[Acting Review] Gundala: Menubuhkan Data yang Sulit
Film Gundala adalah tonggak sejarah. Tidak ada yang mempermasalahkan soal itu. Tentu karena keberhasilan Joko Anwar dalam meracik dan mengalihwahanakan Gundala ciptaan Hasmi ini ke dalam film. Setidaknya dalam sudut pandang pemasaran, Gundala sangat laris. Hari ke-7 saja mereka sudah mendapatkan 1 juta penonton. Tidak banyak film Indonesia yang bisa melakukan hal tersebut.
Film ini juga diisi oleh puluhan cast yang sudah punya nama besar di perfilman Indonesia. Dari tokoh utama, sampai cameo-cameo di isi aktor-aktor dengan nama besar di dunia film Indonesia. Dengan cast “besar” sebanyak itu, bagaimana permainan mereka? Are their acting as big as their name? Atau ada masalah lain selain soal nama besar dan tanggung jawab kualitas yang mereka pegang?
Sekedar catatan sebelum membaca artikel ini; Kami tidak akan menulis tentang permainan Sancaka kecil atau Awang. Seperti belum waktunya saja untuk mengulas permainan mereka. Di luar soal kami belum bisa memposisikan diri dengan baik jika menilai akting anak-anak.
Gundala, “Kebanjiran” Pemain “Besar”
Sepertinya banyak orang yang setuju bahwa film Gundala memiliki banyak sekali pemain-pemain dengan nama besar tapi tidak memiliki durasi kehadiran yang cukup. Sebagian besar dari mereka hanya muncul kurang dari 5 menit. Bahkan ada beberapa yang muncul hanya kurang dari 2 menit, lalu mati. Dengan durasi kemunculan yang rendah itu, banyak dari mereka yang belum berhasil memperkenalkan tokohnya dengan baik.
Tapi bukan berarti tidak ada yang berhasil “menaklukkan” waktu yang sedikit itu. Beberapa dari mereka cukup berhasil, setidaknya memukau dalam sudut pandang fisiologis. Misalnya, Della Dartyan yang muncul sebanyak 2 scene kalau kami tak salah ingat. Kemunculan pertamanya cukup mencuri perhatian. Tapi bukan karena permainannya, melainkan karena make up yang membuat Della tampak sangat berbeda. Mungkin karena Della juga tak sempat menunjukkan kemampuannya karena waktu yang luar biasa sebentar, sehingga hampir tak ada yang bisa dinikmati selain make up tersebut.
Selain Della Dartyan, ada juga Aming dan Rendra Bagus. Keduanya bermain sebagai Anak Bapak. Aming sebagai Sang Pemahat, sementara Rendra sebagai Sang Pemain Biola. Aming muncul praktis kurang dari 1 menit. Dan lagi-lagi, tidak ada yang bisa kita lihat dari sudut pandang psikologinya. Kami hanya bisa menangkap perubahan fisiknya saja.
Sementara Rendra malah sebaliknya. Ia malah berhasil “memukau sebentar” dengan permainan psikologinya. Mungkin karena secara fisiologis tak banyak berubah, dan dia bermain biola. Persis seperti Wage ketika sedang bermain biola. Penonton sebelah kami saja seketika langsung menyebut “Itu yang jadi Wage kan?” Ingin rasanya kami berkata “Iya!”
Kenapa kami bisa mengatakan bahwa Rendra berhasil menunjukkan permainan psikologis yang baik. Hal itu hanya bisa kalian lihat ketika ia dihajar oleh Gundala dan tetiba, dari takut, ia merubah emosinya. Dan itu hanya terjadi kurang dari 10 detik. Dengan waktu yang sesedikit itu, setidaknya kami berhasil menangkap perubahan emosi yang menarik. Meskipun setelahnya, terlebih ketika ia bertarung dengan Gundala dan tertawa, rasa-rasanya tertawa itu hampir artifisial.
Hal itu hampir-hampir sama dengan apa yang terjadi pada Asmara Abigail. Sepertinya ia memang sengaja membangun persona tokohnya mendekati Harley Quinn. Tapi nampaknya ia tak membangun pondasi yang kokoh dulu sebelum memutuskan bentuk itu. Sehingga ketika ia muncul, membunuh, lantas tertawa, terasa agak “fals”. Atau mungkin juga karena sedikitnya waktu yang diberikan, sehingga kami tak bisa menangkap latar belakang tokoh, atau kami menyebutnya Halaman Nol si tokoh.
Sementara untuk aktor-aktor yang muncul dengan durasi sedikit lebih panjang, seperti misalnya Putri Ayudya, Ari Tulang, Ario Bayu, Lukman Sardi, Bront Palarae, dan beberapa aktor yang lain tampil memukau pada satu sisi.
Misalnya Putri Ayudya. Kami yang sebelumnya sudah menuliskan review aktingnya di film Kafir, merasa bahwa Putri tidak sepenuhnya menciptakan tokoh tersebut dalam dimensi yang lengkap. Artinya, ia seperti hanya menciptakan dimensi psikologinya saja. Apakah berhasil? Bagi kami cukup berhasil, setidaknya pada bagaimana cara Putri menjalankan respon tokohnya dan memunculkan apa yang disebut Stanislavski “komuni” dengan lawan mainnya.
Komuni dalam pengertian yang paling sederhana adalah hubungan timbal balik antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Hubungan tersebut dibangun dengan cara memperhatikan, mendengarkan, lantas merespon dengan tepat apapun yang dikatakan dan dilakukan oleh lawan mainnya. Entah laku yang besar, atau laku yang terkecil sekalipun. Dalam komuni juga terdapat “inner grasp” (kami belum menemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia, jadi sementara kami terjemahkan menjadi Genggaman Batin). Genggaman Batin ini artinya ada semacam chemistry yang tidak terlihat, tapi terasa dan terjadi pada dua tokoh tersebut.
Nah, dalam adegan yang sebentar itu, terutama ketika berjalan menuju ke kamar hotel, Putri membuat hubungan timbal baliknya dengan lawan main berjalan dengan baik. Kalian bisa memperhatikan matanya yang fokus pada apa pun yang sedang terjadi pada sang suami. Mulai dari yang terjadi pada lakunya, dimana itu bisa dilihat oleh mata si tokoh, dan pada perasaannya, yang kami sebut “Inner Grasp” atau “Genggaman Batin” yang tercipta dari hasil chemistry keduanya.
Lalu bagaimana dengan Ari Tulang? Sejauh yang kami lihat, sebenarnya tokoh yang ia mainkan sangat menarik dalam banyak dimensi. Bentuk yang ia ciptakan juga sejatinya menarik. Tapi, ini agak tragis. Kami menemukan bahwa bentuk yang menarik itu, dengan laku wajah yang otentik, muncul tanpa bangunan yang jelas. Atau singkat kata artifisial. Bentuk-bentuk itu seperti hanya sekedar dimunculkan saja biar memukau secara visual. Tapi bentuk tersebut seperti tak punya hidup.
Mungkin yang menjadi persoalan adalah karena bentuk-bentuk tersebut hanya dihadirkan dan diniatkan “memukau secara visual” saja. Sehingga bentuk tersebut tidak memiliki nyawa yang solid.
Bukan bermaksud membandingkan, tapi cobalah untuk melihat interview Joaquin Phoenix dengan beberapa wartawan di Venice Film Festival beberapa waktu lalu. Dalam wawancara tersebut ia berusaha menjelaskan tentang bagaimana ia menemukan bentuk Joker dan berhasil membuat bentuk tersebut hidup.
Pertama, yang ia lakukan adalah melihat seperti apa bentuk Joker dalam komik. Seperti misalnya make up putih dan gaya tertawa seperti itu. Kedua ia mencari alasan yang logis dan realistis. Joaquin menemukan bahwa Joker menggunakan make up putih karena ia dulu bekerja sebagai badut. Sementara Joaquin menemukan bahwa tertawa Joker seperti itu karena Joaquin merasa dan berpikir bahwa Joker mengidap sebuah penyakit bernama Pathological Laughter or Crying atau PLC. Dengan cara semacam itu, maka bentuk yang diciptakan Joaquin tidak artifisial atau palsu. Tapi bentuk tersebut sejatinya ada di dunia nyata. Dengan begitu, pondasi dari si tokoh jadi sangat kuat. Karena bentuk tersebut juga punya data dan fakta yang kuat, baik dalam sudut pandang sejarah, medis, dan sudut pandang lain. Data dan fakta itulah yang membantu Joaquin mengejawantahkan bentuk tersebut dengan hidup pada Joker. Cuplikan wawancaranya bisa kalian lihat di video di bawah ini.
Kami tahu bahwa salah satu kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam seni peran adalah Imajinasi. Tapi ingat, Imajinasi itu hanya salah satunya. Ia bukan satu-satunya. Jadi membangun dimensi tokoh hanya berdasarkan imajinasi saja tidak akan membuat tokoh tersebut punya bangunan yang kuat. Ia harus dibangun berdasarkan hal-hal yang ada di kehidupan nyata. Dengan cara itu, penonton akan jadi lebih dekat dengan ciptaan si aktor, disadari atau tidak disadari.
Sementara pada permainan Lukman Sardi, kami hampir tidak menemukan capaian yang menarik baik dalam sudut pandang fisiologis atau psikologis. Mungkin juga karena sepanjang film tidak ada kesempatan untuk menunjukkan capaian-capaian tersebut. Tapi bukankah ia memiliki durasi kehadiran yang lebih banyak? Mungkinkah dalam bayangan Lukman, tokoh Ridwan Bahri ini tidak jauh berbeda dengannya?
Salah satu aktor yang memiliki capaian fisiologis cukup menarik, atau lebih mencuri perhatian dari pada pemain lain adalah Pengkor yang diperankan oleh Bront Palarae. Bentuk fisik yang ia ciptakan jauh dari bentuk fisik Bront di film sebelumnya dan di kehidupan nyata. Bentuk fisik itu jadi tidak terasa artifisial karena Pengkor memiliki jatah adegan flashback yang banyak. Sehingga penonton secara tidak langsung disuguhi halaman nol si tokoh.
Pemain yang lain kurang lebih memiliki masalah yang sama. Sejarah, data dan fakta soal tokoh itu tidak berhasil sepenuhnya menubuh dalam diri si tokoh. Lalu bagaimana dengan permainan si tokoh utama, Abimana Aryasatya dan Tara Basro?
Abimana, Tara, dan Gundala
Dengan kemunculan yang jauh lebih banyak dari tokoh lain (jelas, dia kan tokoh utama). Abimana dan Tara Basro memiliki keuntungan sekaligus kerugian dalam waktu yang bersamaan. Pertama, mereka memiliki waktu yang sangat cukup untuk memperkenalkan tokoh mereka pada penonton dan menunjukkan siapa tokohnya dalam dimensi yang lebih lengkap. Di sisi yang sama, mereka bisa jadi juga tidak beruntung. Pasalnya, waktu yang banyak itu bila tidak dimanfaatkan dengan baik akan memperlihatkan ketidak tepatan mereka bermain. Jadi, apakah mereka berdua berhasil?
Kami tidak bisa mengatakan gagal, dan tidak bisa mengatakan berhasil. Hal itu karena ada beberapa aspek yang berhasil, sementara aspek lain butuh sedikit polesan. Misalnya Abimana. Kita tidak bisa memungkiri bahwa ia menjadi sangat kurus, jauh lebih kurus daripada ia di film-film sebelumnya. Hal itu tidak bisa kita kesampingkan dan harus dicatatkan sebagai sebuah keberhasilan. Sejauh yang kami tahu, ia berhasil turun hingga 8 kilogram sampai proses syuting film selesai.
Lalu bagaimana dengan aspek lainnya? Dalam soal permainan Psikologis, Abimana cukup berhasil. Setidaknya soal memunculkan kesan bahwa ia adalah orang lain, ia adalah Sancaka, bukan tokoh lainnya di film-film sebelumnya. Ia juga berhasil menunjukkan timbal balik atau komuni yang menarik antara ia dan kondisi sekitarnya. Bukan hanya pada manusia yang lain, tapi juga pada lingkungan sekitar. Terutama ketika ada petir, dimana petir tersebut adalah momok terbesarnya (pada adegan-adegan awal).
Meskipun begitu, hubungan timbal balik yang dilakukan Abimana pada beberapa adegan terasa tidak dinamis dan hidup. Salah satunya bisa kamu lihat ketika ia berbincang dengan Wulan setelah pasar terbakar. Terdengar dan terlihat dialog yang cepat, datar, dan seolah tak ada emosi apapun yang terlewat. Pertanyaannya, apakah kedua tokoh tersebut, memang akan melakukannya dengan cara itu? Bukankah baru saja terjadi peristiwa besar? Bukankah setidaknya dinamika dimulai dari Wulan, kemudian direspon dengan dinamika yang lain oleh Gundala? Atau keduanya memang tidak punya keterikatan emosi yang mendalam pada peristiwa sebesar itu? Atau ini persoalan tidak saling mendengarkan satu sama lain dan terlalu fokus pada apa yang tertulis di naskah. Jadi bau kertas?
Bagaimana dengan Wulan? Entahlah. Ketika kami melihat film Gundala, kami jadi berpikir, apakah di Indonesia ini psikologis lebih dianggap penting daripada fisiologis? Apakah akting psiko-fisik yang disebut oleh Stanislavski dalam The System miliknya “tidak cocok” dalam ekosistem keaktoran Indonesia?
Akting Psiko-Fisik yang Tidak Cocok?
Sedikit penjelasan soal Akting Psiko-fisik. Sejauh pemahaman kami soal akting Psiko-fisik adalah akting yang dimensi psikologis dan fisiologisnya sama-sama penting. Kedua aspek tersebut saling berhubungan satu sama lain. Analoginya sama seperti sebuah mobil. Fisik adalah kerangka mobil tersebut, sesuatu yang bisa kalian lihat dengan mata telanjang, sementara Psiko adalah sesuatu yang ada dalam mobil tersebut. Sesuatu yang tidak bisa kalian lihat, tapi bisa kalian rasakan.
Dalam pemahaman kami, kedua aspek ini berhubungan satu sama lain. Ia tidak bisa berdiri sendiri (tentu jika kita melihat keaktoran yang ideal dalam sudut pandang The System milik Stanislavski). Jika ia berdiri sendiri, maka yang terjadi adalah gerakan-gerakan yang palsu. Gerakan palsu itu bisa terjadi ketika tidak ada aspek psikologis yang baik dan kuat. Lalu jika psikologi yang berdiri sendiri, maka bentuk fisiknya akan sama pada tiap permainan. Bukankah Stanislavski mengatakan bahwa tujuan dari keaktoran adalah “Menciptakan Manusia Baru”?
The intention of Stanislavski’s proposed artistic process was to lead the actor to ‘the conception and birth of a new being – the person in the part’ (Merlin, 2003: 82).
Dan bukankah tidak ada satu manusia pun yang diciptakan sama persis? Termasuk cara berjalan, menutup mata, berbicara, dan laku tubuh lainnya? Lalu kenapa psikologis dalam dunia seni peran kita seperti jauh lebih penting daripada fisiologis? Apakah karena waktu produksi yang selalu terlalu mepet? Atau kenapa?
Mungkin karena waktu yang terlalu mepet sehingga psikologi menjadi jauh lebih penting. Atau mungkin juga penonton kita yang tidak “cukup berpendidikan dalam seni peran” sehingga menganggap bahwa menciptakan psikologi saja sudah memuaskan dahaga para penonton. Apakah itu yang sedang terjadi pada dunia seni peran kita sekarang?
Dan apakah dalam Gundala itu juga terjadi? Tapi bukannya Gundala menghabiskan proses pembuatan 2 tahun lebih? Dari 2 tahun tersebut, berapa lama proses untuk para aktornya? Mungkinkah para sutradara, dan produser memang tidak pernah memberikan “perhatian” yang cukup pada ruang profesional para aktornya? Atau… apakah aktornya yang tidak sadar dengan ruang kerja profesional mereka? Masalah yang pelik atau bukan masalah sama sekali? Duh!
Menubuhkan Data yang Sulit
Dalam film Gundala, kami mendapati sebuah fakta menarik dalam proses keaktorannya. Dalam salah satu postingan Joko Anwar, kami melihat bahwa ia memberikan sejarah dan profil setiap tokoh pada para pemainnya. Dari tokoh utama sampai para cameo. Langkah yang menurut kami menarik dan menjadi sebuah angin segar untuk ekosistem keaktoran kita. Pasalnya, sangat jarang sutradara Indonesia yang melakukan hal tersebut. Tapi kenapa? Kenapa sejarah dan profil semua tokoh yang diberikan oleh Joko Anwar ini tidak berhasil dimunculkan dengan baik oleh para pemainnya?
Jika pada sub judul yang pertama kami sudah memberikan sekilas penjelasan soal betapa pentingnya Halaman Nol, Joko Anwar melakukan hal ini. Ia memberikan halaman nol pada semua pemainnya. Tapi kenapa Halaman Nol itu seperti tidak tercermin dalam permainan setiap aktornya. Nampaknya masalah menubuhkan data-data tersebut jadi alasan kenapa Sejarah dan Profil si tokoh tidak berhasil dimunculkan atau terejawantahkan dalam permainan tiap aktornya.
Mungkin juga persoalan terjadi karena sejarah dan profil itu dipegang dan dijadikan sebatas pengetahuan saja. Para aktor itu mungkin lupa bahwa sejarah dan profil itu adalah kehidupan yang pernah dialami si tokoh. Sejarah dan profil itu adalah “pembentuk” tokoh sekarang. Atau… datanya tidak sangat lengkap? Tapi kalau kurang lengkap, bukankah itu tugas aktor melengkapinya? Atau mungkin mereka lupa atau tidak tahu bahwa data-data tersebut harus dibiasakan dalam tubuhnya.
Dalam Method of Physical Action milik Stanislavski, ada 4 step yang harus dilakukan agar data bisa ditubuhkan dengan baik. Pertama adalah analisis teks, dimana dari analisis tersebut data berhasil kita temukan. Ketika data ditemukan pun, kita tidak bisa semata-mata menggunakan imajinasi. Setiap data yang berhasil kita temukan mestilah ada padanannya di kehidupan nyata. Tujuannya agar memudahkan si aktor dalam menubuhkan data tersebut karena ada contoh nyata, membuat garis logika yang tepat dari bentuk tersebut dan secara tidak langsung menyentuh ingatan penonton yang mungkin pernah menghadapi peristiwa yang sama.
Dalam analisis teks tadi, diskusi kecil dilakukan untuk perlahan-lahan mengecek adegan, mengecek bit apa saja yang ada dalam adegan tersebut, dan juga mengecek aksi apa saja yang muncul di adegan tersebut. Setelah semua bit ketemu, termasuk semua motivasi dari bit itu ketemu, si aktor baru masuk ke fase improvisasi.
Dalam fase improvisasi ini pun si aktor tidak asal berimprovisasi saja. Tapi ia harus berimprovisasi berdasarkan data-data yang dimilikinya atas tokoh. Mereka juga harus berusaha merekam atau mengingat setiap akting yang mereka lakukan untuk nanti dicek kebenarannya. Dalam tahap ini mereka mengujikan segala data yang berhasil mereka dapatkan dengan cara melakukannya. Ini yang disebut dengan active analysis.
Setelah mencoba data tersebut dengan improvisasi, mereka kembali ke fase diskusi untuk mengecek bagian mana yang menarik dan masuk dalam ruang tokoh dan bagian mana yang tidak dan masih masuk dalam ruang aktor. Langkah itu dilakukan berulang hingga semua data perlahan menubuh dan menemukan alasan yang jelas atas kemunculannya.
Langkah Method of Physical Action ini tentu membutuhkan waktu yang sangat lama. Tapi bukankah Gundala menghabiskan waktu 2 tahun lebih? Apakah metode ini dilakukan?
Catatan Lain
Selain soal menubuhkan data, hubungan timbal balik, dan hal lain, ada satu hal yang harus kami sampaikan. Hal tersebut adalah soal dialog yang datar. Kami mendengarkan, hampir pada tiap adegan, dialog-dialog yang dimunculkan oleh para aktornya, bukan dialog yang muncul karena mendengarkan lawan main dan bukan buah dari perasaan dan peristiwa. Dialog itu seperti dialog yang tertulis, dan harus disampaikan. Dalam Seni Teater, kondisi semacam itu disebut “Dialog Bau Kertas”. Apa yang terjadi?
Tapi di luar semua catatan kami, kami hanya mau mengingatkan untuk tidak bernasib sama seperti banyak film Superhero dari Marvel dan DC. Dimana hampir semuanya terlihat tidak sangat memperhatikan penciptaan keaktorannya dengan cukup baik. Terbukti sepanjang sejarah, tercatat hanya satu orang aktor yang berhasil mendapatkan Oscar dari film bertemakan Superhero. Heath Ledger saja. Meskipun Heath Ledger memang bukan parameter keberhasilan keaktoran (karena kematiannya, mungkin kalau nggak mati, dia jadi salah satu parameter keberhasilan), tapi proses dan kegilaan yang dilakukannya untuk menemukan tokoh wajib dicontoh.
Atau kalau Heath memang terlalu ekstrim untuk dicontoh, maka coba untuk mencontoh cara Joaquin Phoenix dalam bermain sebagai Joker. Phoenix kan tidak mati juga setelah memerankan tokoh ini. Dan digadang-gadang masuk Oscar.
Kami berdoa, semoga dalam Bumi Langit Cinematic Universe ini setiap aktornya adalah “Heath Ledger” atau “Joaquin Phoenix” yang sibuk, suntuk, dan serius membangun serta menubuhkan tokohnya. Dan juga punya produser yang mendukung. #ups!
Terima Kasih, Viva Aktor!