[Acting Review] Lampor Keranda Terbang; Sejarah Tokoh yang Kokoh
Bulan November ini, film horor banyak sekali bermunculan. Dari mulai Perempuan Tanah Jahanam, Ratu Ilmu Hitam dan judul lain yang bertebaran. Kami tak menonton semuanya, karena memang tak semuanya cukup menarik untuk kami tonton. Salah satu film horor yang bertebaran dan kami tonton lalu setelah menonton kami berada di posisi antara ingin membuat acting review-nya atau tidak adalah Lampor Keranda Terbang.
Kenapa kami ada di kebimbangan membuat acting review Lampor Keranda Terbang? Kami akan jelaskan di bawah. Sebelum membaca artikel ini pastikan kalian sudah menonton filmnya. Artikel ini penuh dengan spoiler.
Lampor Keranda Terbang, Sejarah Tokoh yang Kokoh
Satu hal yang sangat bisa diperhatikan dari permainan para cast di Lampor Keranda Terbang adalah bagaimana hampir semua pemain menjalankan emosi mereka dengan baik. Terutama pada Dion Wiyoko dan Adinia Wirasti. Pada dua pemain ini, emosi mereka berjalan dengan cukup baik. Bahkan bukan hanya soal emosi yang terjadi atas peristiwa sekarang, tapi emosi tokoh yang sudah menumpuk bertahun-tahun. Kita mulai dari Adinia Wirasti.
Mengutip apa yang dikatakan Stella Adler di bukunya The Art of Acting;
You are living or reliving history every moment of your life. (Adler, 2000: 36)
Menurut Stella Adler, setiap manusia menjalani atau menghidupkan kembali sejarah pada tiap kejadian di hidup mereka. Itulah yang kira-kira terjadi pada tokoh yang dimainkan oleh Adinia Wirasti. Netta, tokoh yang dimainkannya ditunjukkan memiliki sejarah panjang dan kelam dengan desa dan Lampor. Informasi itu bisa kita dapatkan di awal film. Bukan soal informasinya yang menarik, tapi bagaimana Adinia Wirasti berhasil tetap menjalankan sejarah tokohnya selaras dengan kejadian yang sedang dialami Netta.
Diceritakan bahwa Netta adalah alasan kenapa adiknya hilang diambil Lampor. Kemudian selama bertahun-tahun Netta menghadapi rasa bersalah yang sangat besar. Meskipun sejak kejadian Lampor, Netta sudah diboyong ibunya keluar dari desa tersebut. Tapi rasa bersalah yang besar itu sepertinya masih ada dalam kepala dan perasaannya.
Hal yang menarik adalah pada adegan saat ibu Netta meninggal dan ia masih berada di kota, ketakutan yang besar atas desa dan Lampor tak begitu terlihat. Memang ada sedikit rasa takut, sedih, dan bingung. Kami menduga perasaan itu muncul akibat efek kehilangan ibu dan pesan terakhir ibu. Kemudian dalam pikiran si tokoh terlintas kesadaran bahwa cepat atau lambat ia akan kembali ke desa. Dengan perjalanan pikiran macam itu, kami rasa porsi kemunculan emosinya tepat. Tentunya di luar soal apakah Adinia benar-benar menjalankan logika dan emosi seperti yang kami tulis.
Berlanjut pada adegan-adegan ketika ia mendekat ke desa. Kami bisa melihat laku-laku dimana Netta terlihat gelisah. Tapi semuanya tidak dimunculkan sangat besar karena notabene, ia belum ada di dalam desa. Pun begitu ketika terjebak macet dan berada di dalam mobil. Kegelisahan dan ketakutan itu seperti tertumpuk oleh emosi yang lain sehingga ia tak muncul sangat besar, tapi juga tak hilang.
Baru ketika Netta tiba di rumah, dituduh oleh salah satu penduduk (dimainkan oleh Djenar Maesa Ayu yang kami rasa nada bicaranya tidak sangat tepat dan terkesan hampir artifisial) dan bertemu dengan jasad bapaknya yang “terjebak di sakaratul maut” ketakutan Netta mulai muncul perlahan. Tapi tidak seketika. Itu kenapa kami bilang perjalanan emosi Adinia Wirasti cukup baik.
Lalu pada adegan-adegan awal saat ia baru pertama kali datang ke desanya lagi, sebelum Lampor mulai muncul dan konflik mulai menajam, ketakutan Netta dibangun dengan cukup intens tapi tidak berlebihan. Setiap ketakutan dibangun selangkah demi selangkah. Baru ketika malam tiba, Lampor mulai muncul, ketakutan Netta terlihat mulai menebal. Terlebih ketika anaknya, Adam hilang. Disanalah ketakutan, kesedihan, dan penyesalan Netta mulai muncul dengan sangat tebal. Sampai ketika mendekati adegan terakhir ketakutan itu berhasil ia kendalikan dan berubah menjadi keberanian. Itu soal pertumbuhan dan perjalanan emosi Adinia Wirasti.
Sekarang soal sejarah yang kami bilang di atas. Sejarah tokoh yang terus menerus dijalankan oleh Adinia Wirasti sepertinya ia letakkan juga sebagai pondasi dasar emosi-emosi yang muncul dalam tiap adegan. Jika kalian perhatikan baik-baik semua gesture, pandangan mata, dan nada bicara tidak sangat ringan selama ia berada di desa. Sejarah yang juga ia jalankan berbarengan dengan emosinya itu membuat semua laku tubuhnya intens dan konsisten.
Lagi-lagi, karena sejarah itu jadi pondasi dasar, maka setiap respon yang ia keluarkan juga masih terasa logis dan keluar dengan porsi yang tepat. Bahkan ketika adegan yang tidak sangat krusial, kami masih bisa melihat sejarah tokoh tersebut tetap dijalankan oleh Adinia Wirasti.
Respon-Respon yang Sesuai di Lampor Keranda Terbang
Sementara pada Dion Wiyoko dan beberapa pemain lain di Lampor Keranda Terbang yang beberapa kali berinteraksi langsung dengan Adinia Wirasti, seperti Nova Eliza dan Rendra Bagus Pamungkas, mereka berhasil menjalankan respon-respon tokoh dengan porsi yang tepat.
Pada Dion Wiyoko misalnya; kita tahu bahwa sepanjang film Lampor Keranda Terbang yang selalu muncul dengan emosi intens adalah Adinia Wirasti. Dengan kondisi macam itu, rasanya akan jadi tak tepat ketika Dion juga ikut memunculkan emosi yang intens. Jika itu terjadi, maka ansamble tidak akan terjadi dengan baik. Terlebih ketika Edwin, tokoh yang dimainkan Dion tidak memiliki sejarah sekompleks Netta. Sejauh yang kami tahu, dalam kepala Edwin di awal film sebelum Lampor muncul, adalah rahasia Netta yang sedemikian banyak, dan bisnisnya yang entah bagaimana nasibnya.
Dengan sejarah atau dalam bahasa seni peran, halaman nol macam itu, maka logis rasanya jika pondasi dasar tokoh ini bisa diubah dengan cepat. Terlebih ketika anaknya hilang. Dengan hilangnya Adam, Edwin sudah barang pasti tidak mempedulikan lagi bagaimana bisnisnya. Dalam kepalanya hanya ada upaya untuk menemukan Adam bagaimanapun caranya. Perjalanan emosi macam itu terasa logis.
Soal intensitas emosi, kami rasa Dion Wiyoko menjalankan respon dan mendengarkan lawan main dengan baik. Ia tak memunculkan gesture-gesture mendadak. Ia mendengarkan lawan main dan peristiwa, lalu merespon dengan porsi yang sesuai. Soal respon jadi sesuatu yang krusial. Jika respon tidak dijalankan atas dasar pikiran dan perasaan yang berjalan, maka respon bisa jadi sangat artifisial atau palsu.
Salah satu respon artifisial yang menurut kami terjadi di dalam film Lampor Keranda Terbang dan sangat terlihat adalah ketika Dian Sidik, yang menjadi Bimo bertengkar dengan Dion Wiyoko. Pada adegan berikutnya mereka dipisahkan oleh pemain lain. Setelah itu Netta ditunjukkan sesuatu di iPad dan ia pergi ke belakang disusul Dion. Lalu tiba-tiba Dian Sidik ingin menerobos mengejar Dion. Kami merasa gesture itu palsu. Kenapa? Pertanyaannya, kenapa itu bisa muncul? Kenapa mendadak? Kenapa ketika dipisah, Dian Sidik terlihat menyelesaikan emosinya. Ia terlihat tidak menjalankan emosinya dengan kontinyu. Kami menduga, hal itu mungkin terjadi karena ketika dipisah, Dian Sidik tidak menjalankan terus pikiran dan emosinya dengan kadar yang tepat. Mungkin jika dijalankan secara kontinyu, respon itu jadi logis. Atau malah, tidak akan muncul respon macam itu.
Lalu Nova Eliza. Kami merasa Nova Eliza bermain di taraf yang agak aman. Benar bahwa ia menjalankan emosi dan pikiran tokoh. Tapi pada beberapa momen ia tidak menjalankannya secara organik. Artinya, ia tidak benar-benar mendengarkan lawan main. Misalnya di adegan kuburan saat Adinia Wirasti menuduhnya membunuh bapak. Kami menangkap perjalanan emosi yang terduga. Bahkan bukan hanya oleh kami, tapi terduga oleh si aktor sendiri. Ingat, bukankah semua buah pikir dan rasa dari tokoh haruslah segar dan seperti baru pertama kali muncul? Sejauh yang kami lihat, beberapa respon hampir meleset. Beberapa karena seperti terduga akan muncul, dan beberapa tetiba muncul.
Sementara pada Rendra Bagus Pamungkas dan Landung Simatupang, respon-respon yang mereka jalankan sebenarnya sesuai dengan peristiwa yang sedang terjadi. Tapi dari apa yang kami lihat dari Lampor Keranda Terbang, Rendra dan Landung playing so edgy. Mereka berada di ambang “akting yang terlalu besar” untuk mata kamera. Kami menduga hal tersebut muncul karena bentuk-bentuk yang mereka pilih untuk tokoh ini. Misalnya pada momen dimana Yoyok, tokoh yang dimainkan oleh Rendra merespon tentang Lampor di awal film. Kami menangkap bentuk yang hampir terasa teatrikal. Porsi respon itu terasa hampir terlalu besar untuk peristiwa macam itu.
Sementara untuk Landung Simatupang, kami menduga ke-edgy-annya muncul karena warna suara yang ia pilih. Warna suaranya memang menarik dan menjadi capaian ciptaan yang lain. Tapi pada beberapa momen, seperti misalnya ketika ia berhasil mengeluarkan susuk dari tubuh bapak. Kami rasa, dengan peristiwa macam itu, porsi responnya terasa hampir terlalu besar. Lagi-lagi, Landung seperti layaknya Rendra, bermain edgy atau nyerempet-nyerempet. Jadi bentuk mereka hampir berlebihan, respon mereka juga hampir berlebihan. Hampir, tidak sampai berlebihan.
Nihil Capaian Fisiologis, Kecuali…
Benar bahwa soal emosi, sejarah tokoh yang kokoh dan konsisten, respon yang tepat di beberapa bagian, dan upaya mendengarkan lawan main dan peristiwa terjadi dengan baik, bahkan beberapa sangat baik. Tapi kalau soal yang satu ini, soal capaian fisiologis, sialnya kami tak menemukan capaian yang signifikan pada Dion Wiyoko, Adinia Wirasti, Nova Eliza, Dian Sidik dan Annisa Hertami.
Misalnya pada Adinia Wirasti. Coba perhatikan baik-baik semua film Adinia Wirasti. Perhatikan caranya menangis, tempo tangisan dan jeda tangisannya, hampir semuanya sama seperti ia di film-filmnya yang lain. Caranya menangis di Lampor sama persis dengan caranya menangis di Critical Eleven, Sultan Agung, dan hampir semua filmnya yang lain. Kenapa ini jadi sangat krusial? Tentu saja ini krusial. Ketika memutuskan untuk masuk ke seni peran, seharusnya ada paham bahwa setiap manusia punya cara menangis yang berbeda. Bukan hanya ketika ia menangis. Tapi ketika ia menyusun tangisan hingga menghentikan tangisan.
Selain soal cara menangis, kami sama sekali tak menemukan perubahan pada warna suara, cara berjalan, cara memainkan tangan, mata, kaki, torso, dan bagian tubuh lainnya. Tidak ada perubahan yang signifikan. Lalu soal aksen, kami tak mendapati aksen yang kuat seperti Netta ketika kecil. Pertanyaannya jadi begini, apakah Netta memang kehilangan aksennya ketika ia berada di kota? Bahkan ketika ia mengucapkan bahasa daerah desa tersebut. Nada pengucapannya sama persis dengan nadanya mengucapkan bahasa Indonesia.
Sementara pada Dion Wiyoko, kami pun tak menemukan capaian fisiologis sama sekali kecuali soal kumis dan jenggotnya yang tumbuh dan berwarna agak putih dan aksennya yang sedikit berubah. Dari film kami tahu bahwa ia adalah orang Medan keturunan Tionghoa. Betul ia memang jadi lancar berbahasa Tionghoa, dan benar bahwa ia menggunakan aksen Medan. Tapi hal itu tidak terjadi konsisten. Pada beberapa adegan aksen Medannya keluar kental sekali. Sementara pada adegan yang lain aksen Medannya mendadak hilang. Salah satu yang paling terlihat adalah ketika ia bangun dari tidur setelah mimpi buruk dan pada awal-awal film. Jika tidak ada dialog “Medan” maka mungkin kami tak mendapati perubahan aksen yang tipis itu.
Pun begitu dengan Nova Eliza dan Dian Sidik. Kami tak mendapati perubahan fisiologis yang sangat signifikan kecuali aksen yang sedikit diubah. Meskipun pada Nova Eliza, aksen yang ia ciptakan terasa hampir palsu dan terlalu dibuat-buat. Dian Sidik pun begitu. Meskipun untuk soal aksen dan bahasa Jawa, ia terdengar lebih lancar dan konsisten dari pada Nova Eliza. Tapi soal bagian fisiologis lain, misalnya pada warna suara dan cara berjalan, tak ada yang sangat berubah.
Annisa Hertami pun begitu. Sayang sekali, tidak ada yang sangat menonjol dari permainan Annisa Hertami. Ia seperti terjebak pada satu tokoh “pembantu” yang muncul dengan bentuk begitu melulu. Annisa perlu berhati-hati. Ingat, ia memang memainkan tokoh pembantu atau sejenisnya yang berasal dari strata sosial yang hampir mirip. Tapi ingat, mereka adalah tetap manusia yang berbeda dan masing-masing dari tokoh tersebut tumbuh dengan cara yang berbeda.
Lalu siapa di film ini yang memiliki capaian fisiologis? Jawabannya hanya Rendra Bagus Pamungkas dan Landung Simatupang. Pada dua pemain ini capaian fisiologis mereka cukup signifikan. Misalnya pada Rendra. Pada pemain ini kita bisa melihat rambut yang berubah, gigi yang jadi lebih tonggos, cara berjalan yang berubah dengan bentuk leher agak maju ke depan dan punggung agak bungkuk ketika berjalan, dan warna suara yang berhasil diubah.
Dengan perubahan pada gigi, disadari atau tidak oleh Rendra, caranya memainkan mulut jadi berubah. Warna suaranya pun agak sedikit ikut berubah. Mungkin terjadi karena ruang resonansi pada mulutnya bergeser sedemikian rupa. Sehingga pada pengucapan beberapa huruf entah konsonan atau vokal agak berubah.
Lalu pada Landung Simatupang, satu perubahan yang paling jelas terlihat adalah warna suara yang berubah drastis menjadi lebih gandhem, serak, dan berat. Selain warna suara yang berubah, kami tak mendapati perubahan lain. Bahkan juga pada caranya berjalan dan bentuk tubuh lainnya. Jadi pada Landung Simatupang, perubahan fisiologis yang tebal hanya terjadi pada suaranya saja.
Secara garis besar, jika kita mengenyampingkan jauh-jauh soal capaian fisiologis, maka permainan semua pemain Lampor Keranda Terbang cukup bagus. Tentunya juga jika kita mengenyampingkan respon-respon yang buntung. Tapi satu hal yang bisa kita pelajari dari permainan para aktor di film ini, terutama Adinia Wirasti adalah bagaimana seorang aktor harus memahami bahwa manusia yang dibentuknya memiliki sejarah yang harus selalu ia jalankan. Sejarah itu juga yang membentuk bagaimana si manusia merespon dan menjalankan pikiran serta perasaannya. Sejarah dari tokoh ini penting. Tapi bukan sekedar untuk diketahui, tapi juga untuk dipahami dan dijalani oleh si aktor.
Terima kasih, viva aktor!