[Acting Review] 27 Steps of May; Diam yang Intens
27 Steps of May adalah salah satu film yang ingin kami tonton dan ulas aktingnya dari tahun lalu. Tapi sayang, beberapa kali kami tak berjodoh dengan film ini sampai akhirnya sebuah platform pemutaran film streaming membeli hak tayangnya. Dari sanalah kami akhirnya memiliki kesempatan menonton 27 Steps of May yang jadi “minoritas” di Indonesia dan bisa dipastikan tak pernah bisa bertahan lama di bioskop.
Kami punya banyak sekali alasan kenapa 27 Steps of Maya menjadi film yang sangat ingin kami review aktingnya dari beberapa bulan yang lalu. Salah satu alasan pasti adalah cerita dan penampakan sekilas permainan para cast yang berhasil kami lihat di trailer yang beredar di dunia maya. Lalu seperti apa sebenarnya permainan para cast di film ini? Apakah mengecewakan? Atau sebaliknya? Berikut pembahasannya;
27 Steps of May dan Perubahan Fisiologis yang Minim
Hal yang selalu kami tangkap pertama dan paling mudah dilihat adalah capaian fisiologis. Kami sejatinya menemukan beberapa capaian fisiologis yang menarik pada beberapa aktor di film 27 Steps of May. Seperti misalnya pada bentuk tubuh Ario Bayu yang sejauh penglihatan kami tampak jauh lebih gemuk. Tapi di luar itu, kami tak menemukan capaian fisiologis lain. Suara Ario terdengar masih sama, laku tubuhnya tampak sedikit berbeda, terasa agak flamboyan, tapi hanya beberapa bagian saja. Sisanya, tidak ada capaian fisiologis yang menarik.
Begitu juga dengan Lukman Sardi. Kami pun hanya menemukan sedikit capaian fisiologis. Capaian yang paling terlihat adalah perubahan warna rambut dari adegan 8 tahun yang lalu dengan adegan masa kini. Selain soal rambut dan brewok yang berubah, kami tak menemukan perubahan lain. Cara bicaranya masih sama, warna suara tidak berubah, bahkan beberapa bentuk ekspresi pun masih sama seperti ia di film-filmnya yang lain.
Sementara pada Raihaanun, kami pun juga menemukan capaian fisiologis yang tidak lengkap. Raihaanun memang memiliki capaian fisiologis yang menarik. Tapi hanya di beberapa bagian saja. Seperti misalnya bentuk tangan May ketika menghitung boneka. Bagi kami, bentuk itu memang bentuk yang kecil. Tapi somehow bentuk tersebut berhasil mencuri perhatian. Mungkin juga karena bentuk tersebut relevan dengan efek trauma masa lalu yang membuat tubuhnya seperti “terkekang”. Sehingga gerakan tangan menghitung boneka hanya dilakukan pada bagian pergelangan tangan dan telunjuk saja.
Selain soal bentuk dan sedikit laku tubuh May, kami menemukan hal lain dalam capaian dimensi fisiologis ini. Hal tersebut adalah tempo dan beban tubuh May. Jika diperhatikan betul, tokoh ini menjalankan tubuhnya dengan sangat terstruktur, sederhana, dan tanpa pikir panjang atau malah tanpa beban pikiran sama sekali. Terlebih lagi di adegan-adegan awal sebelum ia mulai sembuh dari traumanya. Kami rasa bentuk itu relevan dengan trauma masa lalu May. Karena sepenangkapan kami, May tak ingin memikirkan apapun selain rutinitas setiap harinya. Yakni olahraga, rebahan setelah olahraga, menyetrika baju, membuat boneka, sarapan, dan begitu terus selama 8 tahun. Lebih ringan rasanya untuk May yang mengalami trauma sangat berat di masa lalunya dan hanya dia yang tahu.
Selain itu capaian fisiologis lain yang kami temukan pada permainan Raihaanun adalah suara yang berbeda. Raihaanun memang hanya memiliki sedikit sekali dialog di film ini. Tapi ketika ia berdialog, terutama di adegan terakhir, ketika ia bilang “Bukan salah Bapak”, kami menangkap perubahan warna suara yang tidak sangat melompat jauh dari warna suara asli Raihaanun tapi terasa menarik. Selain itu kami tak menemukan lagi capaian dimensi fisiologis yang mencuri perhatian. Mungkin suara tersebut jadi menarik karena ia muncul sekali saja sepanjang satu jam empat puluh sembilan menit film berjalan. Sehingga suara itu jadi sangat berarti. Beruntung juga suara itu keluar di saat yang tepat dengan emosi yang tepat.
Justru dari apa yang kami lihat dan dengar di film 27 Steps of May, pemain yang memiliki capaian fisiologis paling menarik dan mencuri perhatian adalah Verdi Solaiman. Bukan tubuh yang berubah drastis atau perubahan fisik yang signifikan. Bahkan hampir tidak ada perubahan fisik. Laku tubuh tokoh yang ia ciptakan secara garis besar sama dengan laku tubuhnya dan ia di beberapa film sebelumnya. Tapi yang menarik adalah cara Verdi merubah cara tokohnya berbicara. Jika diperdengarkan baik-baik, tokoh kurir yang dimainkan Verdi memiliki cara mengucapkan D, N, dan L yang berbeda. Cara ucap D, N, dan L itu cukup berbeda dengan cara Verdi mengucapkan huruf konsonan itu di kehidupannya di luar film.
Capaian ini bagi kami menarik. Karena memberikan aksen yang kuat atas tokoh ini. Padahal apa yang diciptakannya mungkin terkesan kecil dan sederhana. Tapi ingat, tokoh Kurir ini dibangun sebagai tokoh yang cerewet. Sehingga suara adalah senjata utamanya. Jika suaranya saja tak menarik, lalu apa yang mau dinikmati dari permainan si Kurir? Terlebih lagi capaian fisik yang lain hampir tidak ada.
Untuk capaian fisiologis, itu yang kami lihat dari setidaknya 4 pemain utama di 27 Steps of May. Capaian Fisiologis memang tak menjadi concern kami setelah 30 menit 27 Steps of May berjalan dan semua tokoh sudah muncul. Karena kami tak menemukan capaian fisiologis yang menarik lainnya. Jadi kami berhenti membaca dimensi fisiologis, atau lebih tepatnya mengacuhkannya, dan memilih memperhatikan dimensi yang lain.
27 Steps of May, Raihaanun, dan Diam yang Intens
Kami rasa permainan emosi di film ini adalah yang paling mencuri perhatian dan menarik untuk diulas. Di 27 Steps of May, hampir semua pemain memiliki porsi permainan emosi yang sesuai. Tentunya yang paling banyak dipegang oleh Raihaanun dan Lukman Sardi. Untuk kedua pemain tersebut, permainan emosi mereka cukup mencuri perhatian. Kita mulai dari Raihaanun.
Seperti yang kalian tahu, tokoh May yang dimainkan oleh Raihaanun adalah tokoh yang tidak banyak bicara. Dalam 27 Steps of May tercatat hanya 2 kali ia berbicara. Satu ketika ia ngamuk karena dicium oleh si Pesulap, dan satu lagi ketika adegan terakhir memeluk bapak. Selain itu May sama sekali tidak pernah berbicara. Kalau dari sudut pandang cerita, itu adalah efek dari trauma yang dialaminya.
Nah, dengan tidak adanya dialog, maka kami bisa mengatakan satu alat untuk memunculkan rasa dan pikiran si tokoh hilang. Tapi hal itu tidak terjadi pada permainan Raihaanun. Kami melihat pada setiap laku tokohnya, pikiran dan perasaan si tokoh dijalankan dengan baik. Seperti yang kami bilang di atas, laku tubuh May ini seperti robot. Ia hampir tak memiliki perasaan, atau memutuskan untuk tak memiliki perasaan. Terutama di adegan-adegan awal. Sehingga ketika ia hanya melakukan laku tubuhnya saja tanpa berpikir dan merasakan, ia berlaku sesuai dengan porsinya.
Meski begitu, ketika ada sesuatu yang menggugah traumanya, kita bisa melihat laku tubuh yang menandakan hal itu. Selain tentunya dibantu oleh footage peristiwa perkosaan itu. Misalnya ketika adegan ia keluar dari kamar karena ada kebakaran. Kita bisa melihat di matanya yang awas, takut, dan ragu-ragu dan tangannya yang meraba-raba sekitar. Raihaanun menggunakan semua panca inderanya sebagai bentuk ejawantah atas trauma besar yang sedang terjadi di kepalanya. Kita sekaligus juga melihat upaya mengendalikan trauma tersebut.
Soal trauma, kami rasa editing juga memberikan efek yang kuat pada penonton. Mungkin jika tidak ada editing, maka tidak akan ada jembatan untuk memahami laku si May. Karena jika diperhatikan baik-baik, setiap kali trauma itu muncul, ia selalu dimunculkan berbarengan dengan potongan-potongan kejadian naas tersebut. Sehingga secara tak langsung, penonton bisa dengan mudah menyimpulkan kalau laku tubuh May adalah hasil dari pikirannya yang sedang dipenuhi trauma.
Jika di awal kita melihat laku tubuh yang hampir semuanya dilakukan tanpa intervensi pikiran dan perasaan yang banyak, ketika May mulai berhubungan dengan si Pesulap, terjadi perubahan. Kita bisa melihat perjalanan pikiran dan perasaan yang lebih dipakai dalam setiap laku yang dilakukan May. Jika di awal ia lebih sering melakukannya saja tanpa berpikir dan merasakan, setelah bertemu pesulap May memberikan “beban pikir dan rasa” pada setiap laku yang dilakukannya.
Satu hal yang juga bisa digaris bawahi dari permainan Raihaanun adalah cara May menjalankan respon atas apapun yang sedang terjadi di sekitarnya. Jika diperhatikan baik-baik, Raihaanun menjalankan pikiran dan perasaan tokoh dengan konsisten untuk membantunya merespon apapun yang sedang terjadi di sekitar. Kita bisa melihat hal tersebut di mata dan bagaimana May membagi pandangan di beberapa adegan.
Selain itu, yang juga menarik dari respon ini adalah kenyataan bahwa respon tersebut relevan dengan trauma yang pernah dialami si tokoh. Salah satu contoh yang paling terlihat adalah setiap kali seseorang memegang tangannya. Setiap kali hal itu terjadi, ada semacam respon yang berbentuk laku tubuh yang berusaha menjauh dari pemantik trauma tersebut.
Tapi di luar soal editing yang membantu, Raihaanun tetap menjalankan respon tokohnya dengan baik. Salah satu adegan yang mencuri perhatian kami adalah ketika si Pesulap memasangkan borgol di tangannya. Pada adegan itu, kita bisa melihat respon yang menarik. Di satu sisi traumatiknya muncul, sehingga kegelisahan, ketakutan, kemarahan dan kebencian bisa terbaca. Sementara disisi lain ia tampak sedang mengendalikan efek dari trauma tersebut.
Raihaanun bukan hanya berhasil menunjukkan bagaimana pikiran dan perasaannya terus berjalan intens pada tiap adegan yang dilalui. Tapi ia juga berhasil menunjukkan pertumbuhan pikiran dan perasaan May pada beberapa adegan yang dibutuhkan. Misalnya ketika adegan berdansa dengan si Pesulap. Pada adegan tersebut kami bisa melihat laku tubuh yang ketakutan, perlahan berubah menjadi ragu, hingga akhirnya percaya dan tenang. Perjalanan pikiran dan perasaan itu terlihat pada ekspresi kecil di wajah dan tegangan otot tubuhnya.
Selain adegan tersebut, ketika May kumat pasca dicium pipinya oleh si Pesulap, kita bisa melihat gejolak yang menarik. Bukan hanya sekedar ledakan-ledakan yang muncul “biar terlihat keren” saja. Tapi ledakan itu tumbuh selaras dengan cara si tokoh mengingat dan mengendalikan traumanya. Ledakan yang muncul sangat intens dan sesuai. Selain itu jika diperhatikan baik-baik, pada adegan tersebut tangga dramatik emosi si May terlihat menanjak perlahan tapi pasti. Dengan cara penyusunan emosi macam itu, maka tidak ada yang sangat mendadak pada tiap laku tubuh yang muncul di adegan tersebut. Nampaknya juga, adegan tersebut makin terasa kuat karena montage ingatan May diperkosa yang muncul berulang kali.
Dalam adegan-adegan yang dijalani May, selain soal gejolak, kita juga bisa melihat upaya-upaya mengendalikan emosi yang menarik. Salah satunya di adegan ketika May memakai baju putih dan rok biru dan mengikat dirinya di meja. Kita membaca hal tersebut sebagai upaya untuk menghadapi rasa traumanya. Kita bisa melihat upaya menghadapi trauma itu di mata dan tegangan pada otot di tubuhnya. Kita juga bisa melihatnya di setiap gesture yang terjadi pada adegan tersebut.
Nah, semua hal yang kompleks itu dilakukan dalam diam. Jadi tidak ada alat ekspresi lain selain tubuh si aktor. Hal ini disebut juga Immobility oleh Stanislavski. Pada satu penjelasan oleh Bella Merlin di bukunya yang berjudul Konstantin Stanislavski tentang Immobility;
Through the ‘immobility’ exercise, Stanislavsky wanted his actors to realize how powerful stillness and silence could be. He also wanted them to feel the resonances of their own emotional repertoires and the wealth of information that they could glean from each other just by allowing the space between them to be ‘alive’. (Merlin, 2003; 22)
Dikatakan dalam kutipan tersebut bahwa Stanislavski ingin si aktor menyadari bahwa diam itu bisa jadi sesuatu yang sangat kuat. Stanislavski ingin para aktor juga merasakan getaran dari emosi mereka sendiri serta kekayaan informasi yang muncul dalam diam itu.
Dan apa yang dibilang Stanislavski ini selaras dengan betapa kayanya permainan Raihaanun dalam diam. Seperti yang kalian bisa lihat sendiri, getaran emosinya terasa dan informasi yang hadir atas kediaman tersebut sangat banyak. Jadi, jika ada aktor yang punya anggapan bahwa Akting adalah Dialog, maka sebaiknya buang jauh-jauh anggapan itu. Silent Act, Immobility, atau Tak Punya Dialog, itu juga akting dan malah jauh lebih sulit.
Lukman Sardi Dengan Emosi yang Intens
Lalu bagaimana dengan Lukman Sardi yang memiliki lebih banyak dialog dari pada Raihaanun? Apakah ia juga berhasil menunjukkan intensitas emosi yang baik? Jawabannya adalah Iya, di beberapa adegan. Pada beberapa adegan Lukman berhasil menunjukkan intensitas emosi yang baik. Tentunya dengan caranya. Kenapa kami bilang begitu? Mau tak mau harus diakui bahwa Lukman menunjukkan ekspresinya dengan cara yang sama seperti ia di filmnya yang lain. Ini kenapa capaian fisiologis itu jadi penting. Tujuannya agar membedakan cara menunjukkan emosi tokoh di 27 Steps of May dengan tokoh di film lain. Tapi sudahlah, kami tak hendak bicara lebih jauh soal itu.
Kembali soal intensitas emosinya. Salah satu yang menarik dari sekian yang menarik dan janggal adalah ketika adegan May harus keluar kamar karena ada kebakaran. Pada adegan tersebut Lukman Sardi berhasil tampil intens dan bisa membagi perhatiannya dengan baik antara May dan kebakaran yang sedang terjadi. Kita bisa melihat hal tersebut dari laku tubuh dan porsi pandangannya. Kalau disimpulkan, pada adegan tersebut 60% pandangan untuk May, sisanya untuk peristiwa kebakaran yang terjadi di belakang rumahnya.
Sejatinya pada banyak adegan, respon dan perjalanan pikiran serta perasaan si tokoh dijalankan dengan baik oleh Lukman Sardi. Sayangnya ada beberapa adegan yang kami merasa pikiran dan perasaan si tokoh tidak dijalankan dengan sangat baik atau tidak berhasil terejawantah dengan porsi yang tepat. Misalnya pada adegan ketika Lukman bertengkar dengan Verdi. Kita bisa melihat ada ledakan yang tiba-tiba terjadi. Kami paham bahwa ledakan itu muncul karena rasa frustasi si tokoh. Tapi yang jadi persoalan, kenapa kami tak melihat pergolakan yang besar sebelum menuju ke ledakan itu. Seperti tidak ada tangga menuju ke teriakan tersebut.
Sebenarnya kami bukan tak melihat, tapi pergolakan batin yang besar dalam diri si tokoh tak berhasil terejawantah dengan porsi yang tepat di wajah si tokoh. Mau tak mau ejawantah dari pergolakan emosi itu harus ada di wajah, karena shootnya ke arah wajah. Kami tak bisa melihat ejawantah pergolakan emosi yang sesuai porsi. Sehingga ledakan yang muncul terasa mendadak dan hampir dibuat-buat.
Kami sempat berpikir bahwa porsi ejawantah itu memang dibuat seperti itu. Tapi yang jadi persoalan adalah setelah emosinya meledak, kami bisa melihat dan merasakan dinamika yang jelas menuju emosi yang lebih tenang dengan porsi ekspresi yang tepat. Kenapa itu tidak terjadi di proses menuju ledakan?
Salah satu adegan terbaik Lukman bagi kami bukan ketika ia adu fisik, atau marah yang meledak-ledak. Tapi justru di adegan terakhir, ketika si May memeluk ayahnya dan bilang “Bukan salah bapak”. Pada adegan yang sangat sederhana itu, Lukman bermain sesuai porsinya. Ia berhasil merespon dengan baik apa yang sedang terjadi di depan matanya. Ia tak hanya merespon yang sedang terjadi. Tapi juga merelasikan responnya dengan perjalanan yang sudah dialami Bapak selama 8 tahun. Pada adegan tersebut getaran emosinya terasa sangat kuat. Adegan yang sederhana, tapi para pemainnya bermain luruh dan pasrah. Betapa menyenangkannya bermain pasrah dan luruh, kan?
Ario Bayu dan Matriks Tangan yang Menarik
Kalau dalam permainan Ario Bayu, kami memang tak mendapati permainan emosi yang kompleks dan dalam. Mungkin juga karena si tokoh memang tak diberikan porsi semacam itu. Tapi yang menarik dari permainan Ario Bayu adalah soal matrikulasi.
Ada beberapa adegan dimana Ario Bayu hanya terlihat tangannya saja dan ia harus bisa menunjukkan semua pikiran dan perasaan si tokoh lewat gerak tangannya. Pada bagian itu kami merasa Ario Bayu berhasil menggunakan tangannya sebagai alat penyampai informasi dengan sangat baik. Dari tangannya itu kita bisa melihat keragu-raguan, dan banyak emosi lainnya. Bukan hanya soal beragamnya emosi yang bisa ditunjukkan lewat tangannya, tapi bagaimana ia juga berhasil mengalirkan semua energi pada tangan tersebut sehingga tangan itu terlihat hidup.
Secara keseluruhan, permainan emosi, respon, perjalanan pikiran dan perasaan tiap pemain ditunjukkan dengan sangat baik. Tapi untuk capaian fisiologis, sepertinya hanya beberapa saja yang memiliki capaian menarik. Seperti Verdi Solaiman pada bagian suara dan cara ucap, Ario Bayu yang kelihatan lebih gemuk, Lukman Sardi di bagian kepalanya, dan sedikit pada Raihaanun yang merubah warna suara.
Ingat, diam itu juga akting, dan itu juga sulit.