[Acting Review] A Star is Born; Apakah Bisa Masuk Oscar?
Film A Star is Born merupakan salah satu film yang mengambil perhatian banyak pihak sejak pertama kali peluncuran trailernya sekitar 1 tahun yang lalu sebelum akhirnya film ini di rilis beberapa minggu lalu di bioskop Indonesia. Banyak hal menarik tentang film ini. Selain soal ceritanya, yang ternyata adalah remake dari film dengan judul yang sama, dimana film ini muncul pertama kali tahun 1937, lalu di remake sekitar 3 kali yakni tahun 1954 sebagai film musikal, tahun 1976 sebagai film rock musikal, dan 2013 oleh perfilman India.
Sekedar informasi, ide pembuatan film ini sebelumnya sudah muncul sejak tahun 2011 dimana Clint Eastwood ditunjuk sebagai sutradara, dan Beyonce direncanakan menjadi Ally, tokoh yang dimainkan Lady Gaga. Waktu itu Leonardo diCaprio, Christian Bale, Will Smith, dan Tom Cruise juga direncanakan membintangi film ini. Tapi nampaknya semua rencana itu gagal dan akhirnya Bradley Cooper yang menggarap A Star is Born.
Dalam review kali ini, saya tidak akan membahas mendalam soal filmnya. Hal yang paling menarik dalam film ini justru permainan Bradley Cooper dan Lady Gaga. Kenapa menarik? Jika dilihat sekilas dan menengok sedikit “budaya penilaian Oscar” maka kedua aktor tersebut punya kesempatan besar untuk masuk nominasi, atau bahkan mendapatkan predikat Aktor dan Aktris terbaik Oscar. Lalu sebesar apa kesempatan mereka berdua? Berikut pembahasannya;
Bradley Cooper dan 6 Bulan Observasinya
Pada film ini Cooper bermain sebagai seorang musisi bernama Jackson Maine. Ia adalah seorang musisi yang dalam perjalanan film tersebut kemudian diketahui bahwa ia sedang mengidap sebuah penyakit pada telinganya yang membuatnya hampir tuli dan menyebabkan Jackson main depresi berat dan hampir setiap waktu selalu menenggak minuman dan obat penenang. Pada saat pertama kali kemunculan Cooper sebagai Jackson Maine, ia berhasil menunjukkan Jackson yang depresi berat. Tampilan fisiknya dengan rambut panjang, brewok tebal, dan kulit yang seperti di tanning itu sangat mendukung kondisinya sebagai pemusik yang depresi berat, tukang minum, dan penenggak obat penenang. Soal tanning, usut punya usut, ternyata Cooper benar-benar melakukan tanning selama 2 minggu sebelum proses shooting dimulai.
Tampilan fisik yang dirubah oleh Cooper sangat mengambil perhatian saya ketika pertama kali melihatnya. Dalam hati saya berkata “Cooper berhasil merubah penampilan fisiknya, satu step terlewati dengan baik, terus apalagi nih?”
Cooper kembali menggebrak ketika pertama kali ia mengeluarkan suara Jackson. Cooper patut mendapatkan standing applause atas perubahan suara yang ia ciptakan. Suara yang diciptakan Cooper sangat amat berbeda dengan diri Cooper sendiri dan juga tokoh-tokoh yang sebelumnya ia mainkan. Jika kalian sudah sempat menontonnya, coba perhatikan sekelibat saja suara Cooper. Dengan memperhatikan sekelibat saja kalian pasti tahu bahwa Cooper berhasil merubah total suaranya menjadi suara tokoh yang benar-benar baru. Suara yang diciptakan Cooper benar-benar menghilangkan image Bradley Cooper sama sekali.
Dari hasil riset sederhana yang saya lakukan tentang suara Cooper tersebut, ia ternyata telah melatih dan mencari bentuk suara tersebut selama beberapa bulan. Dalam salah satu wawancaranya dengan Washington Post, Cooper mengatakan bahwa ia mencari suara dan melatih suara tersebut selama beberapa bulan. Ia bahkan mengatakan bahwa warna suara yang ia pilih menyakiti Esophagusnya. Keberhasilan Cooper menciptakan suara tersebut juga tak lepas dari tim yang ia punya. Cooper dalam proses pencarian tokohnya ini – lebih detail lagi dalam proses pencarian suara Jackson Maine – menggunakan bantuan ahli dialek untuk menemukan suara si tokoh. Ia menggunakan ahli dialek bernama Tim Monich untuk membantunya mempelajari dialek, mempertahankan dialek, dan juga menemukan warna suara dari si tokoh. Dimana hal semacam ini patut sepertinya ditiru oleh aktor Indonesia. Tapi bicara soal itu, kita bahas nanti saja.
Selanjutnya dalam wawancara dengan Washington Post tersebut Cooper pun mengatakan bahwa ia akhirnya menemukan suara yang pas dengan suara tokoh ketika ia mendengar Sam Elliot, yang dalam film ini berperan sebagai kakaknya. Akhirnya ia memutuskan menggunakan warna suara tersebut dan terus melatihnya. Dari beberapa berita yang saya baca, butuh waktu 6 bulan untuk mencari dan mempelajari tokoh Jackson Maine. Dan 6 bulan itu tak sia-sia.
“It hurt my esophagus,” Cooper told The Washington Post’s Sonia Rao in a recent interview. “I would have pain for the first couple of months. It really hurt.”
Luckily, Cooper said, he had an ace dialect coach named Tim Monich who created a detailed plan to figure out the exact accent and rhythm.
“The voice is everything. It all begins and ends with the voice, as an actor — and as a human being,” said Cooper, who also directed the film.
Coba lihat perbandingan 2 video di atas antara suara Sam Elliot dan Bradley Cooper. Sama kan?
Dalam film ini Bradley Cooper juga bernyanyi. Menurut sepengetahuan saya, ini merupakan film pertama Cooper dimana ia bernyanyi dengan menggunakan suara aslinya. Cooper berhasil bernyanyi dengan sangat bagus. Sangat bagus disini artinya tidak fals dan dengan pembawaan emosi yang luar biasa bagus, seperti layaknya Rockstar berpengalaman. Tapi nampaknya ada yang sedikit kurang. Apa itu?
Suara Cooper ketika bernyanyi, adalah suara Cooper yang asli, bukan sebagai tokoh Jackson Maine yang memiliki suara berat, serak, dan agak gandem. Ketika Cooper masuk ke adegan bernyanyi, ia tidak menggunakan suara Jackson untuk bernyanyi. Memang banyak penyanyi yang memiliki suara yang berbeda ketika bernyanyi dan ketika berdialog biasa. Tapi jika kalian perhatikan, mereka pasti punya tone suara yang sama. Persoalannya, dalam tokoh ini suara ketika bernyanyi dan berdialog memiliki warna vocal yang benar-benar berbeda.
Jika mencari contoh salah satu aktor yang menyanyi dengan menggunakan karakter suara tokoh dan berbicara dengan tetap menggunakan karakter suara tokoh adalah Daniel Day-Lewis dalam film Nine ketika ia bermain sebagai Guido. Dalam film itu kita bisa melihat bagaimana Daniel Day-Lewis mempertahankan warna suaranya entah ketika bernyanyi atau berdialog biasa.
Cukup rasanya membahas soal penciptaan suara Cooper. Kesimpulan untuk suara yang ia ciptakan adalah outstanding!
Setelah menonton hingga ¾ film, saya belum menemukan sebuah adegan dengan gejolak emosi yang dalam dan besar. Justru permainan Cooper seolah-olah terjebak dalam kondisi “selalu mabuk” sehingga terasa cetek bahkan di beberapa adegan yang saya rasa penting dan punya konflik yang dalam dan besar. Seperti misalnya ketika adegan Ally (Gaga) menerima Grammy. Jika dilogikakan, Grammy adalah momen yang sangat bersejarah untuk setiap penyanyi. Lalu ketika Ally mendapatkan Grammy dan Jackson naik ke panggung dalam keadaan mabuk berat sampai kencing di celana, samar terlihat konflik Jackson yang mencoba menjaga kehormatan Ally di depan dunia. Di adegan tersebut seolah-olah hanya bisa terlihat Cooper yang mabuk berat tanpa ada pertarungan pikiran yang dalam.
Hampir pada semua adegan hingga menjelang akhir, konflik Jackson dengan telinganya yang hampir tuli itu tak terlihat kental. Hal tersebut tak terasa bahkan ketika kedua tokoh tersebut bertengkar atau ketika Jackson ada dalam posisi terpuruk. Sebenarnya ada beberapa adegan dimana keterpurukan itu tergambar dari perilaku Jackson. Sayangnya itu muncul tak terlalu banyak dan seolah tenggelam dengan kisah-kisah selanjutnya dalam film tersebut.
Tapi kekurangan tersebut seolah dilibas habis oleh Cooper pada adegan terakhir di beberapa detik sebelum ia menutup pintu garasi untuk bunuh diri. Jika kamu perhatikan betul, disana semua konflik yang seolah-olah ditahan selama film berjalan dari awal hingga menjelang kematiannya ditumpah ruahkan pada matanya. Pada adegan itu, Cooper berhasil mengeluarkan semua konflik yang dialami tokohnya dengan pas, tak berlebihan, tebal, dan dalam, sangat dalam bahkan. Hanya beberapa detik, dan Booom! Cooper menutup aktingnya dalam film itu dengan sempurna! What a perfect face before you die, Jack!
Gaga, Great Singer and Enough Actress
Lady Gaga dalam film A Star is Born secara garis besar bermain cukup bagus. Tapi, sekali lagi jika standarnya adalah bermain emosi dan kelihaiannya bernyanyi, siapa yang bisa meragukan Lady Gaga dalam soal kemampuan bernyanyi? Peraih 3 gelar Brit Award dan 6 Grammy ini memang benar-benar luar biasa dalam soal bernyanyi. Kemampuan menyanyinya yang luar biasa itu juga dipergunakan dengan sangat maksimal dalam tokohnya. Bukan hanya soal penguasaan nada, tapi juga permainan emosi ketika bernyanyi. Salah satu momen yang sangat mencuri perhatian adalah ketika ia pertama kali menyanyikan Shallow di atas panggung bersama Cooper. Gaga menggebrak dengan memberikan vibrasi yang sangat kuat ketika menyanyikan lagu tersebut.
Tapi jika parameter permainan seorang aktor adalah menciptakan manusia baru, dimana aktor harus menciptakan tokohnya dengan utuh, mulai dari penampilan fisik, suara, sampai psikologis tokohnya, maka Lady Gaga belum terlalu berhasil.
Di luar itu, mari coba kita bandingkan bentuk yang diciptakan Gaga pada tokohnya dan Gaga pada kehidupan aslinya. Pertama adalah soal suara, secara garis besar, suara Gaga dan Ally sama persis. Lalu soal aksen, memang saya tidak terlalu paham soal aksen di Amerika sana, tapi beberapa kali memutar video trailer, menonton film dan video wawancara Gaga, aksen kedua tokohnya tak memiliki perbedaan yang mencolok. Mungkin bisa dibilang Gaga masih bermain sebagai dirinya sendiri tapi dengan inner karakter yang berbeda. Dalam salah satu wawancaranya, Gaga mengatakan bahwa tokoh ini punya inner karakter yang berbeda jauh dengannya. Dimana Ally adalah tokoh yang pemalu dan tidak percaya diri dengan dirinya sendiri, sementara Gaga adalah kebalikannya. Hal tersebut memang berhasil ditunjukkan oleh Gaga. Tapi lagi-lagi, jika permainan seorang aktor hanya sebatas itu, maka Gaga berhasil. Jika capaian aktor lebih dari sekedar memainkan emosi, dan inner karakter, maka Gaga masih separuh berhasil.
Jika diperhatikan baik-baik, Gaga dan Cooper berhasil membangun, menghidupi, dan mempertahankan chemistry Ally dan Jackson sejak pertemuan pertama mereka dalam film. Tak hanya itu, jika kalian perhatikan betul, dalam tiap adegan ketika Cooper beradu akting dengan Gaga, Cooper nampak membantu menghidupkan Ally dan permainan Gaga agar bisa hidup sejalan dengan peristiwa yang terjadi pada adegan tersebut. Apa yang dilakukan Cooper ini kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan Al Pacino dalam film Scent of a Woman, dimana Al Pacino membantu lawan mainnya untuk bisa bermain bagus. Kemampuan semacam ini tak banyak dimiliki aktor lain. Cooper dan Gaga muncul sebagai satu tim yang solid, di luar kekurangan yang muncul dalam penciptaan tokoh Gaga.
Melihat permainan Gaga saya jadi teringat dengan permainan Emma Stone di La La Land. Jika kalian ingat, Emma Stone juga bisa dibilang tidak secara utuh menciptakan Mia, tapi ia bermain bagus di beberapa bagian yang mendukung permainannya seperti menyanyi dan menari. Hal ini juga yang sepertinya dilakukan Gaga. Maka, jika kedua aktris ini ada pada tipe permainan yang sama dan kualitas permainan yang sama, Gaga punya kesempatan besar untuk mendapatkan Oscar.
Gaga, Cooper, dan Oscar yang Sangat Dekat
Setelah kita bicara tentang permainan kedua aktor tadi, sekarang waktunya bicara tentang sebesar apa kesempatan mereka berdua masuk dalam radar penilaian juri Oscar.
Pertama dari Bradley Cooper. Kalau dari pandangan saya pribadi, sejauh ini Cooper adalah pemimpin terdepan dalam perolehan Aktor Terbaik Oscar 2019. Bahkan ia jauh mengalahkan Rami Malek yang memainkan Freddie Mercury. Kenapa bisa begitu? Sejauh yang saya tahu dalam penjurian Oscar untuk aktor terbaik, ada semacam jalur yang hampir selalu terjadi dalam tiap pegelaran Oscar.
Pertama, hampir jarang aktor yang bermain musikal akan bisa mendapatkan Oscar, bahkan ketika dia masuk nominasi. Itu terjadi pada Hugh Jackman dengan Les Miserables dan Ryan Gosling dengan La La Land. Biasanya aktor-aktor musikal tersebut akan kalah oleh aktor yang ciptaannya lebih lengkap dan tokohnya memiliki kompleksitas watak yang lebih dalam seperti misalnya Daniel Day Lewis dalam Lincoln yang berhasil mengalahkan Hugh Jackman, dan Cassey Affleck dalam Manchester By the Sea yang berhasil menyingkirkan Ryan Gosling. Hal ini mungkin juga terjadi pada Cooper. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, tokoh Cooper ini memiliki karakter yang rumit, konflik yang kompleks, dan penciptaan yang utuh. Bahkan mungkin kesempatan Cooper lebih besar, kenapa? Karena Cooper juga bernyanyi dalam film ini. Maka jika kacamata yang dipakai untuk menilai siapa Aktor Terbaik Oscar masih sama, Cooper adalah aktor dengan kemungkinan terbesar mendapatkan Oscar.
Kedua, dalam penjurian aktor terbaik Oscar, nampaknya “jatah” adegan penuh konflik juga menentukan. Ini terjadi pada persaingan Oscar tahun lalu ketika Daniel Day Lewis kalah dari Gary Oldman. Dalam Film Phantom Thread, adegan dengan konflik yang meledak-ledak dan tajam hampir tidak ada. Daniel tidak seolah tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan dengan gamblang emosi tokoh yang ia ciptakan. Maklum, tokoh yang diciptakan Daniel memang tak punya kesempatan banyak untuk itu. Sementara dalam film Churcill, tokoh Churcill memang memiliki watak yang mendukung adegan dengan emosi besar dan meledak-ledak. Ditambah lagi dengan banyaknya adegan yang berisi konflik besar makin memberikan ruang bagi Gary Oldman memamerkan hasil ciptaan tokohnya yang kompleks dengan lebih gamblang.
Lalu bagaimana dengan Cooper? Dalam film ini konflik-konflik tajam dari Jackson Maine terbilang tak banyak. Tapi ada satu yang cukup menyita perhatian yakni sebelum Jackson memutuskan bunuh diri. Mungkin ini bisa jadi kesempatan Cooper untuk memperbesar kemungkinannya mendapatkan Oscar. Sama seperti Daniel Day-Lewis dalam Lincoln. Kalau tidak salah, seingat saya hanya ada 1 adegan dimana Lincoln marah besar dan ia hanya memukul meja sekali, tapi adegan itu menjadi adegan paling diingat sepanjang film.
Begitulah kira-kira kesempatan Bradley Cooper dalam ajang perebutan aktor terbaik Oscar. Lalu bagaimana dengan Gaga?
Seperti yang sudah saya bilang di atas, Gaga memiliki kesempatan yang sama besarnya dengan Cooper. Kenapa? Padahal tokoh yang Gaga ciptakan bisa dibilang outputnya tak terlalu jauh dari diri Gaga sendiri? Jawabannya sederhana. Gaga menyanyi dalam film ini dan nyanyiannya benar-benar menggetarkan.
Selain itu Gaga juga didukung dengan emosi-emosi besar yang ia dapatkan sepanjang film. Posisi semacam ini kurang lebih sama dengan posisi Emma Stone dalam La La Land. Tapi dalam A Star is Born, bisa dibilang Gaga mendapatkan lebih banyak porsi “mengumbar” emosi dan kompleksitas pikiran tokohnya dari pada Emma Stone dalam La La Land. Dan lagi, persaingan aktris terbaik dalam Oscar ini tak seketat Aktor terbaik. Kenapa? Kalau sangat ketat, tentunya tak mungkin Merryl Streeps mendapatkan 19 kali nominasi Oscar donk? Iya kan? Maka sebesar apa Gaga dalam persaingan aktris terbaik? Jawabannya cukup besar. Mungkin sampai saya menemukan film lain dimana si aktris bisa memainkan emosi, menciptakan tokoh dengan utuh, dan menunjukkan kelebihannya sebagai seorang aktor. Jika aktris semacam itu muncul, maka sangat mungkin Gaga tergeser.
Hampir lupa, satu hal lagi yang membuat Cooper semakin kuat dalam persaingan perolehan Aktor Terbaik Oscar adalah karena ia juga merupakan sutradara dalam film ini. Mungkin hal tersebut juga bisa menjadi pertimbangan para juri mengingat Cooper harus membagi fokus antara menyutradarai dan akting.
Cooper 9, Gaga 7
Kesimpulannya, kedua aktor ini hidup dalam tokoh mereka masing-masing. Tentunya dengan kekurangan dan kelebihan mereka masing-masing. Tak hanya itu, mereka juga berhasil “hidup bersama” dan “menghidupi tokohnya bersama” sehingga chemistry, vibrasi, dan respon antara Cooper dan Gaga benar-benar berjalan dengan sangat natural, tumbuh, dan sesuai dengan kondisi tokohnya. Bradley Cooper pantas mendapatkan nilai 9 dalam permainannya kali ini dan Gaga pantas mendapatkan angka 7.
Well played Cooper and Gaga!