[Flash Review] Abracadabra; Baru, Segar, dan Menyenangkan

Abracadabra

Tepat pukul 4 sore kami sampai di XXI Empire Yogyakarta untuk menonton film Abracadabra. Film yang disutradarai oleh Faozan Rizal ini sekaligus dijadikan film pembuka 14th Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Setelah memarkir motor di LPP, yang lokasinya sekitar 100an meter dari XXI, kami bergegas menuju antrian tiket untuk mencetak tiket yang dari sekian hari lalu sudah kami booking. Tak lama tiket sudah di tangan dan kami siap menonton.

Pasca sekian sambutan dan tiga kali pukulan gong, lalu sedikit sambutan lagi, kami dipersilahkan masuk ke studio untuk mulai menonton film yang dari posternya, kami sungguh tertarik. Dari posternya saja, kami merasa bahwa film ini akan memberikan sebuah angin segar. Dengan durasi sekitar satu setengah jam lebih, inilah yang kami dapatkan dari film yang produksinya dilakukan satu setengah tahun yang lalu. 

Tenang, Flash Review ini bebas spoiler, jadi aman dibaca sampai akhir. 

Abracadabra, Segar dan Menyenangkan

Kesan pertama yang kami dapatkan ketika film ini pertama kali dimulai adalah segar dan menyenangkan. Kenapa? Pertama soal warna yang dipakai di film ini. Hampir semua warnanya terasa sangat menyenangkan, dan segar. Segar disini artinya kami jarang menyaksikan film Indonesia yang memiliki penggunaan warna macam Abracadabra. Selain soal warnanya yang segar dan menyenangkan, angle-angle yang dipakai di film ini menarik. Kami bisa dibilang menyukai pilihan angle kamera pada tiap adegan. 

Kesegaran dan rasa menyenangkan dari film ini tak berhenti disitu. Soal musik pun kami menyukai komposisinya. Terasa menyenangkan sekali. Selain soal warna pada gambar, musik, dan angle kamera, kami sangat menyukai kostum dan setting dari film ini. Pada beberapa momen perpaduan warna yang ditunjukkan di film ini tepat. Meski di satu waktu yang bersamaan terasa agak jomplang. Tapi somehow, jomplangnya warna itu tidak mengganggu. 

Jika Abracadabra berdiri sendiri sebagai sebuah film Indonesia tanpa melihat film-film luar negeri, maka kami bisa mengatakan film ini sangat menyenangkan dan memberi angin segar yang luar biasa besar. Tapi jika kita melihat perfilman internasional, maka kita akan seketika membandingkan film ini dengan setidaknya 3 film yang lain. Seperti misalnya The Grand Budapest Hotel, Hugo, atau Oz The Great and Powerful. Ada banyak sekali unsur-unsur yang mirip dengan setidaknya 3 film yang kami sebutkan itu. 

 

 

Misalnya soal warna. Akan ada satu adegan di satu setting dimana kalian akan mengingat setting The Grand Budapest Hotel. Bukan hanya setting dan warna settingnya saja, bahkan perpindahan adegannya. Kalian akan melihat perpindahan adegan dengan cara yang mirip The Grand Budapest Hotel. 

Lalu soal beberapa adegan lain. Kami tak bisa menyebut yang mana. Tapi percayalah, kalian akan mengingat bentuk adegan di Oz The Great and The Powerful dan Hugo. Bentuk adegannya, atau kami bisa bilang editingnya mengingatkan kita pada film-film tersebut. 

Lalu soal dramatik. Film ini kalau dilihat dari sudut pandang dramatiknya, maka ia seperti tak menggunakan prinsip dramatik Aristotelian yang proper. Film ini menggunakan prinsip dramatik yang lain dimana tangga dramatiknya tidak naik dengan sangat signifikan dan juga tidak turun dengan sangat signifikan. Bahkan kalian akan cenderung kebingungan mencari dimana klimaks dan anti klimaksnya. Karena mungkin film ini tak menggunakan prinsip dramatik itu. 

 

Bagaimana Para Aktornya?

Untuk para aktornya, kami tak bisa berucap banyak. Kami pikir dengan latar setting dan waktu yang antah berantah, akan muncul ruang eksplorasi yang sangat luas dan liar untuk si aktor. Nyatanya, kami tak menemukan itu hampir pada semua aktornya. Kecuali mungkin beberapa detail kecil yang menarik. Seperti misalnya di tokoh Madam Zakaria yang dimainkan Paul Agusta. 

Sementara untuk tokoh yang lain, kami tak menemukan capaian yang cukup menarik. Padahal ruang eksplorasi mereka luas sekali. Kenapa? Terjebak pada stereotype tertentu kah? Atau perintah sutradara kah? Atau kenapa? Kita akan membahas lebih lengkap di acting review yang mungkin akan kami rilis sekian minggu ke depan. 

Di luar soal permainan para cast dan miripannya film ini dengan beberapa film Hollywood yang kami sebutkan di atas, Abracadabra tetap mampu memberikan sebuah angin segar untuk perfilman Indonesia. Sebuah indikasi yang menurut kami menunjukkan arah perfilman Indonesia yang semakin berwarna. 

Kalau dari kalian yang menonton punya pendapat apa? Coba tulis di kolom komentar ya!

Terima kasih, viva aktor!