[Acting Review] Bohemian Rhapsody; Freddie Terlalu Masif Untuk Rami?
Siapa generasi era 80, atau 90an yang tidak menunggu film yang satu ini? Bohemian Rhapsody merupakan salah satu film yang sangat dinanti tahun ini. Film tersebut akhirnya rilis pada 30 Oktober 2018 kemarin di seluruh bioskop di Indonesia. Film yang hampir lebih dari setengahnya bercerita tentang kehidupan Freddie Mercury – alih-alih bicara soal penciptaan lagu “Bohemian Rhapsody” seperti judulnya – ini incredibly amazing. Tapi seperti biasa, kita tak akan membahas film ini terlalu dalam. Justru yang paling menarik dalam film ini adalah Rami Malek yang berperan sebagai Freddie Mercury. Seperti apa permainannya, dan apakah Rami berhasil menciptakan ulang Freddie Mercury atau malah tergilas oleh ke-legendaris-an Freddie Mercury? Berikut pembahasannya;
Rami Malek dan Capaian Mimesisnya
Secara garis besar, Rami cukup memenuhi ekspektasi saya tentang permainannya. Paling tidak soal kemiripan fisik yang berhasil dicapai. Pada adegan pertama kita disuguhi punggung Freddie yang berjalan menuju panggung Live Aid. Sapaan punggung Freddie ini cukup meyakinkan. Rami berhasil memberikan kesan beberapa detik bahwa itu adalah Freddie dan bukan Rami yang berperan sebagai Freddie. Lalu pada adegan selanjutnya, kita baru disuguhi wajah Rami yang bertransformasi sebagai Freedie Mercury lengkap dengan gigi tonggos yang ikonik itu.
Nampaknya gigi tonggos tersebut sangat membantu permainan Rami. Dari awal film sampai selesai, adanya gigi tonggos itu secara tak langsung membentuk cara Rami berbicara dan membuatnya mirip dengan Freddie. Salah satu yang paling saya ingat justru cara Freddie meletakkan rokok di mulutnya dan caranya merokok. Jika kamu sempat melihat beberapa footage wawancara Freddie ketika ia sedang merokok, kita bisa menyamakan cara Freddie asli dengan Freddie ciptaan Rami.
Freddie Mercury yang dikehidupan nyata adalah keturunan Pakistan dan besar di Inggris memiliki logat bicara yang khas. Rami dengan cukup sukses berhasil menirukan cara bicara dan logat Freddie dengan baik. Terlepas dari bantuan gigi tonggos tersebut.
Tapi ada satu hal yang disayangkan. Sejauh yang saya rasakan selama menonton film tersebut, ciptaan suara Rami tidak berhasil sepenuhnya mengganti bayangan sosok Freddie Mercury. Suara yang Rami ciptakan bisa dibilang samar. Berada di antara suara Rami sendiri, dan sedikit ke arah suara Freddie. Kita masih bicara soal suara ketika Rami berdialog biasa bukan ketika menyanyi. Suara yang Rami ciptakan, mau tak mau harus diakui tidak membawanya lebih dekat dengan sosok Freddie Mercury. Apa masalahnya?
Masih membahas soal suara. Kali ini kita akan sedikit bicara soal part menyanyi. Kita semua tahu, Freddie Mercury memiliki suara yang khas, cakupan nada yang khas, dan mungkin tak ada yang bisa menirukan suaranya. Dalam film ini pun, Rami nampaknya juga tak berhasil menirukan suara Freddie ketika menyanyi. Dari wawancaranya dengan Metro (bukan Metro TV ya, tapi Metro.us), Rami mengatakan bahwa suara nyanyian Freddie yang ada dalam film merupakan penggabungan dari beberapa suara.
“It is an amalgamation of a few voices. But predominantly it is my hope and the hope of everyone that we will hear as much Freddie as possible. I think that is the goal for all of us.”
Dari keterangan Rami di atas, sepertinya memang untuk bagian suara nyanyian Freddie tersebut tim kreatif tak ingin mengambil resiko. Mereka tetap menggunakan suara Freddie yang asli dan beberapa campuran suara yang lain. Terutama ketika adegan menyanyi yang tidak terdokumentasi secara langsung dalam video atau pun rekaman. Jadi, Rami juga tetap menyanyi dalam film ini, tapi tidak sepenuhnya menggunakan suaranya. Hanya pada bagian dialog saja Rami sepenuhnya menggunakan ciptaannya. Apakah itu salah? Dalam sudut pandang “menyelamatkan” film, Rami berlaku sebagai aktor profesional yang tak egois.
Sebenarnya, untuk soal suara, ada beberapa bagian dimana suara Rami terasa jauh dari diri Rami sebagai aktor dan mendekat ke arah Freddie sebagai tokoh. Terutama pada saat adegan di ruang makan bersama keluarga Freddie. Disana cukup terasa perbedaan antara suara Rami dan suara Freddie. Rami berhasil menunjukkan ketebalan suara ciptaannya. Tapi satu hal yang disayangkan untuk soal suara adalah bahwa dalam seluruh film, Rami bisa dibilang tak konsisten menjaga karakter dan warna suara Freddie. Sehingga seolah-olah ciptaan Rami terhadap tokoh Freddie itu lepas-tangkap.
Perhatikan juga suaranya, lalu bandingkan dengan suara Rami dalam video berikut;
Akan terasa dimana perbedaannya dan kenyataan bahwa tone suara 2 orang tersebut terdengar berada di titik yang hampir sama. Mungkin itu yang membuat Rami seolah-olah tak konsisten menjaga suara Freddie. Is that an Excuse?
Setelah suara, kita sekarang membahas soal bahasa tubuh yang diciptakan Rami. Seperti yang sebagian dari kamu tahu, Freddie Mercury memiliki bahasa tubuh yang ikonik dan “aneh”. Jika kita melihat footage wawancaranya, kita mungkin bisa mengatakan bahwa Freddie memiliki taste feminim dalam bahasa tubuhnya karena ia juga seorang gay. Hal itu ditangkap baik oleh Rami dan di-mimesis-kan dengan baik pula oleh aktor yang satu ini. Terutama pada awal-awal kemunculannya, bahkan sebelum pengakuan Freddie ke Mary bahwa ia adalah seorang gay. Gaya feminim itu diciptakan Rami dengan cukup matang sehingga benar-benar menyatu dengan segala respon yang dilakukan oleh Freddie.
Salah satu yang cukup mengambil perhatian adalah cara berjalan Freddie yang diciptakan Rami. Cara berjalan yang ikonik dari Freddie Mercury berhasil Rami ciptakan dengan utuh dan konsisten. Selain caranya berjalan, Rami juga berhasil menirukan gaya panggung Freddie. Usut punya usut ternyata Rami pada bagian itu memiliki semacam movement director, bukan koreografer. Dengan bantuan movement director itu Rami berhasil menirukan gaya panggung Freddie dengan baik. Meskipun adegan menyanyi dalam film ini hampir sepenuhnya di dubbing, tapi Rami tetap berusaha sungguh-sungguh menyanyikan tiap bait lagunya. Meskipun hanya sebatas dubbing, terlihat otot leher Rami menegang setiap kali adegan bernyanyi bersama Queen di atas panggung atau di studio.
Hal yang menarik lainnya adalah cara Rami menemukan bagaimana Freddie merespon pada banyak hal. Salah satunya ketika album Queen berhasil masuk ke pasar US. Di adegan tersebut, Freddie tidak menunjukkan kebahagiaan yang meledak-ledak, tapi justru bermain lebih ke dalam. Permainan emosi itu seolah memang muncul karena pertumbuhan tokoh yang diciptakan Rami. Selain itu, Rami juga berhasil memainkan emosi dengan lihai di adegan yang lain. Seperti pada adegan pengakuan Mary bahwa dirinya hamil, dari mata Freddie terlihat bagaimana hancurnya perasaan Freddie mendengarkan hal tersebut. Tapi lagi-lagi, Rami membuat respon tersebut terasa “sangat Freddie”. Kesedihan itu muncul beberapa detik di matanya, kemudian kepura-puraan lain muncul. Ini yang disebut akting dalam akting. Apa yang dilakukan Rami membuat saya sempat yakin bahwa Freddie dalam kehidupan di luar kamera dan panggungnya memiliki ketabahan hati yang besar dan cara yang “aneh” dalam merespon segala sesuatu. Menarik!
Karakter Freddie yang Rami ciptakan membuat saya berpikir bahwa Freddie Mercury adalah seorang anak gadis baik-baik yang berusaha nakal yang terperangkap dalam tubuh laki-laki. Adegan yang memberikan ruang Rami bermain kedalaman lainnya adalah ketika ia mengakui bahwa dirinya mengidap Aids pada teman satu band nya. Ia semacam “melampaui empati” – seperti yang diucapkan Brecht dalam metode latihannya – dan membuat penonton merasakan hancurnya perasaan Freddie, sementara dia nampak baik-baik saja.
Secara fisik, Rami Malek memang terlihat sangat mirip dengan Freddie Mercury. Terima kasih tentunya pada pe-make up yang berhasil membuat Rami mirip dengan Freddie. Tapi entah ini hanya perasaan saya atau memang beda, terlihat Rami jauh lebih kurus dari Freddie. Tubuh Rami terlihat lebih kecil dari Freddie yang videonya bertebaran di Youtube. Padahal sejatinya Rami lebih tinggi 2cm dari Freddie. Apakah Rami lupa pada detail yang itu?
Rami, Freddie, dan Standar Mimesis yang Terlampau Tinggi
Sebenarnya apa yang diciptakan oleh Rami merupakan satu capaian yang bagus untuk Rami sebagai seorang aktor. Ia, seperti yang sudah saya bilang di atas, berhasil “berusaha meyakinkan” penonton bahwa dia adalah Freddie Mercury. Masih dalam tahap “berusaha meyakinkan”, belum pada tataran “meyakinkan”. Tapi nampaknya ada beberapa kekurangan yang tak bisa disangkal dari permainan Rami.
Ketika film sudah selesai, saya sempat menulis dalam catatan saya “Apa yang menarik dari permainan Rami selain ciptaan fisiknya yang mirip Freddie?” Saya memang berhasil menemukan beberapa hal yang menarik selain ciptaan fisiknya. Tapi kenapa saya merasa bahwa Rami tidak sepenuhnya bisa menggantikan sosok Freddie dalam otak saya ketika menonton film ini. Bahkan saya merasa bahwa di pertengahan film, Rami rasa-rasanya makin tak bisa meyakinkan penonton bahwa ia adalah Freddie Mercury. Apa masalahnya?
Saya sempat berpikir bahwa sosok Freddie Mercury sepertinya terlalu masif untuk Rami. Rami berusaha menciptakan sesuatu yang sangat besar bagi dunia, dimana sampai detik ini videonya masih bisa kita nikmati di Youtube. Terlebih lagi, Freddie Mercury adalah legenda yang sampai sekarang masih mengiang di kepala banyak orang. Rami sepertinya mau tak mau harus mengakui bahwa ia “takluk” dengan sosok Freddie yang terlalu kuat di kepala banyak orang, atau jika rasanya saya terlalu menyamaratakan semua orang, Rami tak berhasil menghilangkan sejenak sosok Freddie Mercury di kepala saya.
Selain itu, rasanya memang standar mimesis di Hollywood sudah sangat tinggi. Setelah menonton film ini saya jadi ingat beberapa film biopic yang si aktor me-mimesis-kan tokohnya. Sebut saja Gary Oldman yang menirukan Churchill, dan Daniel Day-Lewis yang menirukan Lincoln. Dua aktor tersebut sepertinya “secara tak sengaja” memberikan parameter yang sangat tinggi untuk aktor yang berperan dalam sebuah film biopic. Sebenarnya tak tega saya mengatakan ini, tapi harus saya katakan bahwa jika dibandingkan dengan capaian penciptaan mimesis Gary Oldman dan Daniel Day-Lewis, Rami belum sampai pada titik “Bagus”.
Akhirnya saya sedikit banyak bisa menyimpulkan bahwa mungkin memang sosok Freddie Mercury terlalu masif untuk Rami Malek. Sosok Freddie Mercury yang Rami ciptakan nampaknya belum mampu menandingi sosok Freddie Mercury yang asli. Rami mungkin membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk menciptakan tokoh Freddie dan hidup di dalamnya.
Lalu bagaimana dengan orang yang baru pertama kali melihat Freddie Mercury dalam bentuk Rami Malek? Mungkinkah mereka juga akan merasakan hal yang sama seperti yang sudah sering melihat dan mendengarkan Freddie? Jawabannya, bisa jadi orang-orang yang pertama kali melihat Freddie Mercury merasa teryakinkan atas ciptaan Rami Malek. Pasalnya secara permainan emosi dan penciptaan tokoh, Rami bisa dibilang berhasil. Tapi, jangan samakan ia dengan standar mimesis yang diciptakan 2 aktor yang sudah saya sebutkan di atas. Terutama Daniel Day-Lewis yang bahkan berhasil membuat banyak publik sekarang berpikir bahwa suara Lincoln adalah seperti apa yang Daniel Day Lewis ciptakan.
Bukan Rami Malek tak berhasil menciptakan tokoh Freddie, ia cukup berhasil dalam menciptakan tokoh Freddie. Tapi nampaknya bayang-bayang Freddie masih terlalu besar untuk bisa Rami taklukkan. Secara fisik Rami sangat mendekati Freddie, apalagi ketika rambutnya sudah dipotong pendek dan berkumis. Ketika kamera memilih angle long shot, tak terlihat Rami, yang terlihat hanya Freddie. Tapi begitu sudah berada pada angle medium atau bahkan close up, Freddie justru menjadi samar dan Rami malah yang muncul ke permukaan. Seperti sebagian jiwa dalam diri Rami ketika memainkan Freddie masih melenggang. Sehingga membuat saya masih memiliki celah untuk berkata bahwa “Itu Rami, bukan Freddie”.
Lalu bagaimana kesempatan Rami Malek dalam persaingan Oscar tahun depan? Jika melihat permainannya dalam film ini, masuk nominasi sepertinya menjadi capaian yang cukup baik untuk Rami.
Sorry to say Mas Rami, tapi situne kayaknya belum Freddie banget e!