan dengan sangat baik. Pelajaran yang penting dan baik untuk aktor-aktor Indonesia.
Bukan hanya mendengarkan dengan baik, tapi aktor-aktor ini juga mendengarkan dengan tulus. Mereka tak terlihat memaksakan laku. Mereka seperti paham bahwa laku-laku yang dilakukan oleh mereka muncul dari proses pikiran dan perasaan yang “mendengarkan”. Pelajaran yang lagi-lagi penting untuk aktor mana pun.
Overall film ini menarik. Film ini punya muatan yang tak sembarangan, tapi mampu dibawakan dengan cara yang sangat sederhana. Membuatnya mampu menyentuh titik terdalam manusia-manusia yang menontonnya. Kami tak salah pilih film. Panitia JAFF juga sepertinya begitu.
Terima kasih, viva aktor!