Lovely Man; Soal Permainan yang Saling Menguatkan
Berawal dari film pendek, yang lalu kata beberapa castnya lebih cocok dijadikan film panjang, maka jadilah Lovely Man. Sepanjang sejarah perhelatan Asian Film Award, Lovely Man adalah satu-satunya film dari Indonesia yang pemainnya berhasil meraih penghargaan aktor terbaik. Raihan itu didapatkan pada perhelatan Asian Film Award yang ke 6. Sebelum dan setelah itu tidak ada lagi aktor Indonesia yang meraih Best Actor atau bahkan masuk nominasi di kategori Best Actor Asian Film Award. Pertanyaannya sekarang, kenapa Donny Damara bisa mendapatkan sekian banyak penghargaan di permainannya sebagai Ipuy? Apakah ia bermain sebagus itu? Atau ini karena konten yang dibawakannya? Atau kenapa? Mari kita ulas tuntas!
Capaian Personal di Lovely Man
Pertama kita tentu harus membahas capaian personal masing-masing pemain. Kami akan fokuskan pada dua orang, yakni Raihaanun dan Donny Damara. Kita akan bahas capaian Donny Damara terlebih dahulu.
Jujur saja, awalnya kami menduga tidak akan membahas secara mendalam soal capaian yang berhubungan dengan dimensi fisiologis. Mengingat capaian pada aspek fisiologis jadi semacam kebiasaan aktor dan aktris Indonesia untuk tidak terlalu dipikirkan yang sampai sekarang, kami masih belum tahu pasti apa alasannya. Apakah karena waktu lagi, atau kenapa? Padahal seharusnya bisa dipahami kalau fisik adalah kulit terluar dari karakter. Kalau fisik tidak diubah, maka bisa dipastikan cara-cara menunjukkan emosi tokoh juga tidak akan berubah.
Bayangkan saja begini; tubuh tokoh adalah botol. Lalu jiwanya, atau emosi, atau kamu bisa menyebutnya apapun, adalah airnya. Jika botolnya tidak diubah, apakah isi airnya akan berubah? Caramu membawa botol tersebut berubah? Bahkan lebih spesifik, apakah caramu meminum air di botol tersebut berubah? Bisa dipastikan tidak. Tapi jika botolnya berubah, maka secara otomatis bentuk airnya akan mengikuti botol. Cara memperlakukan botol tersebut juga pasti akan ikutan berubah. Katanya akting itu berperan menjadi seseorang yang bukan diri kita? Itu kan yang dipahami oleh hampir semua aktor. Atau bukan? Lalu kalau bukan diri kita, kenapa bentuk fisik yang dipakai masih bentuk fisik kita?
Anyway, kembali ke permainan Donny Damara di Lovely Man. Kami yang awalnya skeptis pada capaian fisiologis, ketika melihat film ini jadi berpikir ulang untuk membahas capaian fisiologis dari Donny Damara. Kami lupa bahwa secara karakter, Ipuy atau Saiful versi waria adalah tokoh yang benar-benar lain dari Donny Damara. Maka secara otomatis, jika Donny tidak mengubah aspek fisiologisnya, maka tidak akan ada capaian yang bisa dinikmati. Kondisi yang dialami Donny dalam Lovely Man jadi sebuah keniscayaan bahwa mau tidak mau ia harus mengubah banyak aspek fisiologisnya (meskipun seharusnya pada semua karakter juga begitu, tapi sepertinya karakter waria lebih punya alasan kuat dan logis).
Lalu bagaimana capaian Donny Damara ketika ia menjadi Ipuy? Pertama soal suara. Sebelum kami menjelaskan lebih lanjut, coba lihat trailer Lovely Man ini;
Setelah itu silahkan bandingkan dengan suara Donny Damara yang asli di video ini;
Apakah kamu bisa mendengarkan perbedaannya? Sejauh pendengaran kami, suara Ipuy dan Donny Damara berbeda. Suara Ipuy terdengar lebih tipis, kecil, dan feminim. Sementara suara Donny Damara sebaliknya. Suaranya terdengar sedikit maskulin, agak serak, dan sedikit lebih tebal. Kami rasa tipis tebalnya suara Donny terpengaruh pada bentuk mulutnya ketika berbicara. Intinya, warna suara Donny ketika menjadi Ipuy berubah.
Lalu jika kita berbicara lebih lanjut soal tebal dan tipisnya suara Donny dan Ipuy, yang kami bilang dipengaruhi oleh bentuk mulutnya ketika bicara, coba baca artikel kami tentang Analisa Suara yang Sering Terlupa. Disana kami mengatakan kalau suara itu dipengaruhi oleh bentuk fisik. Salah satunya bentuk mulut. Kami rasa suara Donny dan Ipuy terdengar agak sama pada tebal dan tipisnya karena tidak ada perubahan bentuk mulut yang terlihat. Coba perhatikan baik-baik. Bentuk mulut Ipuy dan Donny Damara sama. Sama-sama tipis, dan ketika bicara bukaan mulutnya tidak terlalu besar. Coba jika sekarang Ipuy misalnya, bicara dengan lebih membuka mulutnya. Kami rasa warna suaranya akan ikutan berubah.
Kami pikir yang berhasil membuat suara Ipuy berbeda dari suara Donny Damara adalah letak resonansi suara mereka. Kami merasa Ipuy letak resonansinya ada di areal pangkal lidah hingga di bawah hidung. Sementara, sejauh pendengaran kami, letak resonansi suara Donny Damara ada di bagian leher agak turun ke bawah. Sekitar di bawah jakun. Letak resonansi itu yang membuat suara keduanya berbeda.
Selain warna suara yang berbeda, cara Ipuy bicara juga berbeda dengan cara Donny Damara bicara. Ingat dengan apa yang kami bilang kalau suara Ipuy terdengar lebih feminim. Kami rasa efek feminim itu ada di nada bicaranya. Jika di dengarkan baik-baik, nada bicara Ipuy cenderung agak tinggi. Lebih lanjut tempo bicaranya agak cepat dan diseret. Kami rasa tempo yang agak cepat dan diseret itu berhasil membawa kesan feminim “yang dipaksa” (dalam arti yang bagus) pada suara Ipuy.
Setelah pada warna suara yang cukup berbeda ketika ia menjadi Ipuy, kami sebenarnya berharap warna suara yang juga berbeda ketika ia menjadi Saiful. Nyatanya tidak sepenuhnya. Kami memang menemukan sedikit sisa warna suara Ipuy. Tapi kami mendapati warna suara Donny Damara yang muncul dominan lagi. Kami mengetahui itu di adegan ketika ia telepon istrinya dan mendengarkan dimana letak resonansi suaranya. Kami rasa letak resonansi suaranya saat menjadi Saiful kembali ke letak resonansi yang sama dengan Donny Damara di kehidupan di luar film. Sayang sekali. Padahal jika suara Saiful berubah juga, tidak sama seperti suara Donny Damara di luar film, capaian aspek suaranya akan sangat menarik.
Lalu berlanjut pada laku tubuh. Sesuai dengan harapan kami, ketika ia menjadi waria, laku tubuhnya banyak yang berubah dan itu menarik. Perhatikan di adegan ketika Ipuy dan Cahaya makan bersama di warung padang. Di adegan tersebut kami melihat cara Ipuy memainkan tangan berbeda dengan cara Donny memainkan tangan di beberapa film dimana ia berperan sebagai laki-laki dan di kehidupan nyata. Caranya memainkan tangan terlihat lebih feminim dengan banyak memperlihatkan punggung tangannya saat melakukan laku-laku tangan.
Perhatikan juga caranya memainkan leher yang berhubungan dengan caranya memainkan areal wajah termasuk dagu. Pada hampir banyak momen, ia terlihat lebih sering mendongak ke atas bahkan ketika sedang melihat kuku tangannya. Sekali lagi, laku tubuh itu berbeda dengan laku tubuh Donny Damara di film-film sebelumnya serta di kehidupan nyata.
Ketika Saiful menjadi Ipuy, laku tubuhnya sudah jelas berubah drastis. Dari caranya berjalan, duduk, melihat, dan laku tubuh kecil lainnya juga ikutan berubah. Dimana kami melihatnya sebagai upaya untuk terlihat feminim. Hal itu tentu relevan dengan tokohnya yang seorang waria.
Lalu bagaimana dengan permainan emosi? Kami tak sama terpukaunya dengan saat melihat capaian fisiologis. Kami justru kesulitan membaca capaian emosi Saiful dan Ipuy. Kami bahkan hampir merasa kalau semua emosi yang dilakukan oleh Ipuy hampir artifisial. Beberapa respon kami rasa terlalu cepat dan sedikit terlalu lambat. Jika kita memahami prinsip beat dimana setiap detik bisa menjadi motivasi si karakter berlaku, maka ada beberapa momen dimana responnya terlalu lambat sepersekian detik. Misalnya ketika Ipuy makan bersama Cahaya dan Cahaya mengatakan kalau ia tak lanjut kuliah karena tak punya biaya. Kami rasa Ipuy seharusnya mulai menjalankan respon marahnya saat Cahaya bilang “biaya” bukan ketika Cahaya bilang “Kuliah”. Kami merasa kalau inti motivasi laku Ipuy ada di kata “biaya”, bukan “kuliah”. Tapi yang kami lihat, Ipuy baru merespon saat kata “kuliah” keluar. Bukankah Ipuy sangat sensitif soal biaya membiayai? Kan dari awal hingga menjelang akhir, biaya dan tanggung jawab soal finansial melulu yang dibahas oleh Ipuy.
Lalu pada adegan ketika Ipuy dan Cahaya mampir sebentar di warung kelontong dan Ipuy minta rokok filter. Kami rasa disana responnya terlalu cepat. Pada beberapa bagian Donny Damara terlihat seperti tidak sangat mendengarkan kawan mainnya bicara. Itu kenapa kami bilang pada permainan emosi Donny Damara mendekati artifisial di beberapa bagian. Terasa sekedar tempel saja emosinya. Tidak hidup dan berjalan beriringan dengan pikiran dan perasaan si karakter. Kalau kata Stanislavski, tidak here and now. Ini terlepas dari teknis dubbing di film tersebut ya? Yang menurut kami pada beberapa adegan terlihat berantakan.
Masih soal emosi, kami merasa kalau pada beberapa adegan yang seharusnya memiliki vibra emosi yang kuat pada Ipuy, malah tidak muncul. Vibranya tipis sekali. Bahkan ketika ia selesai dihajar, lalu pulang ke rumah dan mandi. Di adegan mandi itu kami hampir tidak merasakan vibra sama sekali. Kami tak tahu apa yang dirasakan si karakter. Kami mengulang adegan itu beberapa kali untuk meyakinkan apakah benar bahwa kami tidak merasakannya atau kami kurang jeli membaca adegan tersebut. Nyatanya, kami tetap tak mendapatkan vibra yang sangat kuat di adegan itu.
Lalu bagaimana dengan Raihaanun? Kami tak bisa berkata banyak. Pertama tak ada perubahan suara. Pada aspek suara yang paling terlihat berubah adalah tempo bicara si karakter. Kalau kami melihat dalam capaian fisiologis, maka tidak sangat signifikan. Justru pada pembawaan dan permainan Raihaanun yang menurut kami sangat sederhana yang membuat permainannya patut diacungi jempol meskipun tidak mendapatkan penghargaan sebanyak Donny Damara.
Terutama soal vibra. Raihaanun memiliki vibra yang jauh lebih kuat dari pada Donny Damara. Kami tak tahu apakah itu karena muatan emosi yang dibawa si karakter, atau karena hal lain. Tapi kalau soal muatan emosi, bukankah Ipuy juga memiliki gejolak yang sama besar dan sama kompleksnya dengan Cahaya? Kami pikir hal itu terjadi karena Raihaanun membawakannya secara sederhana, sehingga getaran emosi yang dalam dan kompleks bisa muncul dengan kuat.
Permainan yang Saling Menguatkan
Kami kemudian mencari alasan kenapa permainan Donny Damara menjadi sangat kuat. Pada akhir film kami menemukan jawabannya. Sepertinya itu ada pada ansambel Raihaanun dan Donny yang sama-sama saling menguatkan. Sebelum membahas soal ansambel, jika kamu perhatikan baik-baik, kedua tokoh ini sangat bertolak belakang. Kami pikir hal itu menguntungkan karena peristiwa yang hadir jadi dinamis. Tak terbayang kalau tokoh Cahaya sama seperti bapaknya. Mungkin akan sangat membosankan dari awal sampai akhir.
Selain soal tokohnya yang bertolak belakang, kami rasa kunci kuatnya permainan keduanya adalah karena Raihaanun berhasil menjadi partner yang baik untuk Donny begitu juga sebaliknya. Mereka berdua bermain sesuai porsi dan sama-sama saling memberi tak menunggu untuk menerima. Coba perhatikan baik-baik, jika Raihaanun tidak memberikan semua emosi dan perhatiannya pada si bapak, maka permainan Donny Damara tidak akan menarik. Beruntung jugalah Donny menerima semua pemberian Raihaanun sehingga akhirnya permainan keduanya tidak saling bertepuk sebelah tangan.
Permainan Donny Damara dan Raihaanun menjadi pengingat kalau ketika kita bermain ansambel, tak perlu sama sekali berusaha lebih menonjol dari kawan mainmu dan tidak perlu menunggu untuk diberi. Setiap aktor punya tanggung jawab memberi, entah sebesar apapun balasan yang nantinya akan didapatkan. Selain itu setiap aktor juga punya tanggung jawab untuk bermain sesuai porsi dan memahami posisi karakternya. Jika ia bermain lebih dari porsi si karakter, maka tamatlah riwayat permainannya. Ia tidak akan dianggap bagus, justru sebaliknya.
Lalu pertanyaannya, apakah karena kualitas permainan atau konten transgender yang dibawakan Donny sehingga ia berhasil mendapatkan Asian Film Award? Kami rasa separuh-separuh. Kita tak bisa memungkiri capaian Donny Damara. Tapi kami rasa kalau isu yang dibawakan bukan transgender, Asian Film Award mungkin tidak akan melirik.
Itu menurut kami. Film Lovely Man masih bisa kalian tonton di Netflix. Menurut kalian bagaimana permainan Donny dan Raihaanun? Coba tulis di kolom komentar!
Terima kasih, viva aktor!