[Acting Review] Ringgo di Keluarga Cemara; Suara yang Hampir Sempurna
Menilik perkembangan akting film Indonesia sekarang ini cukup menarik. Jika dulu, bagi kami sejujurnya, tidak banyak film Indonesia yang punya kualitas keaktoran yang baik, sekarang nampaknya kualitas itu perlahan mulai merata dan berubah menjadi lebih baik. Bahkan pada beberapa aktor yang dulu, sejauh yang kami lihat, memiliki kualitas akting yang belum baik, sekarang punya capaian yang cukup signifikan dalam kualitas aktingnya. Entah itu disadari oleh si aktor atau tidak, tapi beberapa dari mereka kualitasnya tumbuh menjadi lebih baik. Salah satunya adalah Ringgo di Keluarga Cemara. Kami tak tahu dengan filmnya yang lain, tapi dalam Keluarga Cemara, kami melihat sebuah capaian yang menarik dalam permainan akting Ringgo. Apa itu? Kenapa bisa menarik? Apakah ia menciptakan tokohnya dengan sempurna secara fisiologis, psikologis, hingga sosiologis? Mari kita bedah satu persatu!
Capaian Fisiologis yang Mengejutkan
Salah satu yang paling mengejutkan dalam permainan Ringgo di Keluarga Cemara adalah capaian fisiologisnya. Tapi bukan fisik yang berubah seperti layaknya Christian Bale yang kurus drastis, atau naik berat badan secara drastis, atau seperti Reza Rahadian di My Stupid Boss yang secara bentuk fisik berubah berkat bantuan make up. Secara bentuk fisik, Ringgo tidak berubah sama sekali, kita masih jelas melihat Ringgo disana. Tapi justru yang menarik adalah bagaimana pembawaan si aktor berubah. Pertama, yang paling jelas terlihat adalah ritme dari tokoh Abah. Mengutip apa yang disampaikan Stella Adler dalam buku The Art of Acting, bahwa;
You must understand that each character has a rhythm. In the church the rhythm is peace and quiet. A nun doesn’t need to hurry. She’s secure in her circumstances. (Adler, 2000:176)
Setiap karakter memiliki ritmenya masing-masing. Dimana menurut penjelasan Stella Adler, -dengan mengambil contoh biarawati di gereja- biarawati tidak memiliki ritme yang cepat. Ia tidak perlu terburu-buru karena di gereja ritmenya adalah tenang dan damai. Biarawati itu juga merasa aman dalam kondisinya. Karena kondisi yang ada di sekitarnya itulah yang kemudian membentuk ritme tokoh ini.
Nah, dalam tokoh Abah yang diciptakan oleh Ringgo di Keluarga Cemara kurang lebih sama. Ia memiliki ritme yang berbeda dimana kita tahu bahwa ritme tersebut tercipta karena kondisi dan latar belakang tokoh. Kalau kita breakdown latar belakang tokoh ini, maka kita bisa mengatakan bahwa ia adalah orang Sunda. Kami menyimpulkan hal itu dari logat yang terdengar. Kemudian di masa kecil, tokoh Abah tinggal di desa yang cukup jauh dari kota. Kami menyimpulkannya juga dari alur cerita di film, dimana mereka kemudian pindah ke pedesaan yang cukup jauh dari kota. Lalu seperti yang kita tahu, atau pemahaman kita secara umum bahwa orang-orang di desa hidup dengan ritme yang tidak secepat orang-orang yang tinggal di kota. Sehingga hal-hal tersebut membuat tokoh Abah memiliki ritme yang cenderung lambat. Itu dari kondisi sosialnya saja. Soal psikologi kami tak bisa membaca banyak. Mungkin jika Ringgo melakukan pencarian tokohnya dengan mewawancarai Adi Kurdi, maka dimensi psikologis bisa jadi tercipta dari hasil obrolan mereka. Dimana kesimpulannya tetap membawa tokoh Abah pada ritme yang cenderung lambat.
Soal ritme ini bisa kita lihat dan rasakan dari awal kemunculan si tokoh. Indikasinya bisa dilihat dari cara bicara, cara tokoh ini merespon sesuatu, dan lain sebagainya. Dimana cara-cara tersebut memperkuat kesan tokoh dengan ritme pelan. Kami, yang dari kecil sering melihat Adi Kurdi bermain sebagai Abah, juga merasa bahwa ritme yang dimainkan Ringgo selaras dengan ritme yang dimainkan oleh Adi Kurdi di Keluarga Cemara versi sinetron. Kami tidak bicara mana yang lebih baik, karena pada dasarnya, dua tokoh ini dibuat hidup di masa yang berbeda. Baik Abah versi Adi Kurdi dan Abah versi Ringgo hidup dengan latar belakang sosial yang berbeda, kondisi politik yang berbeda, kondisi ekonomi yang tidak sama, dan lain sebagainya.
Selain ritme yang lebih lambat, apalagi capaian fisiologis Ringgo? Sayangnya kami tak menemukan laku tubuh lain yang berbeda dari Ringgo di Keluarga Cemara, di film lain, dan ia di luar film. Kami masih melihat cara berjalan yang sama, bentuk ekspresi wajah yang sama, cara menunjuk yang sama, dan beberapa laku tubuh yang masih sama. Sebatas penglihatan kami, ritme tokoh ini saja yang berubah. Tapi ritme ini rupanya mampu merubah aspek lain yang oleh banyak aktor jarang tersentuh. Aspek yang berhasil diubah adalah suara.
Ritme dan Suara yang Berubah
Kalau kita bicara soal akting, maka mungkin suara adalah salah satu bagian yang paling penting. Seperti kata Tommaso Salvini, yang dikutip oleh Stella Adler di buku The Art of Acting;
Salvini said, “What is acting? Voice. Voice. And Voice.” (Adler, 2000:17)
Suara memang aspek yang sangat penting dalam keaktoran. Meski menjadi aspek yang sangat penting, tidak banyak aktor yang mampu merubah suaranya. Bahkan ketika ia diberi tuntutan untuk merubah logat, kebanyakan dari mereka melakukannya dengan palsu dan berpura-pura. Logat yang paling jelas terdengar, malah terasa dibuat-buat dan tidak hidup. Belum pada warna suara yang harus dirubah. Tidak banyak aktor yang sadar bahwa ia harus merubah warna suara. Ada dua kemungkinan, pertama karena memang tidak sadar, atau yang kedua karena terlalu sulit.
Tapi kami terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Ringgo di Keluarga Cemara. Kami berpikir, ia akan menjadi satu dari sekian banyak aktor yang akan melupakan aspek suara. Ternyata tidak! Kami mendengar warna suara yang berbeda. Memang, perubahannya tidak sangat signifikan, tapi perubahan tersebut ada. Coba dengarkan cuplikan adegan ini, langsung lompat ke menit 1.06 ya!
Lalu coba bandingkan dengan warna suaranya ketika di luar film, ini saat wawancara setelah syuting Keluarga Cemara.
Dari dua video di atas, kami bisa mendengar nada yang berbeda dari suara Ringgo sebagai Abah dan ketika ia tidak menjadi Abah. Nadanya sebagai Abah terdengar lebih rendah dari Ringgo biasanya. Kami berpikir hal itu mungkin terjadi karena ritme tokoh yang berhasil diciptakan Ringgo dengan baik. Sehingga ritme tersebut berpengaruh pada warna suara si tokoh. Capaian yang mengejutkan sekaligus menarik. Bukan hanya soal warna suara yang berubah saja, tapi kecocokan antara warna suara Abah dengan persona Abah yang dibangun oleh Ringgo. Hal itu juga sangat menarik! Tidak banyak aktor yang bisa melakukan hal tersebut. Coba dengarkan baik-baik warna suara Abah. Warna suara yang rendah itu cocok sekali dengan tokoh Abah yang punya ritme pelan, laku tubuh yang cenderung santai dan respon yang selalu tenang. Karena kecocokan warna suara itulah yang kemudian membuat perubahan warna suara tersebut terasa sangat hidup, bahkan ketika perubahannya sedikit.
Tapi sayang, capaian itu tidak diimbangi dengan konsistensi. Meskipun Ringgo berhasil menciptakan suara tokohnya dengan baik, ia tidak berhasil mempertahankan bentuk itu pada adegan-adegan tertentu. Pada beberapa adegan, terutama adegan dengan emosi besar atau ketika volume suaranya ditinggikan, kami menangkap warna suara yang sama dengan Ringgo di luar film. Ia kembali ke warna suaranya yang asli. Misalnya di adegan ketika ia marah pada Euis, atau ketika ia bicara pada Ara soal Cemara di meja makan yang bisa kamu lihat pada video di bawah ini;
Ringgo identik sekali dengan suara melengkingnya (bahasa kami melengking, meskipun tidak melengking, tapi cenderung cempreng dan agak tinggi) yang ia ekspresikan pada kondisi-kondisi bahagia, bercanda, atau kondisi-kondisi sejenis. Suara melengking yang dimiliki Ringgo itu sayangnya suka keluar ketika tokoh Abah menjalani perasaan dan peristiwa yang sama dengan peristiwa yang membuat Ringgo mengeluarkan suara melengking itu. Seperti pada cuplikan video di atas, terutama di detik awal saat ia berbicara dengan Ara. Emosi pada adegan itu selaras dengan emosi Ringgo ketika ia sedang bercanda. Kalian bisa melihatnya di cuplikan video di bawah ini;
Peristiwanya memang berbeda, tapi emosi yang berjalan pada dua video di atas sama. Sama-sama emosi bahagia. Nah, pada peristiwa dengan emosi yang sama itulah Ringgo kembali ke warna suara aslinya. Ia tidak konsisten ada di suara Abah yang dari awal kemunculannya sudah ia bangun dengan baik.
Selain soal warna suara, lalu apalagi? Kami lagi-lagi belum melihat sesuatu yang menarik soal suara selain warna suara, tempo bicara, dan nada. Soal logat misalnya, kami tak melihat logat Sunda yang kental. Jika soal logat perbandingannya adalah ciptaan Adi Kurdi, maka kami rasa Ringgo belum terasa Sunda. Meskipun ada beberapa adegan yang logat Sundanya terasa. Tapi lagi-lagi, tidak konsisten. Kenapa bisa begitu Mas Ringgo? Semoga ada kesempatan berbincang dengan Ringgo soal proses kreatif keaktorannya ini. Baiklah, kita lanjut lagi.
Ritme sudah, suara juga sudah, lalu apalagi yang bisa dilihat dari permainan Ringgo di Keluarga Cemara? Bagaimana dengan permainan emosi dan respon si tokoh?
Respon dan Emosi yang Mengalir
The actor has to develop his body. The actor has to work on his voice. But the most important thing the actor has to work on is his mind. (Adler, 2000:20)
Sebagai seorang aktor, ia harus mengembangkan kemampuan tubuhnya. Ia juga harus mengembangkan kemampuan suaranya. Tapi yang paling penting adalah si aktor harus mengembangkan kemampuan berpikirnya. Kurang lebih itu maksud Stella Adler di bukunya The Art of Acting. Aktor harus mempersiapkan semua modal yang dimilikinya, yakni tubuh, rasa, suara dan pikir. Karena modal itulah alat bagi aktor untuk bisa memainkan tokohnya dengan baik. Lalu bagaimana dengan Ringgo? Apakah ia sudah cukup berhasil pada tubuh, suara, dan pikirannya? Kalau tubuh, seperti yang kami lihat dan sampaikan di awal, perubahan cenderung ada pada ritme, bukan pada bentuk tubuh atau laku tubuh. Sementara suara lebih baik dari tubuh. Ia berhasil merubah ritme, nada, hingga warna suara. Meskipun tidak konsisten. Lalu bagaimana dengan pikiran? Bagaimana mengukurnya? Apakah Ringgo cukup berhasil menjalankan pikiran dan perasaan Abah?
Pada dasarnya Ringgo cukup berhasil memainkan pikiran dan perasaan tokoh. Kita bisa melihat hal itu dari respon-respon yang muncul dalam beberapa adegan. Katakanlah begini, kita sepakat bahwa tokoh ini adalah tokoh yang baik, jujur, tenang dan penyabar. Sehingga hanya hal-hal tertentu dan momen-momen tertentu saja yang bisa membuatnya marah besar. Misalnya dalam adegan ketika para pegawainya demo menuntut gaji. Kita bisa melihat cara merespon yang tenang, ekspresi wajah yang terkontrol dengan baik, bahkan warna suara yang terkontrol dengan baik. Tepat sebelum ia mengambil kunci mobil dan berkata “Bapak-bapak tahu mobil saya… dst” kita masih mendengar warna suara yang terkontrol dengan baik. Responnya pun masih otentik sebagai Abah.
Lalu pada adegan lain ketika ia mendengarkan telepon di atas pohon. Seperti yang kita tahu bahwa tokoh ini adalah tokoh yang baik dan jujur. Ia sulit untuk berbohong. Pada adegan telepon tersebut, kita bisa melihat Abah yang tidak bisa mengontrol ekspresinya. Ia berusaha bahagia, sementara apa yang didengarnya berkebalikan.
Ada beberapa adegan dengan emosi bertumpuk yang terjadi di film ini. Selain adegan telepon, adegan lain adalah ketika ia mendengar istrinya hamil. Kita bisa melihat ada dua pikiran yang sedang terjadi. Kita lihat pada detik pertama ia mendengar kabar istrinya hamil, pikirannya seperti “Ini kita sedang susah, kok hamil!”. Lalu kita bisa melihat Abah berupaya mengontrol pikiran tersebut, menarik nafas, sedikit menggerakkan leher ke atas, lalu memanggil Ara. Kita bisa melihat bahwa upaya itu adalah upaya untuk mengendalikan pikiran pertama yang muncul, menjadi pikiran yang seolah-olah berkata “Tidak apa-apa, Kita syukuri saja”. Dimana kemudian pikiran tersebut terucap pada dialog “Tiap anak ada rejekinya sendiri-sendiri”.
Lagi, di film Keluarga Cemara ini, Abah banyak menghadapi adegan yang harus mengontrol emosi. Salah satunya ketika ia marah pada Euis di kamar setelah ia pulang dari bertemu teman-temannya yang dari Jakarta. Pada adegan itu respon dan pola emosinya cukup menarik. Pada adegan ini juga ia berhasil menunjukkan rasa marah dengan cara Abah. Maksud kami dengan cara Abah adalah warna suara yang masih sama dan upaya mengontrol emosi yang sama dengan Abah di beberapa adegan sebelumnya. Adegan ini adalah satu dari sedikit adegan dimana Ringgo berhasil mengendalikan warna suaranya.
Tapi ada satu adegan marah yang bagi kami nampak sedikit aneh. Adegan itu adalah adegan dimana Euis dan Ara mengambil sertifikat rumah, hingga kemudian ia dimarahi Abah di kamar. Pada adegan tersebut, di menit pertama kami bisa melihat permainan emosi yang dinamis, menarik, dan relevan dengan persona tokoh yang sudah dibangun Ringgo sejak awal. Tapi sayang, pada bagian fisiologis, pembawaan yang sudah dibangun dari awal itu runtuh. Adegan tersebut adalah adegan dengan emosi terbesar sepanjang film, sejauh yang kami tahu. Kami pikir dalam adegan itu akan melihat cara marah Abah yang otentik. Ternyata kami melihat cara marah, cara menyusun emosi, cara memainkan tangan, warna suara, dan ekspresi wajah yang sama dengan cara Ringgo di film-film sebelumnya.
Secara garis besar, permainan Ringgo di Keluarga Cemara cukup menarik. Ia berhasil mencapai dimensi fisiologis, psikologis, serta sosiologis dengan baik. Ia juga berhasil menunjukkan apa yang sudah ia capai. Selain itu, aktor yang satu ini juga berhasil menciptakan suara yang relevan dengan persona tokoh yang sudah ia bangun dimana sangat jarang aktor melakukan hal tersebut. Meskipun ada beberapa bagian yang membuatnya kurang konsisten, capaian Ringgo patut diacungi jempol. Well done Bah!
Kalau menurut kalian bagaimana? Coba tulis di kolom komentar! Terima kasih, Viva Aktor!