[Acting Review] The Professor and The Madman; Sean Penn yang Mengagumkan
Sudah tahu dengan film yang satu ini? The Professor and The Madman adalah film terbaru Mel Gibson dan Sean Penn yang gaungnya hampir tidak terdengar dimana pun. Kenapa bisa begitu? Katanya, menurut beberapa artikel, salah satunya yang ditulis di digitalspy.com mengatakan bahwa ada persoalan produksi yang cukup pelik dan dramatis sehingga film ini bisa dibilang tidak mendapatkan proses pasca produksi yang baik. Film ini sejatinya sudah rilis sejak Januari 2019 lalu. Tapi jika kalian cek di Google atau dimanapun, maka kalian tidak akan bisa menemukan satupun footage interview baik dalam bentuk video atau pun artikel tentang film ini, baik oleh aktornya atau sutradara. Nothing at all!
Alasannya ya kurang lebih karena masalah Mel Gibson dengan si rumah Produksi Voltage itu. Cukup pelik lah pokoknya! Tidak elok untuk dibicarakan di sini, dan memang kita tidak akan membicarakan persoalan itu. Di artikel ini, seperti judulnya, kita akan membicarakan soal akting para pemainnya, terutama Mel Gibson dan Sean Penn. Bagaimana permainan Sean Penn, si peraih Oscar 2 kali untuk Mystic River dan Milk ini? Apakah kualitasnya masih oke setelah sekitar 3 tahun tak main film layar lebar sama sekali? Film layar lebar Sean Penn yang terakhir adalah The Gunman yang rilis 2015 lalu. Setelah itu ia hanya muncul di TV series, short movie atau film pendek, dan juga pengisi suara di film Angry Birds.
Lalu bagaimana juga dengan Mel Gibson, aktor yang juga berprofesi sebagai sutradara. Peraih Oscar 2 kali dalam setahun untuk filmnya Braveheart, sebagai sutradara terbaik dan sinematografi terbaik? Apakah permainan Mel sebaik Sean Penn? Atau tidak? Berikut pembahasan lengkapnya;
Mel Gibson Mengejutkan!
Membahas permainan Mel Gibson, maka kami cukup dikejutkan dengan kualitas permainan yang menarik dari sutradara sekaligus aktor ini. Dalam film ini Mel Gibson bermain sebagai James Murray, orang asli Skotlandia yang menyusun kamus Bahasa Inggris milik Oxford, singkatnya begitu. Sebelum lebih lanjut bicara soal bagaimana permainan Mel Gibson, kami akan kasih tahu alasan kenapa kami terkejut dengan kualitas permainan Mel Gibson. Pertama, Mel Gibson tidak dikenal sebagai aktor yang “bagus”, artinya, ia jarang mendapatkan penghargaan ketika bermain sebagai aktor. Berbeda ketika ia menjadi sutradara. Kedua, Mel Gibson pernah mendapatkan gelar sebagai aktor pembantu terburuk dari Razzie Award di tahun 2018 untuk film Daddy’s Home 2, dan sebelumnya mendapatkan nominasi di kategori yang sama untuk permainannya di film The Expendables 3. Itu kenapa sebelum kami menonton The Professor and the Madman, kami tidak berekspektasi terlalu tinggi terhadap permainan Mel Gibson. Dan keputusan kami benar, karena kami berhasil dibuat terkejut oleh Bapak 9 anak ini.
Kita coba bedah satu persatu. Seperti biasa, kita mulai dari aspek fisiologisnya terlebih dahulu ya. Seperti yang dikatakan Sonia Moore dalam bukunya “The Stanislavski System: The Professional Training of an Actor;
“Stanislavski’s belief about the incarnation of the inner life is in accord with what Leonardo da Vinci said to his disciples: “The soul does not like to be without its body because without the body it cannot feel or do anything; therefore build a figure in such a way that its pose tells what is in the soul of it.” (Moore, 1976: 16)
Terjemahannya kira-kira begini;
“Keyakinan Stanislavski tentang penjelmaan kehidupan batin sesuai dengan apa yang dikatakan Leonardo da Vinci kepada murid-muridnya: “Jiwa tidak suka ada tanpa tubuh karena tanpa tubuh ia tidak dapat merasakan atau melakukan apa-apa; oleh karena itu buatlah figur itu sedemikian rupa, sehingga ketika ia berpose bisa mengatakan apa yang ada di jiwa itu.””
Intinya, tubuh adalah hal yang penting dan harus diciptakan dengan baik sehingga ia bisa menjadi “pembawa pesan” yang baik untuk jiwa si tokoh. Itu kenapa fisiologis selalu jadi pembahasan kami yang pertama dan wajib ada.
Kembali soal fisik ciptaan Mel Gibson. Tokoh yang dimainkan Mel Gibson ini adalah tokoh biopic. Atau bahasa sederhananya, tokoh yang pernah hidup di dunia nyata. Tokoh yang dimainkan Mel bernama James Murray. Sejauh yang kami cari, tidak ada satu pun footage video soal tokoh ini. Meski begitu ada beberapa foto yang bisa kami jadikan patokan untuk melihat sejauh apa Mel Gibson mendekati tokohnya.
Seperti yang terlihat di foto, James Murray memiliki brewok yang cukup tebal. Sementara Mel Gibson berusaha untuk mendekati kenampakan fisik tokohnya dengan memunculkan brewok yang tebal pula. Satu capaian yang harus diapresiasi. Meskipun mungkin kurang “ekstrem”.
Setelah bicara soal tampilan fisiknya, terutama wajahnya yang hampir mendekati James Murray yang asli, atau setidaknya ada upaya untuk mendekatkan diri ke James Murray yang asli, kita akan bicara aspek fisiologis yang lain, yakni suara. Suara disini termasuk warna suara, aksen, nada, intonasi, dan hal-hal yang berhubungan.
Lagi-lagi, karena tokoh yang dimainkan Mel Gibson adalah tokoh nyata, maka kami juga berusaha mencari data tentang James Murray. Kita lewati soal warna suara, karena memang tidak ada footage tentang suara James Murray. Kita hanya bisa mendapatkan aksen, dimana nantinya akan berpengaruh pada nada dan intonasi tokoh ciptaan Mel Gibson. James Murray berasal dari Skotlandia, dimana ia memiliki aksen yang kental dan kuat. Informasi ini juga kami dapatkan dari film The Professor and The Madman. Dari apa yang kami dengarkan, Mel Gibson berhasil menciptakan aksen Skotlandia yang kuat dan sangat mirip dengan orang Skotlandia yang asli. Coba perhatikan video di bawah ini dan perhatikan pengucapan huruf-huruf seperti R, T, D, P, TH, dan huruf yang pengucapannya sejenis. Akan terasa ciptaan Mel Gibson disana. Kamu bisa langsung lompat ke detik 52 untuk mendengarkan suara ciptaan Mel Gibson.
Lalu coba bandingkan dengan orang Skotlandia asli yang sedang berbicara. Kamu bisa melihatnya di bawah ini.
Pada pengucapan huruf-huruf yang sudah disebutkan di atas, yakni R, T, D, P, TH, dan huruf yang pengucapannya sejenis, Mel Gibson berhasil menciptakannya dengan baik. Sehingga kesan bahwa ia sedang menggunakan aksen Skotlandia terasa sangat kental. Belum lagi soal nada suara. Coba dengarkan baik-baik ketika Mel Gibson bicara dan bandingkan dengan video “belajar aksen Skotlandia” itu. Nada keduanya sangat mirip. Akhirnya kita kembali lagi pada warna suara. Dimana kalau kita bandingkan, warna suara Mel Gibson ketika menjadi James Murray dan ketika ia sebagai Mel Gibson berbeda. Warna suara Mel Gibson sebagai Murray terasa lebih ringan dan sedikit agak cempreng. Sementara warna suaranya yang asli, bisa dilihat di video di bawah ini, terdengar lebih bulat dan serak.
Meskipun kami tidak bisa tahu persis apakah suara yang diciptakan Mel Gibson mirip dengan suara dan cara bicara James Murray, tapi kami tahu bahwa Mel Gibson telah menciptakan warna suara yang lain dari dirinya sebagai aktor. Sebuah capaian yang menurut kami cukup menyenangkan sekaligus mengejutkan.
Secara fisik Mel Gibson cukup berhasil menciptakan James Murray. Meskipun jika kami melihat lebih detail dalam soal cara berjalan, cara memainkan tangan, cara berekspresi, dan bahasa tubuh lain, kami masih menemukan Mel Gibson yang sama seperti ia di luar film dan di film-film sebelumnya.
Di luar soal laku fisiknya yang “tidak sepenuhnya diciptakan”, kami menemukan hal menarik lain dari permainan Mel Gibson di film ini. Hal tersebut adalah konsistensinya dalam menjaga tokoh yang sudah diciptakan. Jika kalian perhatikan betul dari awal kemunculannya di film sampai akhir, maka kalian akan melihat ciptaan yang konsisten. Soal suara, ia tetap menjaga suaranya agar tetap ada di aksen yang sama, meskipun dalam kondisi dan peristiwa yang berbeda. Seperti apa kata Stanislavski dalam buku Creating a Role;
“… we had to evolve a logic, a consistency, in our actions and feelings, …” (Stanislavski, 1967: 238-239)
Kurang lebih artinya begini “… kita harus mengembangkan sebuah logika dan konsistensi dalam aksi dan perasaan kita …” Jadi aktor harus tetap menjalankan logika si tokoh ketika melakukan dan merasakan sesuatu. Ia juga harus melakukannya dengan konsisten. Nah, dalam setiap aksi dan perasaan yang dimainkan oleh Mel Gibson di film ini terasa logis dan sangat konsisten. Ia tidak merubah bentuk dasar tokohnya sama sekali, bahkan ketika emosi besar dihadapi oleh tokoh ini.
Sepertinya cukup bicara soal Mel Gibson. Kurang lebih permainan Mel Gibson (jika berdiri sendiri) maka hanya itu catatan kami. Karena sejatinya, yang juga menarik adalah bagaimana Mel Gibson bisa bermain dengan sangat apik justru ketika ia berhadapan dengan lawan mainnya, salah satunya Sean Penn. Sebelum kesana, mari kita bahas permainan Sean Penn terlebih dahulu. Karena ia adalah nyawa dalam film ini!
Sean Penn, Nyawa Film Ini!
Siapa yang tidak kangen dengan permainan Sean Penn? Bagi kalian yang sudah sejak lama memperhatikan akting atau berkecimpung dalam dunia seni peran, maka salah satu atau bahkan beberapa film Sean Penn jadi tontonan wajib kan? Seperti misalnya I am Sam, Mystic River, Milk, dan banyak lagi film lainnya. Setelah beberapa tahun ia tidak “muncul kepermukaan”, Sean Penn akhirnya menggebrak lagi dengan permainan yang luar biasa bagus di film ini, The Professor and The Madman.
Dalam film ini Sean Penn berperan sebagai Dr. William Chester Minor atau selanjutnya kita panggil William. Tokoh ini sama seperti tokoh Mel Gibson, ia sungguh pernah hidup di dunia ini. William ini adalah seorang veteran perang Amerika yang menderita penyakit kejiwaan. Kalau berdasarkan penjelasan di akhir film dikatakan bahwa William divonis menderita Skizofrenia. Itu kira-kira penjelasan singkat tentang siapa William. Setidaknya beberapa hal itulah yang harus kalian perhatikan ketika melihat permainan Sean Penn. Tujuannya tentu untuk melihat apakah Penn benar-benar menciptakan William dengan baik dan objektif?
Kita mulai dari bagian fisik terlebih dahulu. Sama seperti Mel Gibson, secara fisik Penn berhasil menciptakan tokohnya dengan baik. Jika ciptaan Mel Gibson tidak sangat detail, Penn sebaliknya. Ia berhasil menciptakan tokohnya dengan sangat detail. Ia tidak hanya memiripkan tampilannya secara fisik dengan William Chester Minor, tapi juga menciptakan laku tokohnya, yang meskipun kami tidak tahu bagaimana laku William Chester Minor yang asli, tapi Penn berhasil menciptakan laku yang lain dari dirinya, dimana jika dilihat dari sudut pandang medis, laku-laku Sean Penn bisa dipertanggung jawabkan. Di adegan awal kemunculan tokoh ini misalnya, kita bisa melihat cara berjalan yang berbeda dari tokoh-tokoh yang pernah dimainkan Penn dan Penn di kehidupan nyata. Selain cara berjalan, kita juga bisa melihat brewok tebal yang tumbuh di wajahnya. Dimana brewok tersebut juga berhasil memberikan kesan yang berbeda jauh dari Penn pada kehidupannya di luar film.
Selain tampilan fisik itu, pada adegan pertama juga, kami bisa mendengar suara yang jauh berbeda dari suara Sean Penn di luar film. Coba perhatikan video ini;
Dan bandingkan dengan video ketika ia menjadi William;
https://www.youtube.com/watch?v=RgtsM4fneCI&t=93s
Kita bisa mendengar dua warna suara yang berbeda. Begitu juga dengan logat dan nada suaranya.
Kembali pada kemunculan pertama William. Pada adegan tersebut kita secara langsung juga dihadirkan raut wajah yang punya banyak gejolak besar dalam diri tokohnya. Pada bagian awal, jika adegan tersebut dianalogikan sebagai langkah pertama Penn masuk ke film, maka ia berhasil melangkah dengan yakin, pasti, dan sangat jelas. Kemunculan pertama yang mampu memberikan banyak sekali informasi soal tokoh dan gejolak dalam tokoh tersebut. Pada kemunculan pertamanya juga, kami berhasil menangkap cara memainkan tangan yang berubah dan menarik. Kita juga bisa melihat cara berpikir dan merasakan yang berbeda dari respon dan laku tubuhnya.
Ingat bahwa di awal kami mengatakan kalau William adalah seorang veteran tentara yang trauma atas sesuatu. William, jika kita memperhatikan film, trauma akan seseorang atau sesuatu dalam perang. Nah, trauma itu berhasil ditunjukkan dengan baik oleh Penn. Penn mengingatkan kami akan efek psikis setelah perang yang disebut dengan PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder, dimana penyakit itu sering sekali menyerang para veteran perang. Sekilas kami mampu melihat bahwa apa yang dialami dan dirasakan William adalah perasaan yang sama yang terjadi pada para penderita PTSD akibat perang.
Lalu jika kami mencoba mencari bagaimana para penderita PTSD “kumat”, maka kami mendapati bentuk yang kurang lebih sama dengan kambuhnya William di film pertama kali. Adegan itu terjadi di dalam penjara. Dalam adegan itu, kami bisa melihat, atau mungkin juga kalian bisa melihat laku yang menarik. Kita seolah disodori perwakilan atas ketakutan yang sangat besar dari William. Intensitas permainan Penn dalam adegan ini pun stabil, logis, dan dinamis.
Bicara soal dinamika, kami mengacungi jempol dinamika permainan Penn di film ini. Permainanya memang sangat dinamis. Dalam semua adegan, ia berhasil bermain dengan sangat dinamis. Salah satu contohnya bisa kamu lihat di adegan ketika Muncie memberikan buku ke William. Dalam dialognya, kita bisa menangkap dinamika yang hidup dan sesuai dengan kondisi kejiwaan tokohnya. Dalam nadanya kita bisa mendengar ia naik pada momen tertentu, dan pada sekali waktu bisa dengan cepat turun. Apa yang dilakukan Penn selain dinamis juga objektif. Sejauh pemahaman dan pengetahuan sederhana kami tentang PTSD, atau Schizophrenia, seperti itulah nada bicara mereka dalam kondisi yang mirip dengan kondisi tokoh William pada adegan tersebut.
Dinamika yang lain juga bisa kamu lihat di adegan ketika ia berhadapan dengan Mrs. Merrett untuk pertama kalinya setelah William membunuh sang suami. Disana kamu bisa melihat perasaan bersalah, takut, dan kesedihan yang sangat besar. Kita bisa membaca hal itu dari bentuk tubuh, arah hadap kepala, dan bagaimana ia sesekali melempar pandang ke arah samping, bukan ke arah wajah Mrs. Merrett. Apa yang dilakukan Penn sangat logis. Kami merasa bahwa tokoh William ini membunuh suami Mrs. Merrett tanpa sengaja. Ia memiliki sebuah perasaan bersalah yang amat besar karena ia sadar bahwa dirinya tidak hanya membunuh si suami saja, tapi juga membunuh satu keluarga karena si suami adalah nyawa dari keluarga tersebut. William juga bukan orang gila yang sepenuhnya tidak sadar dengan apa yang ia lakukan. Ia hanya “terkadang” dikuasai bayangannya. Dengan kondisi semacam itu, maka ketakutan, penyesalan, kesedihan, dan gejolak lain yang sangat besar itu sangat logis untuk muncul.
Berbagai jenis emosi itu juga tidak hanya sekedar muncul saja, tapi ia muncul dengan porsi, timing, dan laku yang tepat. Laku yang muncul pun otentik, meskipun, pada beberapa bagian kami melihat laku-laku yang mirip dengan tokohnya di film I am Sam. Soal ini, agak sulit untuk menunjukkannya karena memang bentuk tersebut munculnya tidak terlalu besar. Tapi coba perhatikan setiap kali William merasa ketakutan, atau merasakan apapun yang bentuk lakunya menundukkan kepalanya sedikit ke bawah. Lihat caranya memainkan dagu, bibir bagian bawah, dan memainkan pandangan matanya. Kami melihat pola yang hampir sama dengan tokoh Penn di film I am Sam. Koreksi kalau kami salah lihat.
Selain soal dinamika, ciptaan yang objektif, dan permainan yang hidup, ada satu hal lagi yang menurut kami sangat menarik dari permainan Penn. Hal tersebut adalah bagaimana Penn bisa bermain ansambel dengan sangat baik ketika ia bertemu dengan Mel Gibson. Kami jadi ingat dengan apa yang dikatakan oleh Lee Strasberg dalam buku yang disusun Lola Cohen, berjudul The Lee Strasberg Notes. Strasberg mengatakan;
“You must also create your character’s relationship to the other characters in the scene. What you do is partially dictated by your scene partner, whom you should, however, not rely on. That’s where craft comes in. You must be concerned with what you’re doing in the scene and adjust to what your partner is doing.” (Cohen, 2010; 44)
Maksud dari kutipan di atas kurang lebih begini; Seorang aktor harus juga menciptakan hubungannya dengan lawan main. Ia tidak boleh bermain sendiri. Karena bentuk lakunya, sebagian diciptakan karena laku lawan main. Sehingga membangun chemistry menjadi penting.
https://www.youtube.com/watch?v=RgtsM4fneCI&t=93s
Nah, Penn dan Mel Gibson berhasil melakukan apa yang dikatakan oleh Lee Strasberg dengan baik. Masing-masing dari mereka berhasil memunculkan laku yang otentik dan menjadi penyebab lahirnya laku otentik dari lawan mainnya. Hasilnya, pada adegan dimana William dan Murray pertama kali bertemu, karakter keduanya saling mengisi satu sama lain. Mereka saling memberi respon yang menghidupkan satu sama lain. Mereka berdua juga berhasil memberikan warna yang menarik dalam adegan tersebut. Coba perhatikan, tokoh Murray yang gembira, tanpa tekanan batin yang besar, yang mungkin perwakilan warnanya cerah, dengan tokoh William yang murung dan punya tekanan batin yang besar yang perwakilan warnanya gelap. Dua warna itu menari dengan sangat indah dan tepat pada tiap pertemuan mereka.
Kembali pada permainan Penn. Kami juga melihat bagaimana Penn berhasil membuat tokohnya tumbuh dengan baik. Tidak hanya tumbuh secara fisik, tapi juga psikis. Coba perhatikan, dari awal adegan dimana ia “sakit”, kemudian agak sehat, hingga kembali sakit dan mengebiri dirinya sendiri sampai sehat lagi. Pertumbuhan yang ditunjukkan oleh Sean Penn menarik. Konsisten, tetap ada di basis yang sama, dan yang paling penting logis dan objektif. Artinya, tokoh ini kan tokoh yang punya kondisi psikis yang buruk secara medis, dan ada penyakitnya. Kita bisa melihat tingkat objektivitasnya dari data medis atas jenis penyakit yang diderita oleh William.
Kita sampai juga di bagian akhir artikel yang sangat panjang ini. Jadi secara garis besar permainan Mel Gibson dan Sean Penn sangat menarik. Ciptaan mereka berdua sama-sama utuh dan hidup. Tapi dalam pandangan kami, tokoh Sean Penn tampak lebih menarik secara fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Itu juga kenapa judul artikel ini Sean Penn yang Mengagumkan. Hal yang membuat permainan Penn menarik bukan hanya pada dimensi tokohnya, tapi cara Penn menjalankan hidup si tokoh, cara menjalankan perasaan, pikiran yang melompat-lompat, dan vibrasi yang sangat kuat di banyak adegan emosional. Harusnya dia punya kesempatan besar masuk nominasi Oscar. Tapi kok kayaknya nggak dilirik ya? Apa karena masalah produksi yang ambyar itu? Hmmm… mari kita lihat akhir tahun ini.
Terima kasih, Viva Aktor!