[Acting Review] Aruna dan Lidahnya: Apakah Natural Saja Cukup?
Sebelum anda membaca review keaktoran ini, alangkah baiknya anda menonton filmnya terlebih dahulu. Kenapa? Karena akan ada beberapa spoiler di artikel ini. Karena sulit rasanya mereview keaktoran tanpa ada unsur spoiler di dalamnya. Salah satu alasan kenapa ingin mereview film Aruna dan Lidahnya adalah karena adanya 2 aktor kawakan Indonesia, yakni Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo. Dimana keduanya begitu ikonik dan dikenal ketika bermain di AADC 1 dan 2. Keduanya bahkan mungkin menjadi salah satu ikon “kisah romantis” dalam dunia perfilman milenial. Tapi di film ini semua anggapan tentang Nicho dan Dian yang selalu romantis di film tersebut bisa sirna. Kenapa? Berikut pembahasan mengenai keaktoran Nicholas Saputra, Dian Sastrowardoyo, Hannah Al-Rasyid, dan Oka Antara.
Dian Sastrowardoyo, Konsep Memecah Dinding Keempat, dan Observasi yang Tak Lengkap?
Sebelum menonton film Aruna dan Lidahnya saya sempat beberapa kali melihat footage wawancara Dian di beberapa video dan film-film sebelumnya di Youtube. Hal ini saya lakukan untuk mengingat kembali, seperti apa Dian berlaku di dunia nyata, dan juga di film-film yang sebelumnya.
Menit pertama film di mulai, dari kenampakan fisik tak ada yang berbeda dari Dian di dunia nyata dan di film-film sebelumnya. Tapi dari menit pertama, konsep “memecah dinding keempat” yang dalam dunia panggung pertunjukan sering dipakai ketika mementaskan naskah dengan gaya Brechtian berhasil menarik perhatian. Jika dalam panggung, bicara dengan penonton biasanya akan terasa berbeda karena proyeksi vokalnya, dalam film seharusnya perkara proyeksi vokal itu juga menjadi pertimbangan. Paling tidak soal keberhasilan menarik perhatian penonton untuk sadar bahwa Aruna, tokoh yang diperankan Dian, sedang berbicara dengan penonton. Sayang sekali, pada menit-menit pertama film Aruna dan Lidahnya berlangsung, beberapa part “pemecah dinding keempat” itu terasa sama dengan realitas adegan dalam film.
Entah bagaimana semestinya perlakuan proyeksi suara dalam film, tapi rasa-rasanya, harus ada pembeda yang pasti saat Aruna sedang terlibat dalam realitas di film dan Aruna dalam realitas penonton. Pembeda itu bisa dalam berbagai macam bentuk, mulai dari nada, intonasi, irama, dan lain hal yang membangun dialog. Sayangnya, semuanya nampak sama saja. Jadi jika anda menonton, lalu memejamkan mata, anda mungkin tidak akan tahu bahwa Aruna sedang berbicara pada anda. Tapi coba perhatikan lagi, ketika Dian Sastrowardoyo melakukan “pemecahan dinding keempat” itu tanpa dialog. Ia berhasil masuk ke realitas penonton yang sedang menonton di bioskop. Jadi, apa masalahnya? Dialog?
Secara garis besar, permainan Dian Sastrowardoyo di film ini cukup menarik. Di luar soal penciptaan tokohnya yang sepertinya meleset di beberapa bagian. Anggap saja begini; jika tujuan dari seni peran adalah menciptakan manusia baru, maka Dian baru berhasil menciptakan 50% manusia baru dalam diri Aruna. Sementara 50% lainnya masih dalam takaran abu-abu. Kenapa? Seperti yang sudah dikatakan di atas, kenampakan fisik Dian Sastrowardoyo tak berubah. Kenampakan fisik ini meliputi caranya memandang, caranya berjalan, caranya berdialog, warna suara, hampir tidak ada tabir pemisah yang jelas antara Aruna dan Dian Sastrowardoyo.
Lalu di beberapa adegan dialog yang diucapkan Aruna muncul dengan tempo yang cepat dan stagnan. Tidak ada dinamika disana. Meskipun ketika sudah mulai masuk ke pertengahan film, dinamika itu mulai muncul. Tidak adanya dinamika ini sangat terlihat di adegan awal ketika Aruna banyak bersinggungan dengan Bono, tokoh yang diperankan oleh Nicholas Saputra. Misalnya di adegan makan di rumah Aruna. Dialog kedua tokoh ini terasa datar dan tanpa dinamika. Sempat bertanya, apakah mungkin memang dua tokoh ini sejatinya punya cara bicara semacam itu? Jika observasi Dian Sastrowardoyo terhadap tokoh Aruna begitu dalam hingga menyentuh dinamika dialognya, maka seharusnya kenampakan fisik tokoh Aruna seperti yang sudah disebutkan di atas, berbeda dengan Dian di kehidupan nyata dan di film-film sebelumnya kan?
Bicara soal observasi tokoh, mungkin sebagian dari anda belum tahu bahwa dalam dunia keaktoran ada yang namanya 3 dimensi tokoh yaitu; Psikologis, Sosiologis, dan Fisiologis. Dalam beberapa buku keaktoran, terutama yang ditulis oleh Suyatna Anirun dan Stanislavsky, secara tersirat dan tersurat 3 dimensi ini adalah pondasi utama seorang tokoh. Jadi semacam ada sebuah kewajiban untuk mencari sampai tuntas 3 dimensi tokoh tersebut untuk bisa mendapatkan bentuk tokoh yang utuh dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Itulah kenapa ketiga dimensi ini sama-sama penting dan berpengaruh satu sama lain. Seperti misalnya; Secara Sosial, Aruna adalah seorang perempuan Ahli Wabah dan pastinya memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Karena sejauh yang saya tahu, untuk menjadi seorang Ahli Wabah dibutuhkan lebih dari sekedar kecerdasan. Hal tersebut tentunya berpengaruh juga pada psikologis tokohnya, yang secara berkesinambungan bisa membentuk gaya bahasa, cara bicara, cara berpikir, cara memandang, bahkan cara makan dari tokoh tersebut. Memang ada persoalan ketika dalam kehidupan nyata, Dian juga merupakan perempuan yang cerdas, sehingga semacam tidak ada tabir pembeda yang cukup jelas antara diri aktor dan tokoh. Tapi Aruna tetap bukan Dian. Aruna tumbuh dan berkembang dengan cara dan jalan Aruna.
Meminjam pernyataan Daniel Day Lewis di salah satu sesi wawancaranya dengan Prof. Richard Brown tentang pentingnya observasi yang mendalam;
“I follow my curiosity and it takes me to all kind of strange places. And I satisfy that curiosity. As much as I can when I am working, and I do it for the simple reason that there a thing that I need to know and understand for my own sake to be able to fullfill. I am gonna take on the life of another man. I feel that I owe it to that being to try to understand them”
Dalam wawancara itu Daniel ditanya soal kenapa ia sampai rela menginap di penjara ketika memainkan tokoh Gery Conlon di film In the Name of Father. Si aktor hebat yang satu ini menganggap bahwa ia merasa berhutang budi pada tokoh yang akan ia mainkan sehingga ia harus sepenuhnya tahu tentang tokoh itu. Selain itu ia juga mengatakan bahwa Daniel ingin memuaskan rasa penasarannya terhadap tokoh tersebut.
Secara garis besar, dari pernyataan Daniel kita bisa menangkap bahwa seorang aktor juga seharusnya merasa bertanggung jawab untuk mengenal tokohnya dengan baik. Karena aktor punya tugas menghidupkan tokoh tersebut.
Selanjutnya, coba dengarkan baik-baik dialog yang dilontarkan Aruna sepanjang film. Setelah itu bandingkan dengan dialog Dian Sastrowardoyo di beberapa footage wawancara, atau sempatkan juga melihat akun Instagramnya. Tidak ada tabir pembeda yang jelas antara warna dialog Dian dan Aruna. Mungkin di beberapa bagian Aruna itu seperti Dian, tapi hanya di beberapa bagian kecil. Aruna tetap bukan Dian, dan Dian juga tetap bukan Aruna.
Dalam satu sesi wawancara dengan Kumparan, Dian mengatakan bahwa dalam menciptakan sebuah tokoh, aktor menggunakan “bahan baku” yang dimiliki aktor itu sendiri. Entah apa yang dimaksud dengan “bahan baku” itu. Apakah secara spesifik merujuk pada perangkat yang dimiliki aktor dan modal dasar seorang aktor yakni Tubuh, Jiwa, dan Pikir, atau ke hal lain? Benar apa yang dikatakan Dian bahwa di dalam ruang kerja keaktoran Dian bukan Aruna. Tapi apakah boleh kita memakai pengalaman kita dalam kehidupan dan memasukkannya dalam tokoh? Pertanyaannya, apakah tokoh tersebut akan merespon segala sesuatu dengan gaya, cara, dan bentuk yang sama seperti aktor? Sejauh yang saya tahu, akting realis itu mesti sampai pada objektifitas tertinggi.
Dalam beberapa adegan di film ini juga, Dian Sastrowardoyo berusaha “memainkan” nada dialog. Seperti di salah satu adegan yang juga ditunjukkan di trailer. Dialog “Ada apa ya?” Awalnya saya berpikir nampaknya itu sah-sah saja setelah melihat perjalanan film dari awal sampai akhir dan mencoba merangkai 3 dimensi Aruna dari apa yang ditunjukkan Dian. Tapi saya jadi sangsi. Apakah momen itu memang muncul karena jalan pikir yang digunakan si tokoh, sehingga keluar nada semacam itu? Ataukah itu ruang “show” dari seorang Dian? Jika merujuk pada salah satu wawancara Dian Sastrowardoyo dengan Kumparan, nampaknya itu momen “show” dari Dian sebagai seorang aktor.
Pada beberapa bagian di film Aruna dan Lidahnya juga sebenarnya Dian memainkan emosi Aruna dalam bentuk yang menarik. Seperti misalnya ketika ia sedang marah kepada Oka Antara di atas mobil setelah mereka hampir menabrak serombongan bebek. Disana, pikir saya, akan ada ledakan besar, karena pertama, Aruna sedang mens, dan kedua, adegan itu punya perjalanan emosi yang cukup besar. Jadi rasa-rasanya ledakan di bagian itu akan terjadi. Tapi tidak. Tidak ada ledakan emosi seperti yang saya kira. Malah Dian membentuknya dengan letupan yang “dewasa”. Sedikit tapi nylekit. Dalam ruang eksplorasi tokoh, apa yang dilakukan Dian tentunya sah. Dengan harapan bahwa, sekali lagi, itu muncul karena Aruna, bukan karena Dian.
Dalam film Aruna dan Lidahnya juga, Dian Sastrowardoyo punya banyak sekali kesempatan untuk menunjukkan acting dalam acting. Ia pun berhasil memainkan bagian itu dengan baik. Tapi nampaknya jika adegan acting dalam acting itu disandingkan dengan adegan pemecah dinding keempat, rasanya sama. Padahal realitas yang dihadapi berbeda. Di bagian pemecah dinding keempat realitasnya adalah penonton, dan di bagian acting dalam acting di adegan, realitasnya adalah peristiwa dalam film. Tabir pembedanya masih terlalu tipis.
Mendekati akhir, sepertinya jiwa tokoh yang dibangun Dian Sastrowardoyo terlihat goyah. Dalam menit-menit terakhir film, laku “kekanak-kanakan” yang ikonik di AADC 1 dan 2 nyempil di bagian pertengahan hingga film selesai. Terutama adegan malu-malunya Aruna pada Fariz dan di beberapa adegan setelahnya.
Film Aruna dan Lidahnya memang merupakan adaptasi bebas dari novel dengan judul yang sama. Saya pikir, dengan embel-embel “adaptasi bebas” tokoh juga menjadi lebih bisa dieksplorasi. Sayangnya, eksplorasi tokoh Aruna seperti kurang lengkap. Ada part dari Aruna sebagai manusia yang terlupakan.
Tapi kalau soal bermain natural, Dian Sastrowardoyo dan para pemain lain sukses bermain secara natural. Dialog-dialog yang muncul begitu luwes, tidak bau kertas, pikiran tokoh tetap dijalankan, dan mendengarkan lawan main dan juga merespon lawan main dengan baik. Tapi pertanyaannya, apakah bermain natural saja cukup?
Nicholas Saputra, Chemistry Baru yang Sukses, dan Permainan yang Berimbang
Sebenarnya jika mau membahas soal permainan Nicho kurang lebih sama dengan Dian Sastro. Secara garis besar tidak ada kejutan dalam permainan keaktorannya. Sama seperti Dian, pada Nicho juga, saya terlebih dahulu melihat film-film sebelumnya dan juga footage wawancaranya. Jika kita bicara soal capaian keaktoran sepanjang karirnya, sepertinya Gie masih menjadi film terbaik Nicholas. Lalu bagaimana dengan Aruna dan Lidahnya?
Kita mulai dari menit pertama kemunculannya. Satu hal yang terlihat pasti adalah upaya Nicholas untuk membuang image orang mengenai Rangga. Terlebih lagi ia harus berhadapan dengan Dian Sastrowardoyo. Anggapan orang bahwa Nicho adalah Rangga begitu ada Dian berhasil ditampik. Nicho, berdasarkan penjelasannya, adalah seorang chef yang menjadi sahabat Dian dengan nama Bono. Chemistry yang coba dibangun oleh Nicho dengan Dian menarik untuk di bahas.
Nicho dan Dian berhasil secara bersama-sama menyingkirkan image banyak orang mengenai mereka berdua yang selalu menjadi sepasang kekasih. Ikatan antara kedua tokoh, Bono dan Aruna dibangun dengan sangat baik. Tak terlihat sedikit pun jejak-jejak chemistry pada film AADC 2 di Aruna dan Lidahnya. Pembangunan chemistry baru ini terbilang sukses. Nicho dan Dian seolah tahu bahwa kali ini mereka adalah sepasang sahabat yang sangat mengenal satu sama lain.
Tapi jika kemudian melihat di beberapa sesi wawancara, sepertinya chemistry keduanya tak jauh beda dengan apa yang ada di dalam film Aruna dan Lidahnya. Seandainya saya mengenal mereka berdua di dunia nyata, mungkin saya bisa lebih tahu bagaimana sebenarnya bentuk ikatan mereka berdua. Tapi karena hanya footage wawancara yang bisa saya dapat, ikatan Bono dan Aruna sama seperti ikatan Dian dan Nicho. Apakah memang Bono dan Aruna punya cara bersahabat yang sama dengan Dian dan Nicho?
Lalu bagaimana dengan capaian personal? Melihat track record film-film Nicho, Aruna dan Lidahnya masih berada dalam taraf aman dalam lingkup permainan Nicho. Bahkan mungkin hampir tergelincir ke permainan yang monoton. Kenapa bisa begitu?
Coba anda perhatikan di adegan dapur di awal kemunculannya. Ketika itu Bono berbincang dengan Aruna. Sambil memasak Bono mengatakan beberapa hal. Coba anda dengarkan baik-baik, hampir semua nada pada dialog yang dilontarkan di adegan itu terkesan monoton. Lagi-lagi, apakah itu karena peristiwanya memang begitu? Tokohnya memang begitu? Monoton dalam hal ini artinya nada dari satu line ke line yang berikutnya terkesan sama. Padahal saat itu Bono sedang memasak. Ia sedang melakukan kegiatan lain sambil berdialog. Apakah tidak mungkin ada semacam jeda, sedikit bisnis akting, yang kemudian bisa memunculkan dinamika dialog dan nada? Seharusnya iya. Tapi dalam bagian itu, semua dialog Bono terasa sangat lancar, meluncur begitu saja, tanpa ada permainan.
Berlanjut ke adegan di ruang makan bersama Aruna. Tik tok dialog kedua aktor tersebut meluncur begitu saja. Sangat ringan. Memang sekejap saya sempat bertanya, apakah mungkin chemistry kedua tokoh ini, Aruna dan Bono, seperti itu. Setiap obrolan yang dilontarkan menjadi sangat ringan?
Saya jadi ingat dengan salah satu footage wawancara Nicho dan Dian dengan Kumparan. Disana mereka mengatakan bahwa salah satu hal yang paling sulit dalam bermain peran di film ini adalah menentukan kapan harus makan dan kapan harus berdialog. Menurut penjelasan keduanya, mereka harus tahu seberapa banyak makanan yang masuk mulut, agar ketika giliran mereka berdialog, mulut sedang tidak dalam kondisi penuh. Sebenarnya hal ini sah-sah saja. Dalam keaktoran ini bisa disebut mekanikal. Semua diatur atas kesadaran aktor. Tapi mekanikal seharusnya dijalankan bersamaan dengan psikologikal. Kalau dalam hukum panggung, sejauh yang saya jalani, mekanikal hanya dipakai ketika dalam pertengahan pertunjukan kita kehilangan konsentrasi. Maka yang terjadi adalah berusaha melakukan apa yang sudah biasa di latihkan. Pertanyaannya, apakah dalam film juga akan seperti itu?
Apakah konsep here and now milik Stanislavsky juga dipakai dalam film ini? Rasa-rasanya, jika iya, maka tidak akan ada masalah “mengunyah” dan berdialog. Kenapa? Konsep here and now milik Stanislavsky kurang lebih menekankan bahwa setiap peristiwa yang dilakukan tokoh itu selalu fresh. Meskipun dilakukan berulang kali, peristiwa itu harus tetap fresh. Caranya? Menjalankan hidupnya tokoh. Memberikan pemahaman bahwa apapun yang dilakukan adalah yang pertama kali dilakukan. Bagaimana bisa? Pikiran dan perasaan tokoh yang berjalan. Cara mendapatkannya? Observasi sedalam-dalamnya.
Sama dengan Dian, jika penciptaan tokoh itu yang paling penting adalah memainkan emosi dan pikirannya saja, maka Nicho bisa dibilang berhasil. Ia berhasil memainkan emosi dan pikiran Bono dengan berimbang. Tapi apa bedanya ketika Nicho berpikir dengan Bono dan Nicho berpikir dengan cara Nicho saat bungkus yang ada di luarnya masih terlihat sama?
Sekali lagi, mohon maaf jika ternyata saya banyak berkutat dengan kenampakan fisik, capaian fisik, perubahan suara, perubahan cara jalan, dan hal-hal yang berhubungan. Karena nampaknya hal tersebut juga jadi sangat penting dalam dunia keaktoran. Oke, jika itu kemudian di rasa tak penting, mari kita lihat film Manchester by the Sea yang juga menjadi salah satu film favorit Nicho.
Dalam film tersebut, Casey Affleck bermain sangat sempurna. Jika anda analisis betul, Casey menciptakan tokoh dari dalam. Semua hal yang berhubungan dengan jiwa, pikiran, emosi, halaman nol dan lain sebagainya, secara tak langsung membentuk kenampakan luar dari tokoh tersebut. Semua hal yang berhubungan dengan psikologi itu mempengaruhi pilihan suara, pilihan bahasa tubuh, pilihan pandangan mata, kenampakan fisik dengan brewok yang tak terawat itu, dan hal-hal fisik lainnya. Hingga pada akhirnya ia berhasil menciptakan tokoh Lee Chandler dengan utuh. Lalu bagaimana dengan Nicho?
Nicho sepertinya terhenti pada tataran jiwa, pikiran, dan emosi. Mungkin ia belum menyentuh halaman nol dan beberapa aspek penting lainnya yang secara fisiologis juga membentuk kenampakan tokohnya. Misalnya; ingin rasanya bertanya, meskipun mungkin tak penting. Kenapa Bono memilih hidup sebagai chef? Apa waktu kecil ada perjalanan yang menarik soal makanan dan yang berhubungan? Jika dijawab “tidak ada dalam naskah”, itulah yang namanya halaman nol. Dalam salah satu teori pembedahan naskah, ada yang namanya strukturalisme genetik. Dimana kita membedah naskah dengan melihat dari sisi sejarah, latar belakang penulis, peristiwa yang terjadi saat naskah ditulis, dan hal-hal yang tidak berhubungan secara langsung dengan naskah tersebut. Kurang lebih itulah yang kemudian membuat penciptaan tokoh bisa utuh dari ujung kepala sampai kaki. Dari bagian terluar sampai yang paling dalam. Manusia itu kompleks, maka memainkan satu manusia baru, upaya yang dilakukan pun juga mesti kompleks.
Nicho memang bermain sangat bagus dalam tataran pikiran dan emosi Bono. Ia secara gemilang berhasil menjalankan pikiran Bono pada tiap kesempatan. Nicho adalah pendengar yang baik. Hal itu bisa anda liat di salah satu adegan dengan Hannah Al-Rasyid ketika berada di pelabuhan. Nicho nampak betul selalu berusaha mendengarkan dialog lawan mainnya dengan baik, mengolahnya dalam pikiran, jika diperlukan mengolahnya juga dalam emosi, baru muncul ekspresi dan dialog. Jadi hampir semua dialog dan respon yang dilakukan Nicho tidak terkesan artifisial atau palsu.
Selain itu baik Dian dan Nicho sepertinya juga berupaya untuk menjalankan emosi tokoh yang berbeda dari tokoh-tokoh yang pernah mereka mainkan di film-film sebelumnya. Bagian menyusun emosi hingga muncul aksi, dilakukan dengan sangat baik oleh Nicho dan Dian. Pikiran dan emosi yang dijalankan bukan tokoh-tokoh yang sebelumnya, atau juga Nicho maupun Dian. Tapi lagi-lagi, apakah permainan emosi yang lihai sudah cukup dalam seni peran?
Secara garis besar, permainan Nicho sangat baik dalam film ini. Ia dengan sukses menghancurkan image chemistrynya dengan Dian yang sangat melekat dari film AADC. Nicho juga sukses memainkan pikiran dan emosi tokoh di tiap bagiannya. Ia tak meninggalkan pikiran-pikiran Bono dalam tiap respon dan dialog yang ia keluarkan. Tapi, apakah memainkan emosi dan pikiran tokoh saja cukup?
Hannah Al-Rasyid dan Oka Antara, Apa yang Spesial?
Agak sulit sebenarnya menilai 2 aktor ini. Itu kenapa mereka berdua saya tulis dalam 1 sub judul yang sama. Apa yang spesial dengan permainan Hannah dan Oka? Sejauh saya melihat film ini dari awal sampai akhir rasa-rasanya tak ada yang spesial dari permainan keduanya. Kita mulai dari Oka Antara.
Dalam film ini Oka bermain sebagai Fariz. Saya sejujurnya mengenal Oka Antara di sitkom Oke Jek. Dari sana kurang lebih saya mencoba membandingkan apakah ada capaiannya yang cukup signifikan dengan permainan Oka di Aruna dan Lidahnya dan di Oke Jek. Mungkin terkesan tidak fair, tapi pada kenyataannya tidak ada beda yang signifikan di akting kedua tokoh tersebut. Dalam Aruna dan Lidahnya, Oka memang terlihat menunjukkan Fariz yang dewasa dan profesional dalam pekerjaannya. Tapi sayangnya, Fariz yang dalam perjalanan cerita memiliki sebuah rahasia besar, seolah-olah tak nampak pada tiap respon, ekspresi, dan dialog yang ia lontarkan.
Mungkin persoalannya ada pada pertanyaan “kenapa”. Pertama, kenapa Fariz menyusul Aruna. Kedua, kenapa Fariz jatuh cinta pada mbak Priya yang bersuami. Dan kenapa-kenapa yang lain. Susunan konflik yang ada dalam diri Fariz kelihatannya tidak digali betul oleh Oka. Sehingga yang muncul adalah Oka seperti di film-film sebelumnya. Semua lakunya hampir sama. Caranya membuka dan menutup mulut, caranya mengernyitkan dahi, caranya berkonsentrasi, antara Fariz dan Oka jadi tak ada tabir pemisah sama sekali. Fariz itu bukan Oka kan? Dan Oka juga bukan Fariz kan?
Berlanjut ke Hannah Al-Rasyid. Di luar soal artikulasi di beberapa adegan yang cukup mengganggu sebenarnya, permainan Hannah pun kurang lebih sama dengan Oka. Memang ada upaya untuk terus menjalankan pikiran dari Nad, tokoh yang dimainkan Hannah. Tapi sayangnya upaya menjalankan pikiran saja tak cukup. Kenapa? Tokoh Nad, jika menangkap dari apa yang diceritakan sepanjang film, memiliki latar belakang yang kompleks. Bagaimana kisah Nad dengan suami orang, bagaimana ia dengan entengnya bisa berkata “Kondom dan pembalut itu satu paket”, dan lain sebagainya. Tokoh Nad ini punya halaman nol yang kompleks. Tapi sayang, kompleksitas Nad sebagai manusia belum berhasil ditunjukkan sepenuhnya oleh Hannah.
Setelah itu mari kita menilik track record Hannah Al-Rasyid. Mungkin karena pada dunia nyata ia juga terlihat susah melafalkan kalimat-kalimat berbahasa Indonesia, sehingga ia sering mendapatkan tokoh yang kemampuan pelafalan bahasa Indonesianya tidak terlalu baik. Tapi sayangnya, warna suara, pemenggalan kata, pemilihan nada, semuanya sama dengan Hannah di film-film sebelumnya, dan bahkan di keseharian (Saya melihat footage pastinya, saya tak pernah bertemu Hannah secara langsung).
Lalu jika bagian luar tak dibentuk dengan cukup baik, dan bagian dalamnya pun terkesan “setengah matang”, apa yang spesial dari Hannah?
Jawabannya sederhana, natural dan pendengar yang baik. Hannah bermain sangat natural. Ia memiliki upaya untuk mendengarkan lawan mainnya dengan baik. Ia bahkan bersama lawan mainnya di tiap adegan, berusaha membangun peristiwa dengan baik. Hal tersebut membuat beberapa peristiwa di dalam film terasa solid dan bisa dinikmati. Selebihnya? Silahkan anda tonton dan nilai sendiri.
Apakah Natural Saja Cukup?
Inilah yang menjadi pertanyaan terbesar saya dalam menilai keaktoran dalam sebuah produksi film atau bahkan panggung. Apa sebenarnya yang menjadi tujuan utama seni peran? Beberapa orang pernah bilang, tujuan keaktoran adalah menciptakan manusia baru. Ada juga yang berkata bahwa tujuan keaktoran adalah menyampaikan pesan. Beberapa yang lain berkata, yang penting main natural. Lalu apa sebenarnya tujuan akhir dari seni peran?
Anda bisa menjawabnya sendiri-sendiri. Sejauh yang saya tahu, aktor adalah pembawa pesan. Ia menceritakan sepenggal kehidupan tokoh yang dimainkan. Karena kita menceritakan sepenggal kehidupan tokoh yang kita mainkan, maka menjadi orang lain akan mendistorsi pesan tersebut. Jadi kita juga harus bisa menciptakan manusia baru dan menyampaikan pesan yang dimiliki si manusia baru yang kita ciptakan itu.
Secara garis besar, keaktoran dalam Aruna dan Lidahnya ini cukup bagus. Jika penilaian berhasil atau tidaknya akting dilihat dari bagaimana seorang aktor berhasil menciptakan tokohnya secara utuh luar dalam, maka Aruna dan Lidahnya hanya bisa sampai pada angka 50%. Separuh dari tokoh yang mereka mainkan masih ada dalam taraf aktor, atau bahkan diri. Tapi jika permainan yang natural dan kesuksesan memainkan dan menjalankan emosi tokoh adalah ukuran keberhasilan dalam seni peran, Aruna dan Lidahnya sangat berhasil menghipnotis dan memukau penonton.
Tapi sekali lagi, apakah bermain natural saja cukup?