Prediksi Aktor Terbaik FFI 2018; Menilik Penilaian Akting Di Indonesia
Pagelaran FFI 2018 akan segera dihelat dalam beberapa hari ke depan. Salah satu Festival film terbesar di Indonesia ini beberapa minggu yang lalu telah mengumumkan film apa saja dan siapa saja aktor yang masuk dalam nominasi festival film ini. Para nominator pada festival yang juga punya nama Piala Citra ini cukup mencuri perhatian. Salah satu yang sangat menarik perhatian adalah aktor-aktor yang masuk nominasi FFI tahun ini. Menarik untuk membuat sebuah prediksi aktor terbaik FFI 2018. Apalagi ketika melihat siapa saja aktor yang berhasil masuk nominasi.
FYI, aktor-aktor utama pria yang masuk ke dalam nominasi FFI 2018 tahun ini adalah Adipati Dolken dalam film #TemanTapiMenikah dan Iqbal Ramadhan di film Dilan 1990. Lalu ada juga Ario Bayu dalam film Sultan Agung, Gading Marten dalam film Love For Sale, Vino G. Bastian dalam Film Chrisye, dan Oka Antara di film Aruna dan Lidahnya.
Ngomong-ngomong soal siapa saja yang masuk nominasi, saya jadi bertanya-tanya bagaimana kah cara menilai bagus tidaknya akting di Indonesia. Parameter apa yang dipakai dan siapa yang kira-kira memiliki kans paling besar untuk bisa menjadi Aktor Terbaik FFI tahun ini. Tapi soal bagaimana kira-kira penilaian akting di Indonesia, akan kita bahas pada poin terakhir. Kali ini saya akan fokus pada prediksi aktor terbaik FFI 2018. Seberapa besar kesempatan mereka mendapatkan Aktor Terbaik dan mengapa. Berikut pembahasannya;
Ario Bayu (Sultan Agung) 33%
Ario Bayu merupakan nama yang punya kans paling besar dalam prediksi aktor terbaik FFI 2018 di antara kelima nama lain. Ada banyak alasan yang melatar belakangi kenapa ia memiliki prosentase terbesar soal kesempatannya mendapatkan Aktor Utama Terbaik FFI 2018.
Hal pertama yang menjadi alasan dalam prediksi aktor terbaik FFI ini adalah tentang kedalaman Ario Bayu memainkan emosi tokohnya. Dalam film Sultan Agung, hampir selalu ada emosi-emosi besar dan dalam yang dimainkan Ario Bayu. Jadi ada banyak sekali kesempatan bagi Ario Bayu untuk menunjukkan capaian keaktorannya dalam ruang permainan emosi. Hal itu sangat bisa menjadi keuntungan tersendiri.
Jika penilaian bagus tidaknya akting seseorang adalah seberapa lihai ia memainkan emosi, maka Ario Bayu memiliki kesempatan terbesar untuk menunjukkan kelihaian itu. Ketika ia memiliki kesempatan yang besar untuk menunjukkan kelihaiannya memainkan emosi tokoh, maka bisa jadi juri lebih mudah melihat kualitas keaktoran Ario Bayu. Lalu apakah hanya soal emosi saja yang menarik dari akting Ario Bayu?
Tentu saja tidak. Selain soal permainan emosi yang bagus dari Ario Bayu, penciptaan tokohnya dalam sisi yang lain juga cukup menarik. Seperti misalnya dalam ruang lingkup penciptaan fisiologis dan sosiologis. Dalam hal ini salah satunya adalah soal penguasaan logat Jawa. Ketika memainkan tokoh si Sultan Agung, Ario Bayu cukup fasih mengucapkan bahasa Jawa dengan logat Jawa meskipun tidak sepenuhnya sempurna. Karena pada beberapa adegan logat Jawa itu terasa dibuat-buat dan seolah tidak menyatu dengan tokoh dan permainan Ario Bayu. Sehingga beberapa laku dalam film tersebut terkesan artifisial. Tapi itu tidak banyak, atau paling tidak, bisa ditutupi dengan capaian aktingnya di wilayah dan adegan yang lain. Lalu bagaimana dengan capain fisik? Apakah bisa dinilai?
Saya berusaha seadil mungkin dalam prediksi aktor terbaik FFI untuk menilai keaktoran enam aktor ini untuk melihat seberapa besar kesempatan mereka mendapatkan penghargaan tersebut. Tapi untuk soal capaian fisik sendiri, tidak banyak yang berubah. Ario Bayu, tetap terlihat seperti Ario Bayu. Mungkin yang terasa agak berubah adalah soal tubuhnya yang terlihat agak berisi. Di luar itu, ia nampak seperti Ario Bayu.
Gading Marten (Love for Sale) 25%
Nama Gading Marten cukup mengambil perhatian ketika dia berhasil masuk menjadi salah satu nominator Aktor Utama Terbaik FFI. Tapi apa saja sebenarnya yang menarik dari akting Gading Marten dalam film Love for Sale? Dan kenapa ia ada di tempat kedua dalam prediksi aktor terbaik FFI ini?
Ketika pertama kali melihat Gading Marten dalam film tersebut, satu hal yang mencuri perhatian adalah soal perubahan fisik yang dicapai si aktor. Dalam film tersebut Gading terlihat sangat tua dan gendut. Jika dibandingkan dengan Gading pada kehidupan nyata, tentunya ada capaian tersendiri yang membuatnya berbeda dengan si aktor di kehidupan nyata. Terutama soal laku tokohnya yang juga menjadi penanda si tokoh. Ketika pertama kali Richard, tokoh yang dimainkan Gading keluar dari kamar dengan hanya memakai singlet dan celana dalam, ia seperti berusaha meyakinkan penonton bahwa tokoh tersebut bukanlah Gading.
Lalu bagaimana dengan capaian yang lain? Secara fisiologis, capaian Gading cukup menarik. Tapi sayangnya yang berubah hanyalah tubuhnya yang lebih gemuk dan uban. Soal cara jalan, cara bicara, cara melihat, dan warna suara masih sama seperti Gading di kehidupan sehari-hari. Capaian fisiknya tidak lebih baik dari nominator lain. Sementara soal capaian di ruang yang lain, Gading bisa dibilang tak seberuntung Ario Bayu. Kenapa?
Dalam film ini hampir tidak ada emosi-emosi besar yang meledak-ledak. Tidak ada sama sekali bahkan. Tapi film ini justru dipenuhi dengan emosi-emosi kecil dan laku-laku kecil yang membutuhkan detail dan respon aktor yang bagus. Misalnya dalam satu adegan ketika ia mengingat orang tuanya dan menceritakan bagaimana dia di adopsi. Dalam adegan itu Gading menunjukkan emosi sedih yang sedikit tapi dalam dan tajam. Sehingga, meskipun kecil, tapi tetap berhasil mengirimkan vibra atau getaran ke arah penonton. Bahkan mungkin permainan emosi kecil yang dimainkan oleh Gading Marten, punya muatan dan kualitas yang sama dengan Ario Bayu. Hanya saja, karena porsinya tidak banyak dan emosinya tidak semasif tokoh Sultan Agung, maka Gading juga tidak punya banyak kesempatan untuk menunjukkan kelihaiannya memainkan emosi besar si tokoh. Karena itulah ia hanya berada di posisi kedua dengan prosentase yang sama seperti Vino.
Vino G. Bastian (Chrisye) 25%
Sebelumnya, saya sudah membuat sebuah review keaktoran dari film ini. Kamu bisa membacanya disini.
Dalam prediksi aktor terbaik FFI dan ketika kita melihat peta persaingan aktor terbaik FFI 2018, maka Vino sangat mungkin ada di jajaran nominasi aktor terbaik. Tapi kenapa prosentasenya sama dengan Gading Marten? Kenapa tidak mengalahkan Ario Bayu? Padahal Vino dalam film Chrisye memiliki capaian fisik yang lebih baik dari Ario Bayu dan Gading bahkan. Ia pun memiliki nilai plus soal permainan emosi. Seperti yang kamu tahu, Vino memainkan Chrisye pada masa muda hingga ia tua. Ia pun cukup gemilang memainkan pertumbuhan emosi tokoh tersebut. Capaian fisiologis dan psikologisnya pun cukup baik jika dibandingkan 2 aktor sebelumnya. Tapi kenapa Vino hanya mendapatkan 25% kesempatan sama seperti Gading?
Alasannya mungkin karena permainan emosi Vino dalam film Chrisye tidak sebesar dan sebanyak Ario Bayu. Jika kita melihat permainan Vino dalam kacamata banyak tidaknya ruang bermain emosi besar, ia hanya ada di tempat ketiga atau ada di posisi yang sama seperti Gading Marten. Lalu bagaimana capaian fisiknya? Apakah itu tidak masuk penilaian?
Hal itu tetap masuk penilaian sepertinya. Jika menilik para nominator FFI pada tahun-tahun sebelumnya, maka capaian fisik juga tetap masuk penilaian. Seperti yang kita lihat, Vino sebenarnya punya capaian fisik yang lebih bagus dari pada Gading Marten. Selain itu capaian permainan psikis Vino juga lebih kompleks dari pada Gading secara keseluruhan. Pasalnya tokoh yang dimainkan Vino adalah tokoh yang tumbuh. Tidak seperti Ario Bayu yang memainkan Sultan Agung pada masa paruh bayanya saja atau pun Gading Marten. Sementara Vino memainkan Chrisye dari remaja sampai tua. Hal itulah yang membuat Vino memiliki prosentase yang sama dengan Gading dalam prediksi aktor terbaik FFI.
Tapi Gading juga pantas mendapatkan prosentase yang sama. Karena jika dalam ruang permainan emosi, bisa dibilang kesulitan yang dihadapi Gading lebih besar. Kenapa? Karena ia harus memainkan emosi-emosi kecil yang dalam dan tetap berusaha agar emosi kecil dan laku-laku kecil itu bisa ditangkap dan dibaca oleh penonton. Sementara Vino, tidak memiliki kesulitan yang lebih besar dari Gading dalam ruang permainan emosi. Pasalnya, Vino memiliki sedikit lebih banyak porsi adegan dengan emosi-emosi besar. Jadi, dengan pertimbangan tersebut, keduanya punya kans yang sama dalam prediksi aktor terbaik FFI. Jika keduanya adalah 1 aktor yang sama, maka permainannya bisa saling melengkapi. Vino cukup lengkap dalam soal capaian fisik, sementara Gading, cukup matang dalam soal capaian emosi-emosi kecil yang menusuk.
Oka Antara (Aruna dan Lidahnya) 10%
Saya sebenarnya sedikit terkejut dengan masuknya Oka Antara. Tapi jika melihat banyak film Indonesia yang beredar dari September 2017 hingga September 2018, maka akting Oka Antara ada dalam jajaran yang terbaik.
Oka, seperti pada film-filmnya yang lalu, bisa bermain dengan ikhlas. Ia memiliki respon yang cukup baik ketika mendengarkan dialog atau membaca peristiwa. Oka pun memiliki permainan emosi dan laku yang dinamis. Artinya hampir semua lakunya tidak monoton. Seperti yang sudah saya tulis di artikel sebelumnya, kamu bisa baca disini.
Tapi di luar itu, hampir tidak ada yang cukup spesial dari akting Oka Antara. Dalam soal permainan emosi, misalnya. Oka memang memiliki permainan emosi yang dinamis. Tapi, jika emosi-emosi besar adalah hal yang menguntungkan, maka Oka Antara bisa dibilang tidak beruntung karena tokohnya tidak memiliki adegan dengan emosi yang masif atau pun emosi yang kompleks dan dalam seperti Ario Bayu, Vino, atau pun Gading. Lalu bagaimana dengan capaian fisiknya? Sayangnya juga tidak ada yang spesial soal capaian fisik. Sorry to say, tapi tidak ada yang sangat mencuri perhatian saya dalam permainan Oka. Maka 12% dalam prediksi aktor terbaik FFI untuk Oka Antara nampaknya adalah angka yang pantas.
Adipati Dolken (#TemanTapiMenikah) 5%
Adipati Dolken memang salah satu aktor potensial di Indonesia. Ia selalu memiliki permainan yang luruh dan natural. Tapi pada prediksi aktor terbaik FFI saya kali ini, Adipati Dolken hanya memiliki 5% kemungkinan mendapatkan penghargaan Aktor Terbaik. Ketika penilaian keaktoran didasarkan pada permainan emosinya, Adipati Dolken bisa dibilang bermain dalam taraf yang tidak terlalu spesial. Terlebih lagi ketika kita sadar bahwa film yang dimainkan oleh Adipati merupakan film yang tokohnya ada di dunia nyata. Atau bisa kita sebut #TemanTapiMenikah adalah film biopik. Penciptaan dalam ruang fisiologis Adipati Dolken bisa dibilang tidak mendekati tokoh Ditto di kehidupan nyata.
Ia memang berhasil bermain dengan luruh, natural dan memiliki respon yang baik. Tapi selebihnya tidak ada yang spesial. Terutama dalam ruang penciptaan fisik yang tidak mencolok. Hal ini jadi tanda tanya besar dalam prediksi aktor terbaik FFI soal kenapa ia masuk ke dalam nominasi. Karena jika jenis film ini dipadu padankan dengan film lain, maka saya jadi teringat film Jokowi yang dimainkan Teuku Rifnu. Tahun 2013 lalu Teuku Rifnu tidak menjadi nominator FFI. Lalu kenapa sekarang Adipati Dolken masuk? Padahal jika dilihat kualitas permainannya, Teuku Rifnu sedikit lebih baik dalam hal permainan emosi dan penciptaan fisik. Lalu mungkinkah ada pertimbangan lain di luar keaktoran yang membuat Adipati Dolken masuk nominasi?
Iqbal Ramadhan (Dilan 1990) 2%
Ini yang paling mengejutkan dalam prediksi aktor terbaik FFI. Iqbal yang baru main 3 film dan masih cukup muda, berhasil masuk nominasi. Entah apa yang menjadi penilaian dari para juri. Pasalnya, jika dilihat dari permainan keaktorannya, tidak ada yang sangat spesial. Bisa dibilang Iqbal hanya sekedar mendialogkan naskahnya saja. Ia seperti tidak mendengarkan, tidak memunculkan dinamika dialog atau pun emosi. Selain itu juga tidak ada respon yang logis, dan banyak adegan yang motivasinya aneh dan asal muncul. Dalam banyak adegan di film Dilan 1990, ia nampak tidak betul-betul menjalankan pikiran tokohnya. Belum lagi soal penciptaan tokoh secara utuh, baik psikologis, fisiologis atau pun sosiologis. Pasalnya pada taraf permainan emosi saja, Iqbal rasanya masih sangat kurang. Lagi-lagi, jika ini dilihat dari kacamata ilmu Keaktoran.
Mungkin salah satu alasan kenapa ia bisa masuk ke FFI 2018 adalah karena dialog-dialog dalam naskah yang ditulis oleh Pidi Baiq dkk sangat bagus. Dialog yang tertera di naskah seolah-olah bisa diucapkan tanpa motivasi sama sekali tapi tetap bisa menggelitik telinga penonton. Kalau begitu, lalu apa tugas Iqbal sebagai seorang aktor?
Masuk nominasi FFI pastinya sangat membanggakan. Tapi apakah benar Iqbal terpilih karena kualitas keaktorannya? Atau ada hal lain? Seperti misalnya “menggaet” penonton muda untuk kembali menonton FFI? Apakah masuknya Iqbal hanya sebatas strategi pasar untuk meningkatkan rating siaran FFI di Televisi? Mungkin kah seperti itu?
Apakah yang Jadi Parameter Penilaian Para Juri FFI?
Mencoba mencari tahu apa yang menjadi pertimbangan para juri memutuskan aktor-aktor tersebut masuk ke dalam nominasi adalah hal yang menarik. Jika diperhatikan, dari enam aktor tersebut semua penilaian prediksi aktor terbaik FFI yang saya tulis didasarkan pada permainan emosi. Saya kemudian berpikir, apakah mungkin penilaian bagus tidaknya permainan seorang aktor hanyalah soal kelihaiannya memainkan emosi? Lalu bagaimana dengan capaian yang lain seperti misalnya; capaian fisik, perubahan suara, cara berjalan, dinamika emosi, respon, dan lain sebagainya?
Mungkin jika melihat siapa yang akan mendapatkan Aktor Utama Terbaik lebih mudah. Tapi membaca pemilihan nominasinya menjadi lebih sulit, terutama tahun ini. Bukan mendiskreditkan juri atau aktor-aktor yang terpilih sebagai nominasi, tapi apakah mungkin ada pertimbangan lain selain hal-hal yang berhubungan soal keaktoran? Seperti misalnya laris atau tidaknya film tersebut?
Tahun ini, ada Rendra Bagus Pamungkas yang menjadi tokoh utama di Wage yang bermain cukup apik. Tapi namanya tak masuk nominasi. Jika dilihat secara kualitas, Rendra berada pada kualitas yang lebih baik dari pada beberapa aktor yang masuk nominasi tahun ini. Lalu ada lagi Gunawan Marwanto yang juga bermain apik di film Istirahatlah Kata-kata. Namanya juga tak masuk nominasi tahun 2016 lalu. Apa persoalannya? Apakah karena film-film tersebut tidak masuk bioskop? Sepertinya tidak, nyatanya 2 film yang disebutkan di atas, keduanya masuk bioskop, meskipun tidak laris. Lalu? Apakah laris dan tidaknya film juga menjadi penilaian terhadap kualitas akting seseorang?
Jadi sebuah tanda tanya besar? Apakah dalam penilaian akting di Festival Film Indonesia juga mempertimbangkan soal laris dan tidak, atau populer dan tidaknya sebuah film? Kalau begitu, apa yang dinilai? Kualitas keaktoran atau lomba laris-larisan? Apakah film laris maka nominasi FFI juga pasti ada di tangan?
Itu tadi adalah prediksi aktor terbaik FFI 2018. Sekali lagi, ini hanya sebatas prediksi. Jujur saja, saya tidak bisa melihat pola penilaian juri dalam memilih nominator. Seolah-olah penilaian tersebut random dan berdasarkan hal lain di luar ruang lingkup ilmu keaktoran. Benarkah ada hal lain yang mendasari pemilihan nominasi tersebut selain kaidah-kaidah ilmu Keaktoran? Mungkin tidak, karena pada nominasi yang lain, seperti aktris terbaik, jajaran nominasinya punya permainan yang cukup menarik. Lalu kenapa terpilih nominator-nominator tersebut?
Jadi, apa prediksi aktor terbaik FFI versimu? Silahkan tinggalkan di kolom komentar. Terima kasih! Semoga bermanfaat! Viva Aktor!