[Acting Review] Chrisye: Vino yang Agak Sumbang
Membahas perkembangan keaktoran dalam film biopic di Indonesia selalu menarik. Pasalnya dalam film-film biopic, seorang aktor dituntut -mau tak mau- harus menciptakan tokoh sesuai dengan sosok yang ada di kehidupan nyata. Tokoh yang mereka mainkan bukan tokoh buatan mereka sendiri, tapi tokoh yang figurnya memang ada di dunia nyata. Maka dalam penciptaannya membutuhkan tingkat objektifitas yang lebih tinggi. Dimana bahkan, seorang aktor tak boleh mengikutkan sedikit pun dirinya pada figur yang ia ciptakan. Salah satu akting film biopic yang menarik untuk dibahas di Indonesia adalah akting Vino G. Bastian dalam film Chrisye yang rilis Desember 2017 lalu. Mungkin terasa agak terlambat review keaktoran ini. Tapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali kan?
Apa yang dilakukan Vino menjadi salah satu rekam jejak dunia keaktoran Indonesia terutama dalam film biopic. Setelah sebelumnya kita dibuat tak bisa lupa dengan Reza Rahadian yang memainkan Habibie, dan Christine Hakim yang memainkan Cut Nyak Dien.
Secara garis besar, Vino bisa dibilang berhasil menciptakan tokoh Chrisye dalam film ini. Jika kamu perhatikan dari awal film, kamu akan lihat bagaimana Vino menciptakan bagian bawah bibirnya. Ia nampak semacam menambahkan janggalan sehingga membuat bentuk mulutnya sedikit berbeda, dan nampaknya itu diciptakan Vino secara sadar. Apa yang dilakukan Vino mengingatkan kita bagaimana Marlon Brando menciptakan tokoh Vito Corleone dan Deddy Mizwar saat memainkan tokoh Naga Bonar. Bagian bawah mulutnya menjadi ciptaan yang menarik. Sebab, jika kamu melihat figur Chrisye yang asli, memang nampak bentuk mulut yang agak sedikit “benjol” – atau entah bahasa apa yang tepat – berbeda.
Vino pernah berkata dalam sebuah wawancara bahwa ketika ia memainkan tokoh Chrisye, ia mengatakan “Ini bukan untuk mirip-miripan, tapi bagaimana bisa menyampaikan jiwa Chrisye pada penonton” mungkin Vino perlu diingatkan satu hal tentang pernyataan Stanislavsky dalam bukunya Membangun Tokoh, bahwa; “tanpa bentuk lahiriah, penokohan batin maupun ruh dari apa yang kalian citrakan memang mustahil sampai ke penonton. Penokohan lahiriah menjelaskan dan memberikan ilustrasi, dan dengan demikian menyampaikan pola batiniah tokoh lakon yang kalian perankan kepada penonton” (1:2008)
Entah apakah ini pemahaman saya yang salah tentang menubuhkan tokoh atau memang pernyataan Vino yang benar. Pasalnya, sejauh pemahaman saya, tugas seorang aktor adalah menyampaikan pesan dengan cara menciptakan manusia baru. Bagaimana pesan bisa tersampaikan jika alat yang dipakai untuk menyampaikan pesan rusak? Sementara yang dilakukan Vino, pada dasarnya sudah merupakan upaya besar untuk menciptakan figure Chrisye. Tapi sayangnya ada beberapa bagian vital yang entah lupa atau tak sempat diciptakan, membuat bayangan tentang sosok Chrisye jadi kabur. Mari kita bedah satu persatu.
Pertama soal penciptaan tubuh Chrisye dari ujung kepala sampai kaki. Memang kita tidak bisa menuntut harus benar-benar mirip sesuai aslinya (karena itu juga butuh bantuan make up dan tim lain), tapi paling tidak laku tubuhnya, caranya berjalan, caranya menunjuk, cara tokoh memandang, dan laku tubuh yang lain adalah tugas seorang aktor untuk menciptakannya. Dalam tokoh Chrisye ciptaan Vino, memang terlihat ada effort untuk mendekati sosok Chrisye. Tentunya itu patut dihargai. Semisal pada caranya berjalan, bentuk pundaknya yang agak turun, arah pandangnya yang cenderung memberikan gambaran pada penonton bahwa Chrisye sedikit banyak adalah orang yang pesimistis dan selalu gelisah, dan beberapa laku tubuh lainnya. Tapi sekarang coba lihat cara tokoh Chrisye ciptaan Vino ini tersenyum, lalu coba lihat film-film Vino yang sebelumnya, entah di film Talak Tiga, atau Warkop DKI, atau film-film lainnya. Caranya tersenyum dan bentuk senyumnya sama persis.
Setelah bentuk tubuh, ada satu hal yang benar-benar mengganggu imaji menonton dan menikmati tokoh Chrisye. Suara! Inilah satu bagian yang gagal total. Jika kita mendengarkan dengan baik suara Chrisye, maka seharusnya kita bisa tahu dari mana asal suaranya muncul. Misalnya dalam salah satu video ketika Chrisye menerima penghargaan di bawah ini;
Dalam video tersebut jika didengarkan baik-baik, suara Chrisye berasal di atas jakun. Suaranya agak serak tapi halus dan terasa kalem. Sementara coba bayangkan dengan suara Chrisye ciptaan Vino. Keduanya memang mempunyai suara yang sama-sama serak, tapi suara yang diciptakan Vino di film ini sama persis dengan suara Vino di film-film lainnya, itu yang pertama. Lalu, suara Vino yang normal terasa lebih garang dan jauh dari kesan kalem. Itulah yang menyebabkan sosok Chrisye terasa tidak bisa sampai secara utuh ke mata penonton. Kalau suara adalah hal yang tidak penting, maka sekali lagi perlu diingatkan bahwa Suyatna Anirun berkata kalau “Suara adalah kendaraan Imaji”. Maka sebagai kendaraan imaji, bukan hanya artikulasi, intonasi, power dan vibrasi saja yang harus sampai ke penonton, tapi juga warna suara harus bisa menjadi bagian dari kendaraan imaji tersebut. Dalam Chrisye ciptaan Vino, bisa diibaratkan begini; Vino telah sedikit banyak berhasil menciptakan bentuk tubuh Chrisye yang kalem dan cenderung “turun”. Tapi suaranya secara tidak langsung menghancurkan bentuk yang sudah ia bangun.
Tugas seorang aktor adalah menciptakan manusia baru dan setiap tokoh yang ia dapatkan adalah manusia baru yang wajib ia ciptakan. Lalu bagaimana dengan Vino dalam film Chrisye ini? Apakah ia berhasil menciptakan manusia baru? Secara garis besar, Vino patut diacungi jempol karena usahanya dalam menciptakan sosok Chrisye. Tapi sayangnya, ada satu lagi ketidak sempurnaan, dimana ini juga banyak terjadi di banyak aktor di dunia, bahkan sekelas Johnny Deep. Hal tersebut adalah ciri khas bermain! Ya! Seorang aktor seharusnya tidak meninggalkan ciri khasnya bermain. Tapi apa yang terjadi pada Vino di film Chrisye? Ia meninggalkan banyak ciri pribadinya dalam bermain. Di luar soal suara yang menurut saya gagal, caranya membangun emosi hampir sama di setiap filmnya.
Lebih detail lagi adalah cara Vino menjalankan pikiran tokohnya. Ini yang agak membuat tidak nyaman menonton. Misalnya dalam adegan bersama sang istri, rasa-rasanya tidak ada pikiran yang berjalan. Beberapa bagian nampak tiba-tiba. Salah satunya bisa kamu lihat di adegan ketika ia akan merekam lagu Ketika Tangan dan Kaki Berkata. Di adegan sebelumnya ditunjukkan betapa Chrisye menemui banyak kegelisahan yang cukup berat. Hingga akhirnya ia menerima sebuah pesan faksimile dari Taufiq Ismail yang berisi lirik lagunya. Lihat betapa ringannya Chrisye mengambil selembar kertas tersebut, menyobeknya, dan sedikit membacanya. Seolah beban kegelisahan yang coba dimunculkan sebelumnya hilang entah kemana. Kenapa? Apakah menanti lirik dari Taufiq Ismail hanya sekedar angin lalu saja?
Selanjutnya ketika di ruang rekaman, justru disinilah emosinya meledak. Sebenarnya menarik melihat emosi yang ditunjukkan oleh Vino dalam adegan ini. Tapi lagi-lagi, tangga emosinya kelihatan dibangun dengan tidak jelas. Ledakan emosi itu tentunya disusun dari kegelisahan-kegelisahan kecil yang kemudian meledak. Tapi yang terjadi di adegan tersebut adalah ledakan emosi yang muncul tiba-tiba. Tangisan-tangisan itu muncul mendadak. Ketika Chrisye mendadak tak bisa berkata apa-apa, bukankah seharusnya pikirannya juga terus berjalan, bahkan ketika secarik kertas faksimile berisi lirik yang menggambarkan kegelisahannya selama ini berada di tangannya dan hendak dinyanyikan, bukankah seharusnya mata Chrisye, atau bahkan pergelangan tangannya memberikan emosi tersendiri? Hal yang terjadi adalah tidak ada. Atau mungkin tipis dan hampir samar. Sehingga efek yang muncul di mata saya sebagai penonton adalah emosi yang datang mendadak.
Lalu jika ingat adegan ini, maka saya juga jadi ingat bahwa sepanjang film Vino sama sekali tidak bernyanyi. Hanya di adegan ini saja ia bernyanyi, dan seperti yang sudah saya duga, suara Vino yang menurut penjelasannya di salah satu wawancara di stasiun tv Swasta mengatakan bahwa “nggak bisa nyanyi” muncul meruntuhkan bangunan tokoh yang sudah ia bangun (jika sepanjang film kita mendiskreditkan suara Vino yang tidak sama dengan suara Chrisye. Jika tidak mendiskreditkan, maka dari awal tokoh Chrisye yang ia bangun sudah runtuh).
Lalu dari sana, saya ingat sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa seorang aktor harus bisa Acting, Singing, dan Dancing. Dalam film ini, Vino membuktikan dirinya bisa berakting, menari, tapi tidak menyanyi. Apakah salah jika seorang aktor tidak bisa menyanyi? Tentu tidak salah, banyak aktor yang bisa menyanyi. Tapi paling tidak, jika tidak bisa menyanyi, maka menirukan suara tokoh biopic yang diciptakan saja sudah cukup.
Setelah itu kita bicara soal koneksi yang dibangun antara Chrisye dan sang istri Yanti yang diperankan oleh Velove Vexia. Saya tak bisa berkomentar banyak soal ini. Pasalnya, saya bahkan tidak merasa ada kedekatan yang lebih antara Chrisye dan sang Istri. Saya hanya merasa hampir semua dialog yang keluar adalah dialog-dialog artificial dan kosong. Kemana cinta Chrisye dan Yanti yang abadi dan dalam itu? Sayang, dalam soal ini, tak ada kata cinta yang dalam, bahkan dalam kata-kata mereka.
Di film Chrisye, tokoh yang Vino ciptakan adalah tokoh yang tumbuh. Kejadian dalam film ini berjalan bertahun-tahun. Tapi sayangnya, tokoh yang Vino ciptakan tak ikut tumbuh, kecuali caranya berjalan yang menjadi lebih “terasa Chrisye” mendekati akhir film. Mungkin karena bantuan kostum Chrisye yang khas. Selain itu, bantuan make up dan tambahan kacamata saja yang membuatnya terasa berbeda. Lalu bagaimana dengan suaranya? Masih sama, tidak tumbuh.
Meminjam apa yang Vino bilang dalam salah satu sesi wawancara bahwa ia ingin menunjukkan Chrisye yang penuh layer tidak terjadi. Justru yang banyak terjadi adalah emosi-emosi mendadak, dan pikiran yang tidak berjalan dengan mulus. Chrisye yang “berlayer” menurut Vino justru tidak muncul. Jika kamu perhatikan betul; misalnya ketika adegan sedih, maka kita hanya bisa menangkap kesedihan, karena nampaknya kesedihan itu dibangun mendadak, tanpa landasan motivasi yang jelas. Jadi dimana letak layernya?
Di luar semua kritik saya terhadap permainan Vino dalam film Chrisye, apa yang dilakukannya tetap patut diapresiasi. Vino secara garis besar berhasil mendekati sosok Chrisye. Meskipun dalam beberapa bagian, terutama suara, Vino masih belum berhasil. Sekali lagi, sebuah pernyataan yang menarik adalah ketika Vino berkata bahwa ia memainkan tokoh Chrisye bukan untuk diadu kemiripan. Benar memang, sama seperti Reza Rahadian ketika memainkan Habibie atau Pleki, secara fisik sama sekali tidak mirip. Tapi rasa-rasanya saya masih meyakini bahwa memainkan tokoh biopic adalah menirukan figure yang sudah ada di dunia nyata. Jika kenampakan fisik sulit dirubah, maka suara, laku tubuh, cara menyusun emosi, cara berpikir, dan lain-lain seharusnya sesuai dengan tokoh.
“Bila perasaanku adalah benar, maka lakon itu menjadi hidup; bila yang ada itu cumalah kecerdikan yang bersifat lahiriah maka lakon itu tetap mati” Stanislavsky – My Life in Art.