[Acting Review] Kafir; Takut yang Berwarna
Kafir adalah salah satu film horror yang cukup menyita perhatian tahun lalu. Puncaknya ketika Kafir mendapatkan 5 nominasi FFI pada tahun 2018 lalu dan salah satunya untuk kategori Pemeran Utama Wanita Terbaik. Putri Ayudya adalah pemeran utama wanita di film ini yang mendapatkan nominasi untuk aktris utama terbaik di FFI 2018. Melihat capaian ini, menarik untuk kemudian membuat sebuah acting review untuk permainan Putri Ayudya di film ini sembari menilik bagaimana perkembangan akting para aktris dan akting di film horror akhir-akhir ini. Karena sepertinya, kualitas akting, terutama di film horror, tersendat pada satu capaian tertentu.
Berikut ini review akting Putri Ayudya di film Kafir;
Hampir Tidak Ada yang Spesial
Ketika pertama kali menonton film Kafir, kami tidak berharap banyak pada kualitas permainan Putri Ayudya. Lebih tepatnya kami tak ingin terlalu berekspektasi soal permainan Putri. Pasalnya melihat bagaimana sejauh ini akting para aktris yang seolah berhenti di satu milestone yang itu-itu saja membuat kami takut kecewa. Nyatanya memang begitu. Pada menit-menit pertama film Kafir dimulai, kita melihat secara fisiologi terlebih dahulu. Seperti yang sudah dikatakan di sub judul, kami tak melihat ada capaian yang spesial. Tidak ada perubahan yang sangat drastis dari Putri Ayudya perkara capaian fisik. Baik itu cara berjalan, cara melihat, bentuk ekspresi, semuanya bisa dibilang sama dengan Putri di luar film. Jika secara ketubuhan tidak ada yang berubah, lalu apa yang sudah berubah?
Kalau kita menilik pada bagian suara, kita bisa mendengarkan sedikit perubahan. Baik itu perubahan logat yang sangat tipis, dan perubahan suara yang amat sedikit. Jika kita tidak mendengarkan betul dan membandingkan, maka kita tidak akan bisa menemukan perbedaan itu. Tapi ada satu yang menarik dari ciptaan Putri Ayudya soal suara di film Kafir ini. Jika kalian perhatikan betul, warna suara memang tidak berubah banyak, tapi cara bicaranya berubah cukup drastis. Hal itu yang nampaknya membuat Putri berhasil membuat cara bicara tokoh Sri yang ia mainkan berbeda cukup drastis dari caranya berbicara di keseharian, atau paling tidak, sejauh arsip yang bisa kami lihat, adalah saat ia wawancara.
Coba bandingkan caranya berdialog di interview film Tjokroaminoto 3 tahun lalu;
Dengan caranya berbicara di film Kafir;
Kita bisa melihat tidak ada perbedaan yang cukup jauh. Tapi pada caranya berbicara, kamu bisa melihat cara yang membuat warna suara yang hampir sama itu jadi terasa berbeda secara signifikan.
Selebihnya soal fisik kami tidak bisa menemukan capaian yang lain di awal film. Hingga kemudian film mulai masuk ke adegan dimana keseraman terus terjadi yakni adegan setelah suami Sri meninggal. Disini lah kami menemukan hal lain soal fisiologis yang sepertinya luput diperhatikan oleh Putri Ayudya. Setelah suaminya meninggal, ia kemudian mendadak sakit kakinya dan pincang. Setelah itu, coba perhatikan baik-baik, ada saat-saat dimana kepincangan itu mendadak menghilang. Yups! Konsistensi dari apa yang sudah diciptakannya seperti luput dari ingatan. Salah satu contohnya bisa kamu lihat di adegan ketika Putri berjalan ke kamar Andi setelah memasak sayur sop. Pada bagian itu memang jarak jalan Putri tidak jauh, tapi coba lihat bagian pinggulnya, maka kamu tidak akan menemukan sesuatu yang tidak beres pada kakinya. Mungkin awalnya akan terlihat biasa saja, tapi coba lihat lagi ketika Putri berjalan menuju jendela setelah ia melihat panci terjatuh dari meja. Ada kepincangan yang tiba-tiba muncul, meskipun setelahnya kepincangan itu kembali menghilang ketika ia berlari kecil. Pesan soal seberapa sakit kepincangan itu dan konsistensi kepincangan itu rasanya kurang utuh sampai kepada penonton. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah seberapa pincang dan sakit kaki si Sri?
Tubuh sebagai Ejawantah Pikiran dan Perasaan
Dalam dunia keaktoran, ada istilah namanya sponge effect. Pada beberapa pakar keaktoran mereka memiliki istilah yang berbeda. Secara sederhana, sponge effect adalah sebab akibat yang terjadi pada mekanisme dalam dan luar dari tokoh tersebut. Contohnya, ketika tokoh merasa takut karena hantu, ia kemudian menutup matanya dan berteriak. Secara sederhana itulah yang dinamakan sponge effect. Antara pikiran, perasaan, dan tubuh berjalan selaras dan saling “mewakili” satu sama lain. Nah, jika kita bicara soal tubuh sebagai ejawantah pikiran dan perasaan dalam permainan Putri Ayudya di film Kafir, maka kita bisa menemukan hal lain.
Dalam permainan Putri Ayudya di sepanjang film, ada satu bagian yang sepertinya luput untuk diciptakan utuh oleh Putri. Hal itu adalah soal tubuh sebagai perpanjangan tangan pikiran dan perasaan si tokoh. Pada bagian itu, ada beberapa adegan dimana kami tidak melihat setiap detail matriks di tubuh menjadi ejawantah yang baik dari perasaan dan pikiran yang terjadi pada tokoh. Misalnya, yang paling sering terlihat adalah ketika Sri sangat sering melamun. Pertanyaan sederhana muncul. Apakah ketika seseorang melamun, tatapan matanya akan benar-benar kosong? Tidak ada sedikit pun pikiran atau perasaan yang berjalan saat itu? Bahkan pikiran soal “Kenapa ini semua terjadi pada keluargaku?” Hal itu juga tidak terlihat dengan baik pada bagian ketika ia melamun, terutama di bagian mata.
Masih soal mata, ada beberapa adegan dimana mata Putri seperti tidak bisa banyak bicara. Salah satunya bisa kamu lihat di adegan ketika dukun berhasil mengambil santet dan dia mengatakan “Balas”. Intonasi, nada dan timing dialognya memang tepat. Tapi tangga menuju dialog itu tidak terasa. Kami tidak bisa melihat perubahan garis wajah atau bagian tubuh lain sebagai ejawantah perjalanan pikiran menuju ke dialog “Balas”. Matanya juga tidak menggambarkan gejolak yang terjadi sepersekian detik pada adegan tersebut. Padahal bisa dibilang ia tahu bahwa akhirnya santet adalah penyebab kematian sang suami dan yang juga mengancam keselamatannya. Gejolak emosi atas santet itu tidak terasa sangat kental jika kita melihat mata Putri pada adegan tersebut.
Intensitas yang Berwarna
Setelah film Kafir sudah mulai masuk di bagian yang “mengaduk” psikologis tokoh, kami sudah tidak memperhatikan soal fisiologis lagi karena memang sudah tidak ada lagi perkembangan yang menarik dari penciptaannya secara fisik. Kemudian kami mulai fokus pada permainan psikologis, emosi, dan motivasi si Sri.
Secara garis besar, semua emosi, motivasi, dan respon yang Putri lakukan logis. Bukan hanya logis, pikiran Putri seolah benar-benar dijalankan untuk kemudian menghasilkan respon tersebut. Salah satu contoh pikiran yang berjalan dengan baik bisa kamu lihat ketika adegan makan malam dan Andi tersedak. Kita bisa menangkap alasan Putri ketakutan dan khawatir. Tangga menuju ke respon itu dan informasi yang berjalan di pikiran si tokoh pun terasa cukup jelas. Secara sederhana kita bisa menangkap kenapa tokoh Sri tiba-tiba khawatir dan merubah ekspresi wajahnya. Kita tahu bahwa ia ingat dengan peristiwa kematian suaminya dan takut hal yang sama terjadi pada anaknya. Pada bagian ini, matrikulasi tubuh yang mendetail dan tubuh sebagai ejawantah pikiran dan perasaan terasa utuh dan saling melengkapi.
Respon yang menarik lainnya juga bisa kamu lihat di adegan ketika ia bertemu dengan sosok menyeramkan dan membaca ayat kursi. Respon, intensitas emosi, dan buah dari intensitas emosi yang keluar terasa pas dengan peristiwa. Kita bisa membaca itu dari bagaimana pelafalan, pemenggalan kata, tarikan nafas, kapan suara keluar dan kapan suara tenggelam tapi masih terlafalkan dilakukan. Semuanya terasa logis dan tiap langkah emosi dalam adegan itu terasa tepat. Secara sederhana begini, perasaan takut ketika pertama kali tokoh itu muncul, dibarengi dengan perasaan terkejut. Dimana jika ditilik secara psikologis, akan ada semacam ketidak sadaran untuk melawan dan bertahan hidup, dimana hal itu muncul dari lancarnya pelafalan ayat kursi. Tapi detik berikutnya, pelafalan itu mulai kabur-kabur. Sudah jelas bahwa pikiran yang sadar telah mengambil alih dan merespon peristiwa yang tertangkap indera. Sehingga rasa takut lebih menguasai dari pada keberanian yang secara tidak sadar tadi sempat muncul. Hingga ketakutan makin memuncak dan tidak ada ejawantah lain selain teriakan. Perjalanan pikiran dan emosi yang terjadi di adegan itu tepat.
Respon dan permainan emosi berikutnya yang juga menarik bisa kamu lihat di adegan terakhir ketika Sri melihat kedua anaknya tertangkap dan disiksa oleh Leila. Kita bisa melihat permainan emosi yang dalam dan cukup menarik. Secara garis besar, respon dan intensitas yang muncul terasa logis. Atau paling tidak, kami yang menonton tidak dibuat capek dengan emosi yang begitu-begitu saja. Bukan hanya soal intensitas emosi, tapi juga gesture yang muncul di adegan tersebut. Gesture yang muncul juga tepat, tidak berlebihan dan tidak kurang. Katakanlah tokoh Sri ini diserang sesuatu yang tak kasat mata selama beberapa hari non stop. Psikisnya terganggu, kondisi fisiknya juga terganggu dan tubuhnya pasti sangat lelah. Hingga akhirnya ia berada di tempat anak-anaknya disekap. Gesture yang keluar tidak berlebihan. Sesuai dengan kondisinya yang sudah berhari-hari diserang secara psikis dan fisik oleh santet.
Meminjam apa yang dikatakan Stanislavski dalam buku Membangun Tokoh soal motivasi;
“…Dalam akting tidak boleh ada gestur yang dilakukan hanya demi gestur itu sendiri. Gerak kalian harus selalu mempunya tujuan dan terkait dengan muatan atau isi peran kalian. Laku atau tindakan yang jelas tujuannya dan produktif akan dengan sendirinya menangkal kecenderungan pamer dan tebar pesona, berlagak, dan hal-hal berbahaya lainnya” (52:2002)
Putri Ayudya melakukan setiap gesturenya dengan motivasi yang jelas dan tanpa tendensi pamer, tebar pesona, atau hal-hal berbahaya lainnya, seperti kata Stanislavski.
Takut yang Dinamis
Sepertinya hal inilah yang paling mencuri perhatian kami. Pada keseluruhan adegan di film Kafir, Putri secara garis besar telah berhasil menunjukkan ketegangan yang terjadi di setiap adegan. Bukan hanya itu, jika film horror adalah soal bagaimana rasa takut ditunjukkan, Putri berhasil menunjukkan rasa takut itu dengan dinamis. Kami tidak disuguhi ketakutan yang punya intensitas sama sepanjang film. Ada warna dalam ketakutan yang diciptakan oleh Putri. Dimana kebanyakan warna itu muncul secara logis dari peristiwa yang terjadi di depan matanya.
Secara garis besar permainan Putri cukup baik. Meskipun jika kita bicara pada tataran penciptaaan tokoh yang detail dan lengkap secara 3 dimensi, ada beberapa bagian yang tidak tercipta. Selain itu soal konsistensi baik ketubuhan, psikis, dan emosi juga menjadi hal yang kadang luput. Begitu juga pada tataran matrikulasi tubuh secara detail dan posisi tubuh sebagai perpanjangan tangan pikiran dan perasaan yang terjadi. Terkadang guna tubuh secara detail sebagai penyampai emosi dan perjalan pikiran tidak sampai. Bukan tidak sinkron, tapi tidak sampai.
Paling tidak, Putri Ayudya telah berhasil menunjukkan kepada kami level permainan film horror yang baru. Permainan yang tidak melulu takut pada tingkat ketakutan yang terus sama atau monoton.
Itu tadi sedikit ulasan tentang akting Putri Ayudya di film Kafir. Semoga bermanfaat!
Viva Aktor!