Pretty Boys Flash Review; Segar, Tapi…
Pretty Boys adalah film yang selama lebih sepekan ini promonya hampir ada dimana pun. Seperti yang mungkin sebagian kalian tahu bahwa film ini adalah “film pertama” untuk banyak castnya. Film ini merupakan debut pertama Vincent Rompies dan Desta sebagai tandem di satu film dengan posisi sebagai pemeran utama. Film ini juga merupakan film yang pertama bagi Tompi, sang sutradara. Bagi Danilla, ini film pertamanya dengan porsi sebanyak itu. Bagi beberapa kru bahkan, ini merupakan film pertama mereka. Tapi bagaimana “Bayi Pertama” ini? Apakah sebagai “Anak Pertama” ia muncul cukup menggebrak? Atau… Ah, baca saja pembahasannya berikut ini.
Seperti biasa, flash review ini bebas spoiler. Selain itu, kami tidak akan banyak berbicara soal filmnya, karena kami tak sangat paham. Kami akan lebih banyak bicara aktingnya, tanpa memunculkan spoiler tentunya.
Tompi, Pretty Boys, dan Kesegaran yang Lain
Tidak dipungkiri, film Pretty Boys cukup menyegarkan. Pertama kita bahas dari sisi penyutradaraan dan gambarnya dulu sebelum ke permainan. Bagi kami, yang tidak begitu paham tentang teori-teori perfilman dan hanya suka menonton film, kami merasa apa yang Tompi tunjukkan sangat segar. Dari mulai komposisi tiap gambarnya, hingga penataan cahayanya.
Film garapan Tompi, bagi kami, sekilas, sangat sekilas, mengingatkan kami pada tata cahaya yang dilakukan Damien Chazelle di La La Land. Kami menangkap warna yang segar dan komposisi cahaya yang menarik. Bagi kami, komposisi semacam ini terasa baru. Tapi, komposisi ini hanya ada di beberapa adegan saja. Terutama adegan-adegan yang minim pencahayaan.
Ketika adegannya sudah “kebanyakan cahaya”, film tersebut jadi umum kembali. Ia jadi tak terasa segar karena komposisinya seperti sudah awam. Sementara soal penyutradaraan, kalian akan mendapati dramatik yang cukup berwarna. Meskipun minim spektakel.
Rasanya kesegaran itu hanya muncul dari bagaimana tata cahaya di film ini. Untuk aspek yang lain, kami tak menemukan kesegaran. Ada satu lagi, dalam tiap wawancara Tompi atau cast Pretty Boys, mereka selalu mengatakan bahwa tompi adalah orang yang detail. Bahkan ketika adegan bangun tidur dan tanpa make up, ia akan melakukannya senyata mungkin. Kami melihat sekilas memang tak ada make up. Tapi “halaman nol tokoh” yang tidak tertulis di naskah, dimana ia sudah tidur sekian jam, juga tak terlihat dari wajah yang tak bermake up itu.
Lucu, Tapi Jangan Berharap Lebih
Lalu soal permainannya, kami sarankan jangan berharap pada capaian permainan yang lebih. Kalian tidak akan melihat capaian fisiologis, dan sosiologis. Tapi tenang, ada sedikit capaian psikologis yang menarik. Di luar itu, capaian yang bisa terlihat lainnya adalah pembawaan yang berbeda dan chemistry antara Vincent Desta yang sangat kuat. Hanya itu.
Selain hal yang kami sebutkan di atas, kami tak menemukan hal yang menarik. Seperti yang terlihat di trailer bahwa mereka berdua menjadi banci, pada bagian itu pun, kami melihat ciptaan yang hampir artifisial. Ingat, hampir artifisial ya! Kenapa bisa begitu?
Somehow, kami merasa permainan hampir semua cast di film Pretty Boys seperti janggal. Janggal bukan karena penciptaannya (yang dalam sudut pandang keaktoran ideal Stanislavski) tidak ada yang spesial. Mereka seperti punya visi untuk menggapai tokoh yang akan mereka mainkan. Semua pemain seperti tahu siapa dan dimana tokohnya. Mereka tahu harus melakukan apa untuk menggapai tokoh itu, dan mereka sudah melakukan itu. Tapi entah kenapa, mereka hanya sebatas “hampir tergapai”. Seperti ada yang kurang, entah kurang strategi untuk menggapai, atau kurang sesuatu, sedikit lagi.
Permainan mereka semua juga seperti ada di ambang. Jika dianalogikan, permainan semua cast Pretty Boys seperti ada di pinggir jurang. Permainan mereka seperti hampir jatuh ke jurang tapi tak jatuh. Atau bahasa paling sederhana, Nanggung.
Nah, soal pencapaian psikologis yang menarik itu, kalian bisa melihatnya pada permainan Vincent dan sedikit pada permainan Danilla. Di bagian mana? Kalian bisa melihatnya sendiri di bioskop. Soal komedi, kalian akan melihat cara berkomedi yang sama seperti Vincent Desta di Tonight Show.
Ada satu lagi, bagi kami, justru seharusnya, para pemain bermain serileks adegan paling terakhir ketika masuk credit title. Semua respon berjalan dengan baik. Ingat kata Stella Adler di bukunya The Art of Acting;
The reaction cannot be forced. It has to be born. (Adler, 2003: 44)
Reaksi tidak bisa dipaksa. Ia harus lahir. Ia lahir dari proses mendengarkan, melihat, dan merasakan setiap kata yang diucapkan lawan main, kondisi ruangan, dan hal-hal lain yang ada di luar si aktor.
Mungkin itu masalah kenapa permainan mereka nanggung. Anyway, tonton saja lah. Setidaknya kalian akan terhibur, sangat.
Terima kasih, viva aktor!