[Acting Review] Love for Sale 2; Sederhana Tapi Dalam

Love for Sale 2

Love for Sale 2 sudah rilis beberapa minggu yang lalu. Kemunculannya berhasil membuat banyak orang berkata bahwa film ini lebih horor dari pada Ratu Ilmu Hitam dan Perempuan Tanah Jahanam. Tentunya dengan “ruang horor” yang berbeda. Love for Sale 2 soal percintaan, dimana sepertinya jutaan manusia Indonesia relate dengan kondisi Ican dan seperti pernah menjadi korban dari perlakuan Arini. Tapi di luar soal resepsi para penonton, bagaimana permainan para aktornya? 

Love for Sale 2, Sederhana Dan Dalam

Hal pertama yang terpikir setelah film selesai adalah permainan para aktor yang sederhana dan dalam. Permainan mereka sederhana in a good ways. Misalnya dari permainan Adipati Dolken. Di film ini ia bermain sebagai Ican atau Indra Tauhid Sikumbang. Seorang lelaki kantoran keturunan Padang yang tak kunjung menikah tapi “burungnya” selalu mampir kemana-mana. 

Pada permainan Adipati, kami mendapati bentuk-bentuk tokoh yang sederhana. Sepertinya Adipati memang memiliki tujuan untuk membuat si tokoh nampak sederhana. Seperti kehidupan realitas pada umumnya. Seorang lelaki paruh baya yang tinggal di pemukiman padat penduduk di tengah kota dan bekerja sebagai karyawan di sebuah agency iklan. Mungkin itu pemahaman yang ia dapatkan atas tokoh ini. 

Dari apa yang kami lihat juga, tokoh Ican sepertinya tidak mendapatkan porsi permainan emosi yang kompleks. Terutama jika kita membandingkannya dengan Richard di Love for Sale yang pertama. Dua tokoh ini jelas memiliki latar belakang yang berbeda. Baik itu secara usia, kehidupan keluarga, dan posisi sosial. Richard tidak dekat dengan banyak perempuan, sementara Ican dekat dengan banyak sekali perempuan. Richard tidak menikah sampai usianya 40 an tahun, sementara Ican masih ada di usia 30 an tahun ke atas. Richard anak angkat, sementara Ican tidak. Richard diangkat anak oleh keturunan Tiong Hoa, sementara Ican “pribumi asli”. Dengan latar belakang itu saja, terlihat bahwa tokoh Richards secara psikis jauh lebih kompleks dari pada tokoh Ican. Karena tokoh Ican tidak sangat kompleks dan sepertinya sengaja dibuat sebagai tokoh yang sederhana dan tidak besar gejolak di dalam perasaannya (setidaknya pada 90% film), maka cara Adipati menunjukkan tokoh ini pun jadi sederhana. 

 

 

Misalnya pada adegan pertama ketika menghadiri pernikahan. Kita bisa melihat bagaimana Ican menjalankan responnya. Ia sama sekali tidak tertekan atas kondisi itu. Bahkan ketika ibunya terus mencecarnya dengan pertanyaan kapan akan menikah dan lain sebagainya. Ican tak terlihat sedikit pun mengernyitkan dahinya dan membawa perkataan-perkataan itu jauh ke dalam hatinya. Ia cuek saja. Nah, “kecuekan” itu lah yang berhasil dijalankan Adipati. Sehingga respon si Ican pada adegan pertama menarik. 

Lalu misalnya pada adegan-adegan dimana Ican mulai memutuskan untuk mencari seorang perempuan agar ibunya bahagia. Adegan yang terjadi setelah adiknya, Buncun bertengkar dengan istrinya. Pada adegan itu, kesederhanaan menjalankan perasaan Ican dilakukan dengan cukup baik. Kami membaca (pembacaan kami mungkin salah), Ican tidak pernah meletakkan sebuah perasaan apapun terlalu lama di hatinya. Mungkin di satu sisi Ican adalah orang yang nothing to lose, tidak berpikiran panjang dan tidak sangat baperan

Pada adegan itu, kami melihat Ican sedih karena ibunya. Tapi tak lama Ican segera memutuskan harus melakukan apa. Ia tak ambil pusing, tak berpikir dua tiga kali, tapi langsung melakukan. Itu kenapa kemudian kami menyebut tokoh ini reaktif. Adipati melakukannya dengan porsi yang tepat. Pun begitu dengan beberapa timing keputusannya. 

Lalu pada Ratna Riantiarno yang bermain sebagai Rosmaida. Kami juga melihat upaya untuk menjadi ibu-ibu perkampungan padat penduduk yang tidak neko-neko dan tidak memiliki daya pikir yang dalam. Dari apa yang kami lihat, tokoh Rosmaida ini hampir sama seperti Ican. Ia berpikir dengan sangat sederhana. Tapi Ratna tak melupakan kalau Rosmaida adalah seorang ibu. Maka ia berupaya memunculkan ibu yang tidak punya pikiran panjang, tapi punya kepekaan emosi yang tinggi. Seperti layaknya banyak ibu di kehidupan nyata. 

Salah satu adegan yang bisa menjadi tanda bahwa Rosmaida adalah orang yang punya pola pikir sederhana ada ketika Arini menghilang. Kami tak menangkap kegelisahan yang dalam. Kegelisahan itu memang ada, tapi tidak ditunjukkan dengan sangat kompleks dan dalam. 

 

 

Begitu juga di adegan ketika Rosmaida akhirnya bisa menerima si Maya dan mengakui Maya sebagai anaknya. Ratna Riantiarno kembali menunjukkan perjalanan emosi yang sederhana, nothing to lose dan tanpa beban. Dari apa yang kami lihat, ketika adegan Rosmaida datang ke rumah Ndoy dan Maya, ia bisa dengan tanpa beban merubah pandangannya pada Maya. Semua kebencian dan tidak suka Rosmaida atas Maya seperti menguap begitu saja. Dalam raut wajah, gesture, kecepatan bergerak, arah pandang mata, tidak ada beban atau pikiran yang berkata “Dulu aku benci Maya, kok sekarang aku jadi biasa aja?” Atau kata-kata sejenis. Kami rasa, pikiran-pikiran itu muncul juga karena Rosmaida tidak pernah merasa dirinya bersalah membenci Maya. Atau bukan tidak pernah berpikir, hanya pikirannya saja yang tidak sampai pada taraf itu. 

Pun begitu dengan Buncun. Buncun memang menghadapi masalah yang pelik, tapi caranya menjalankan pikiran seperti orang tak berpendidikan yang menjalankan perasaan (dalam konotasi yang bagus tentunya). Maksudnya orang tak berpendidikan yang menjalankan perasaannya adalah perasaan Buncun tidak kaya. Ia tidak memiliki kecerdasan perasaan dan pikiran yang tinggi. Sehingga ketika ia datang dengan masalah yang besar, cara menunjukkannya pun tidak dengan gejolak yang kompleks dan bahkan tidak dengan gejolak yang masif. 

Misalnya pada adegan ketika Endah datang dan Buncun marah besar. Dari apa yang kami lihat, Bastian Steel marah dengan cara yang sederhana. Ledakannya bukan ledakan yang kompleks. Itu kenapa pada adegan tersebut ledakannya keluar begitu saja tanpa ada ketajaman di beberapa bagian. Kami menangkap kesederhanaan disana. Bahwa Buncun memang begitu. Ia tak akan marah dengan emosi yang terlalu kompleks dan dalam. Semuanya sederhana. 

Sementara pada Maya, kami mendapati kesederhanaan yang lain. Ia nampak sederhana dalam menjalankan perasaan dan pikirannya. Tapi sekaligus menyimpan sedikit, sedikit sekali kompleksitas perasaan atas perlakuan Rosmaida padanya. Tapi karena ia adalah tokoh yang menjalankan pikiran dan perasaannya dengan sederhana, ia menjalankan pikiran dan perasaannya begitu saja. 

Lalu pada Ibrahim yang dimainkan oleh Yayu Unru juga begitu. Dari apa yang kami lihat, tokoh ini malah memberikan banyak permaafan sepanjang hidupnya. Ia mengorbankan banyak kebahagiaannya untuk orang lain. Tapi tokoh ini tak memiliki intensi untuk menyimpan permaafan itu dan menjadikannya beban dalam pikirannya. Ia sama seperti tokoh lain, nothing to lose. Kita bisa melihat hal tersebut ketika Ibrahim bercerita pada Ican soal masa lalunya. Bahwa ia dulu mencintai Rosmaida dan hendak menjadikannya kekasih, tapi ditikung oleh ayah Ican. Ia menceritakannya dengan ringan dan sederhana. Tidak ada intensi lain selain hanya menceritakan saja. 

Ariyo Wahab juga begitu. Meskipun tokoh yang dimainkannya, Ndoy, adalah PNS yang mungkin secara strata pikiran ada di atas yang lain, atau setidaknya setaraf dengan Ican, ia tetap menjalankan semua pikirannya dengan sangat sederhana. Lagi-lagi, semua pikiran dan perasaan itu seperti melintas begitu saja dengan perhatian yang sedikit atas pikiran dan perasaan yang terlintas. 

 

 

Berbeda dengan Arini. Mungkin karena kami sebelumnya sudah menonton Love for Sale yang pertama, sehingga kami merasa bahwa Arini menyimpan banyak gejolak dalam dirinya. Bedanya dengan pemain lain adalah tokoh ini punya kecerdasan emosional yang tinggi. Jauh lebih tinggi dari siapapun yang ada di film ini. Sehingga ia paling jago memanipulasi semua perasaannya. 

Jika pada semua pemain, mereka tidak ada upaya menunjukkan kesederhanaan itu, tapi kesederhanaan emosi itu sudah mendarah daging di mereka, Arini sebaliknya. Ia terlihat berusaha sederhana dan masuk ke ruang orang-orang dengan cara menjalankan emosi yang sederhana. 

Misalnya pada adegan ketika Arini melihat foto di handphonenya. Pada adegan itu kami merasa Della menjalankan gejolak tokohnya dengan cukup baik. Ejawantah dari gejolak itu pun kami rasa mencoba dibuat sederhana tapi dalam. Jika diperhatikan betul, hampir tidak ada tetes air mata yang terjadi pada adegan tersebut. Kita hanya akan melihat perjalanan mata yang dari biasa saja, kemudian terlihat agak berkaca-kaca. Ekspresi wajahnya pun tidak muncul sangat banyak. Lagi-lagi, gejolak emosi yang besar itu diupayakan hadir sesederhana mungkin. 

Pada intinya, semua pemain menjalankan emosi mereka dengan sederhana, dan nothing to lose. Lalu selain permainan yang sederhana dan dalam di beberapa bagian, apalagi? 

Inkonsistensi dan Capaian yang Tidak Signifikan

Ya, permainan mereka memang sangat sederhana dan dalam. Tapi sayangnya jika kita memperhatikan dimensi penciptaan seni peran yang lain, kita tidak akan mendapati capaian yang signifikan. Bahkan, kita tak mendapati capaian apapun. 

Perhatikan baik-baik bagaimana dalam sudut pandang fisiologis tidak ada capaian sedikitpun pada hampir semua pemain, kecuali Yayu Unru dan Della Dartyan. Misalnya pada Adipati Dolken, Aryo Wahab, Bastian Steel, Putri Ayudya, dan Ratna Riantiarno. Tidak ada warna suara yang berubah pada mereka semua. Bukan hanya itu, jika diperhatikan baik-baik, nada dan tempo bicara semua aktor di atas tidak berubah sama sekali. Penciptaan mereka pada sisi suara hampir tidak ada.  

Masih ingat kan apa yang dikatakan oleh Stella Adler soal perkataan Tommaso Salvini, bahwa; 

What is acting? Voice, voice, and voice. (Adler, 2000:17)

Suara jadi hal yang penting. Bukan hanya soal kejelasan mengucapkan saja, tapi juga bagaimana si aktor bisa merubah warna, tempo, dan aksen bicaranya. Memang kalau kita memahami apa yang dikatakan Tommaso Salvini sepotong, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa suara yang terdengar jelas saja sudah cukup. Tapi ingat, aktor adalah pelaku seni peran. Dalam seni peran ada prinsip lain yang harus dipakai. Salah satu prinsip yang paling sering kita dengar adalah “Menciptakan manusia baru”. Permasalahannya, adakah manusia yang memiliki warna suara yang mirip? Terlebih ketika si aktor tidak pernah tumbuh dalam keluarga yang memiliki latar belakang macam tokohnya. Maka sudah jelas suara pasti akan berbeda. 

Masih bicara soal suara. Ada satu hal yang mengganjal pikiran kami. Hal itu adalah soal aksen yang terjadi pada Ratna Riantiarno. Pada adegan awal, diceritakan bahwa tokoh yang dimainkan Ratna adalah perempuan kelahiran Minang, memiliki darah Minang, dan tinggal lama di Jakarta. Aksen Minang seharusnya kuat terdengar dalam setiap dialog yang diucapkannya. 

Kami sempat menanyakan hal ini di premiere untuk media. Tapi sayangnya kami tak mendapatkan jawaban yang tepat. Ratna menjawab soal susunan bahasa yang dipakai, sementara pertanyaan kami soal aksen. Memang benar bahwa orang Minang akan memiliki susunan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi apakah iya tokoh tersebut akan kehilangan aksen Minangnya sama sekali? 

Persoalan itu semakin menguat ketika Ibrahim, tokoh yang dimainkan Yayu Unru, yang notabene seangkatan dengan tokoh Rosmaida dan berasal dari Makassar masih meninggalkan aksen Makassar dalam setiap dialognya. Lalu kenapa aksen Ratna hilang seketika sementara Yayu Unru masih mempertahankan aksennya? Pertanyaan berikutnya, apakah mungkin seseorang yang lahir dan besar di Minang, lalu tinggal lama di Jakarta, akan serta merta kehilangan aksen daerahnya? Aksen bisa apa saja, mulai dari tempo bicara, pengucapan beberapa huruf konsonan dan vokal, dan lain sebagainya. Tapi pada penciptaan Ratna, kami tak mendapati aksen itu sama sekali. Hilang kemana aksen tersebut? 

Melihat permainan Ratna Riantiarno di Love for Sale 2 mengingatkan kami pada permainannya di Petualangan Sherina. Kami merasa bahwa warna suara dan tempo bicara Rosmaida sama persis dengan tokohnya di film Petualangan Sherina. Tunggu, bukankah dua tokoh ini berbeda jauh? Bukankah keduanya juga hidup di era yang berbeda dan dengan latar belakang sosial yang berbeda? Tapi kenapa warna suara dan tempo bicaranya sama persis? 

Pemain lain sejatinya juga tak memiliki capaian yang signifikan dalam sudut pandang fisiologis dan bahkan psikologis. Itu kenapa kami tak bisa membahas banyak selain soal mereka yang bermain sederhana. Lagi-lagi, mungkin karena ruang yang terberi di film ini tidak membuat para pemain bisa menunjukkan kepiawaian mereka memainkan emosi. Tapi bukankah pada manusia yang paling sederhana sekalipun, terdapat permainan emosi yang kompleks? 

Soal permainan Adipati, kami merasa bahwa penciptaannya mirip dengan apa yang dilakukannya di Teman Tapi Menikah. Satu-satunya yang berbeda adalah pembawaannya. Selain itu tidak ada yang berubah sama sekali. Pun begitu dengan Ariyo Wahab, Bastian Steel, dan Putri Ayudya. Satu-satunya yang nampak berubah dari Putri Ayudya adalah kondisi tubuh dimana ia hamil. Secara tak langsung kondisi tubuh itu merubah beberapa gesture tubuhnya memang. Tapi sayangnya, jika kehamilan itu kita singkirkan, maka mungkin tidak ada gesture yang berubah sama sekali. 

Love For Sale

 

 

Yayu Unru, Bintang di Love for Sale 2

Bagi kami, bintang utama dari film ini adalah Yayu Unru. Bukan Della Dartyan atau Adipati Dolken. Kenapa? Dari apa yang kami lihat, penciptaan Yayu Unru adalah yang paling menarik di antara sekian banyak aktor di film ini. Mari kita breakdown.

Pertama, secara fisiologis, kami mendapati capaian yang menarik meskipun tidak sepenuhnya signifikan. Misalnya pada gesture-gesture tubuhnya. Mulai dari caranya duduk, cara makan, cara melihat, dan gesture lain tampak perubahan. Selain itu ada yang menarik lagi dari Yayu Unru, yakni soal bagaimana ia menggunakan prinsip sense of truth milik Stanislavski. 

Untuk yang belum tahu, sense of truth ini secara sederhana berarti mengambil sesuatu yang ada di dunia nyata untuk kemudian ia jadikan milik tokoh. Nah, pada tokoh Ibrahim yang dimainkan oleh Yayu Unru, hal yang paling terlihat menggunakan prinsip ini adalah pilihannya memakai inhaler. Pada momen tanya jawab setelah premiere, kami menanyakan kenapa ia memakai inhaler. Yayu Unru mengatakan bahwa ia mengambil bentuk itu dari orang-orang tua di Makassar yang sering sekali memakai inhaler. Paham kan prinsip sense of truth ini? Yayu Unru mengambil bentuk yang benar-benar ada di dunia nyata dan relate dengan tokohnya yang orang Makassar dan membuat bentuk itu jadi milik tokoh. Mungkin terkesan sederhana, tapi bentuk itu menarik. 

Lalu pada aksen. Seperti yang kami katakan di atas, Yayu Unru berhasil merubah aksen dan melakukan perubahan aksen itu dengan stabil pada hampir setiap kemunculannya. Aksen Makassar yang ia buat berefek pada nada bicara dan tempo bicaranya. 

Permainan para cast di Love for Sale 2 sejatinya baik. Mereka semua bermain dengan sederhana saja seperti tokoh-tokoh yang ada di film ini. Tapi sayangnya, mereka seperti terjebak pada kesederhanaan itu. Memang manusia-manusia pada kondisi sosial Love for Sale 2 adalah manusia-manusia dengan pikiran dan perasaan yang sederhana. Tapi ingat, bukankah para aktor ini sedang menjalankan tugasnya di seni peran? Bukankah seharusnya mereka membuat tokoh-tokoh yang mereka mainkan ada di objektivitas tertinggi dan tidak terjebak pada permainan yang sederhana? Ingat, memang sederhana, tapi yang bermain sederhana adalah tokohnya, bukan si aktor. 

Terima kasih, viva aktor!

About The Author