[Acting Review] Kucumbu Tubuh Indahku: Tubuh yang Sukses!

Kucumbu Tubuh Indahku

Film Kucumbu Tubuh Indahku atau yang juga punya judul Memories of My Body ini merupakan salah satu film terbaik Indonesia tahun ini. Film garapan Garin Nugroho ini berhasil mendapatkan banyak sekali penghargaan. Salah satu yang terbaru adalah penghargaan film terbaik dan sutradara terbaik Pilihan Tempo. Film ini memang cukup mencuri perhatian. Begitu juga dengan akting para pemainnya. Secara kualitas keaktoran pada kebanyakan film di Indonesia, film ini punya capaian yang lebih tinggi. Apa yang menarik dari permainan para Aktornya? Dan kenapa capaian kualitas keaktoran di film ini lebih tinggi? Berikut ulasan lengkapnya;

 

Tubuh-tubuh yang Sukses!  

Dalam artikel-artikel review sebelumnya, saya biasanya cenderung menghindari capaian fisiologis para aktornya. Pertama karena memang tidak ada capaian yang cukup menarik, atau yang kedua, tidak ada capaian sama sekali. Jadi grade permainan keaktoran kebanyakan film Indonesia seolah-olah terjebak pada standar “permainan emosi”. Tapi soal fisik yang rasa-rasanya seharusnya lebih mudah dari emosi (karena emosi cenderung abstrak dan fisik lebih terlihat), justru menjadi capaian yang sulit bagi kebanyakan aktor di Indonesia dan mungkin luar negeri. Tapi berbeda dengan film Kucumbu Tubuh Indahku ini. Film yang ceritanya terinspirasi dari perjalanan hidup seorang penari Lengger bernama Rianto ini begitu memperhatikan sisi fisiologis para pemainnya.

Source: Youtube

Film Kucumbu Tubuh Indahku yang rasa-rasanya seperti semi-dokumenter ini dibuka dengan munculnya Rianto yang sedang duduk, melihat ke kamera dan bercerita tentang perjalanannya. Dengan logat Ngapaknya yang kental, Rianto memulai cerita dengan baik. Ia berhasil memecah dinding keempat dan membuat seolah penonton juga ikut terlibat dalam ceritanya. Meski begitu, ada satu yang terasa agak mengganjal. Pada salah satu perpindahan dialog Rianto dari kalimat “…suara gamelan..” ke pikiran yang lain terasa begitu jomplang. Jeda yang seharusnya terisi pikiran yang kental, rasanya kosong sehingga perasaan yang sudah disusun Rianto sejak kalimat pertama tiba-tiba terputus. Jika maksudnya adalah melompat ke perasaan lain, seharusnya ada semacam tangga emosi dalam bentuk laku tubuh kecil, jeda, tarikan nafas, atau yang lain yang menandakan hal tersebut. Tapi dalam adegan awal itu, tidak begitu terasa tangga dan gradasi dari emosi satu ke emosi lainnya.

Tapi soal kemampuan fisik, jangan dipertanyakan. Rianto, sejauh yang saya tahu memang seorang penari asli. Hal tersebut sangat terlihat di tubuhnya. Tubuh Rianto sangat amat kuat dan penuh berisi. Vibra yang dihasilkan dari gerakan tubuhnya sepanjang film Kucumbu Tubuh Indahku, dari mulai kemunculan pertama hingga film selesai, semuanya berisi. Tak ada yang kosong dan sia-sia. Selaras dengan cerita Juno dewasa, yang dimainkan Rianto, bahwa semua gerakan tubuhnya adalah buah dari perjalanan hidupnya. Tak ada kata lain yang paling tepat menggambarkan Rianto selain seorang penari yang matang!

Source: Mubi

Adegan selanjutnya adalah munculnya Juno kecil di depan rumah sederhana yang diperankan oleh Raditya Evandra. Dalam permainannya sebagai Juno kecil, Evan juga berhasil mencuri perhatian. Bukan dari capaian fisiknya, tapi dari bagaimana Evan bisa mengolah emosi tokoh dengan sangat baik. Di luar apakah itu memang kemampuan Evan atau arahan sutradara dan acting coach, Evan bermain sangat baik. Juno kecil tak memiliki banyak dialog. Tapi dengan dialog yang tidak terlalu banyak itu Evan bermain dengan perangkat yang lain. Satu perangkat permainan Evan yang mencuri perhatian dan membuat banyak penonton terkesima adalah matanya. Mata Juno seperti selalu berisi. Matanya seperti mata yang dibaliknya penuh dengan gejolak.

Selain itu Evan juga menjadi aktor yang mendengarkan dengan baik. Ia bisa dengan baik mendengarkan dialog lawan mainnya dan meresponnya dengan bahasa tubuh kecil yang juga menarik. Hal yang membuat responnya menarik adalah karena respon tersebut seolah muncul karena perjalanan pikiran yang sungguh-sungguh ketika mendengarkan lawan mainnya. Matanya yang kuat juga cukup awas dengan semua laku lawan mainnya. Kekuatan yang menarik dari permainan seorang anak kecil yang mungkin tidak mengenal Stanislavsky atau Suyatna Anirun.     

Sekitar hampir setengah film Evan memerankan Juno kecil. Hingga akhirnya Juno beranjak remaja dan kemudian diperankan oleh Muhammad Khan. Khan adalah pemain yang terbilang baru di dunia perfilman. Mungkin bagi sebagian orang yang perhatian pada film indie, pernah melihat Khan di film Padhajayanya karya BW Purbanegara. Jika memperhatikan permainan Khan di film tersebut maka dalam film Kucumbu Tubuh Indahku Khan punya capaian fisik yang menarik. Salah satu yang paling terlihat di menit pertama kemunculannya adalah caranya berjalan. Dalam sebuah adegan mengukur baju Randy Pangalila, Khan terlihat begitu feminim.

Selain cara berjalan, cara memandang, cara tersenyum, bagaimana pundak dan tangannya bergerak, semuanya terasa berubah menjadi lebih feminim. Tapi nampaknya perubahan itu tak begitu konsisten di sepanjang film. Misalnya pada adegan ketika ia mengantarkan baju pada Randy Pangalila, angle yang dipilih adalah long shot. Dari angle semacam itu terlihat cara berjalan Khan terasa berubah dan tidak sefeminim yang pertama. Caranya berjalan lebih condong ke seorang laki-laki garang. Kenapa itu begitu terlihat? Karena dari bagian torso (perut hingga pundak) masih terlihat feminim. Pada beberapa adegan yang long shot dan ketika dia berjalan bersama Randy di samping sawah juga terlihat cara jalan yang tidak begitu konsisten. Tapi karena kemunculannya hanya sebentar, cara jalan yang berubah itu tak memberi pengaruh pada permainannya secara keseluruhan. Tubuh Juno ciptaan Khan masih menjadi tubuh yang sukses!

Source: Youtube

Masih membahas soal capaian fisik tokoh Juno remaja, kali ini bagian tangan Khan ketika menaruh peniti terlihat mirip dengan Rianto. Setiap jengkal tubuh Khan sepertinya sangat diperhatikan betul. Tapi ada yang mengganjal. Di awal cerita, Rianto kurang lebih memperkenalkan dirinya sebagai Juno. Sehingga yang terlintas di pikiran saya sebagai penonton adalah bahwa Rianto merupakan Juno dewasa dan Evan serta Khan adalah perjalanan dari Juno dewasa itu. Tapi sayang, di luar soal capaian fisik yang menarik itu, ada beberapa kejanggalan. Pertama, film ini rasanya seperti dokumenter dan sedikit biopic, dimana tokoh sungguhannya ada. Meski fisik berubah, tapi beberapa bagian fisik yang lain tidak mendekat pada Rianto. Misalnya soal bentuk mulut, cara Rianto membuka mulutnya, dan caranya melihat berbeda jauh dari apa yang dilakukan Khan.

Bukan hanya itu, di awal cerita setelah kemunculan Rianto sedikit banyak terbayang bagaimana suara Juno remaja akan berusaha sedekat mungkin dengan Juno dewasa. Nyatanya, Khan, yang secara fisiologis tokohnya lebih dekat beberapa tahun dengan Juno dewasa, warna suaranya jauh berbeda dengan Rianto. Bukan hanya itu, soal logat yang dipakai pun berbeda jauh dari Rianto sendiri. Rianto punya logat Ngapak yang sangat kental, sementara aksen Ngapak sedikit pun tidak muncul dalam dialog Khan. Jika apologinya adalah bahwa film Kucumbu Tubuh Indahku ini hanya terinspirasi dari kisah Rianto, maka seharusnya tidak ada pengantar yang membawa penonton berpikir bahwa Evan dan Khan adalah Rianto masa kecil dan remaja.

Ada satu lagi laku tokoh yang menarik perhatian. Tokoh itu adalah tokoh preman yang diperankan oleh Alex Suhendra. Dalam permainan tokohnya, ia memilih laku yang menarik. Laku tersebut adalah laku dimana ia membunyikan giginya dengan nada-nada tertentu yang sangat mencuri perhatian. Tapi tentang bagaimana sejarah laku itu bisa terbentuk dalam tokoh tersebut, tidak ada tanda yang menjelaskan. Tapi meski seolah tak ada halaman nol yang kuat dari laku tersebut, lakunya tetap tidak terkesan artifisal atau dibuat-buat. Laku tersebut terasa tepat dengan tokoh preman itu.  

 

Emosi yang Matang!

Cukup rasanya bicara soal capaian fisik. Secara garis besar capaian fisik tiap tokoh dalam film Kucumbu Tubuh Indahku menarik. Mereka masing-masing punya kekuatan pada tiap tokohnya. Tak semuanya memberikan perubahan fisik dari dirinya sebagai aktor dan dirinya sebagai tokoh. Tapi masing-masing dari mereka menggunakan kekuatan fisiknya dengan baik. Selanjutnya kita akan coba membahas tentang capaian emosi tiap tokohnya.

Sama seperti capaian fisiknya. Capaian emosi dalam permainan tiap aktornya sangat baik. Seperti yang terjadi pada Evan, emosi-emosinya yang dalam dan tidak ditunjukkan dengan banyak dialog, berhasil diejawantahkan dalam pandangan mata yang kuat. Selain itu emosinya juga muncul dengan sangat baik. Bentuk emosi itu seperti emosi yang tidak punya niat untuk memamerkan cara mengolah emosi, tapi sungguh-sungguh memunculkan emosi karena motivasi yang jelas dan utuh.

Source: Hollywood Reporter

Adegan menarik lainnya yang berkenaan dengan emosi adalah adegan dimana Juno melihat sang Pak Dhe meninggal dunia. Dalam adegan tersebut, caranya menyusun emosi mengingatkan saya pada kediaman Juno kecil. Juno seolah memang dari kecil sudah tumbuh sebagai pribadi yang tidak ekspresif. Bahkan ketika hal terburuk terjadi padanya. Hal itu tergambar jelas ketika adegan meninggalnya si Pak Dhe yang dimainkan Fajar Suharno. Tangga emosi yang muncul terasa pelan tapi tajam. Ujungnya pun bukan sebuah ledakan emosi besar, tapi kedalaman emosi yang juga tidak dibuat-buat. Karena tangga emosi yang jelas itu getarannya berhasil keluar dan bisa sampai ke penonton dengan tepat dan baik.

Permainan emosi yang menarik lainnya ada pada adegan Juno remaja ketika ia melihat pertarungan Warok yang diperankan Whani Dharmawan dengan seorang lelaki di tengah ladang jagung. Dalam pertarungan itu darah muncul dimana-mana. Juno kemudian terlihat sedikit flashback pada masa lalunya. Hingga akhirnya ia berlari dan mengamuk di dalam kolam. Dalam adegan itu, meski tak terlihat sangat jelas tangga ingatan Juno ke pikiran bahwa “Aku ini bawa sial! Setiap orang yang dekat denganku selalu berakhir sial! Darah dimana-mana” atau dialog sejenis itu, ledakan emosi Juno masih cukup terasa besar meski tidak dalam.

 

Secara garis besar, permainan para aktor dalam film Kucumbu Tubuh Indahku ini sangat menarik. Dalam soal aspek 3 dimensi tokoh, semua diperhatikan betul penciptaannya. Meskipun ada beberapa bagian yang rasanya janggal, tidak konsisten atau akting-akting yang tipikal. Tapi hal tersebut tidak begitu mempengaruhi garis besar kualitas permainan para aktornya.

 

Demikian acting review Kucumbu Tubuh Indahku. Semoga bermanfaat! Viva Aktor!

 

About The Author