Analisa Suara yang Sering Terlupa

“What is Acting? Voice. Voice, voice” Stella Adler di The Art of Acting, (Adler, 2000:17)
Dalam banyak, maaf, bukan hanya banyak, tapi hampir semua Acting Review yang kami tulis, suara selalu menjadi perhatian utama kami. Kenapa? Bukan hanya karena kata Stella Adler di atas, atau juga kata Tommaso Salvini yang dikutip Stanislavski di beberapa bukunya, tapi karena menurut kami, suara adalah aspek yang paling mudah terlihat tapi paling sulit diciptakan. Lalu sayangnya, juga paling jarang diciptakan. Bukan hanya oleh aktor-aktor Indonesia, tapi bahkan pada beberapa aktor Hollywood. Pertanyaannya adalah kenapa? Tidak melakukan analisa suara? Atau kenapa?
Apa yang membuat suara sangat jarang diciptakan? Apakah karena terlalu sulit menciptakan suara? Atau karena tidak sadar bahwa suara juga harus diciptakan? Atau karena tidak mampu menciptakan suara sehingga kemudian memilih untuk membiarkan suara tak tercipta? Atau seperti yang kami bilang di atas, tidak melakukan analisa suara? Apapun alasannya, bukankah seharusnya, dalam capaian seni peran yang ideal, yang katanya harus detail, dari ujung kepala sampai ujung kaki, menciptakan setiap aspek, dan menjadi “manusia baru”, seharusnya suara tetap diciptakan?
Pertanyaan itu hadir bertahun-tahun dalam kepala kami. Kami tak tinggal diam. Kami tak hanya bertanya, tapi juga berusaha mencari jawabannya. Kami pun menemukan alasan utama kenapa suara jarang diciptakan. Sejauh ini kami bisa berkata bahwa alasan utama suara tidak diciptakan adalah karena para aktor itu mungkin tidak tahu bagaimana cara menciptakan warna suara. Di artikel ini kami akan membahas salah satu dasar yang seharusnya dipikirkan oleh banyak aktor soal upaya menciptakan suara.
Apa yang Menyusun Suara?
Apakah pertanyaan ini pernah terlintas di kepalamu? Apa sebenarnya yang menyusun suara? Apa yang membuat suara bisa muncul dengan bentuk-bentuk tertentu? Kalau kamu belum pernah menanyakan hal ini, mungkin sekarang waktunya. Jika sudah, maka apa jawabanmu? Kalau kami mendapatkan sebuah jawaban sederhana soal apa yang menyusun suara.
Nafas
Bagi kami, hal pertama yang menyusun suara dan bahkan menjadi dasar dari suara itu sendiri adalah nafas. Kenapa nafas? Sejauh yang kami sadari dan pelajari, nafas adalah bahan bakar utama dari suara. Bahkan bukan hanya suara, tapi juga tubuh. Ketika kamu tidak bernafas, maka secara otomatis kamu tidak akan bersuara. Kalau tak percaya coba saja. Silahkan bersuara, tapi tetap menahan nafas. Lalu letakkan tangan kalian di depan mulut. Hampir bisa dipastikan akan terasa udara yang menyentuh telapak tanganmu. Sebesar atau sekecil apapun kuantitas udara yang menyentuh tanganmu itu, tetap ada udara.
Mari kita bayangkan perangkat suara manusia itu seperti suling atau alat musik tiup lainnya. Apakah alat musik tiup itu akan bersuara jika tidak diberikan udara? Tentu tidak. Ia harus dirangsang udara agar memunculkan suara. Maka yang membuat alat musik itu hidup dan berbunyi adalah udara. Atau dalam sudut pandang tubuh manusia adalah nafas. Maka nafas adalah aspek pertama yang menyusun suara manusia.
Karena itu latihan nafas sangat penting. Bukan hanya untuk melatih stamina nafasmu, tapi juga untuk mengenali bagaimana caramu bernafas. Sekali lagi kami percaya, setiap orang punya cara bernafasnya masing-masing. Cara bernafas ini unik, dan aktor bertugas menciptakan cara bernafas ini untuk kemudian mampu mengubah suaranya. Analisa suara yang kamu miliki untuk tahu bagaimana caramu bernafas.
Resonansi
Sekarang cobalah untuk bersuara, berbicara apapun. Lalu coba rasakan apa yang terjadi di tubuhmu. Pasti akan muncul getaran di bagian tertentu. Kami pikir ini niscaya dan medis. Setiap kali kamu bersuara, maka tubuhmu akan bergetar, atau dalam bahasa yang sedikit rumit, beresonansi. Resonansi atau getaran itu merupakan hasil dari perangkat tubuh yang bersinggungan dengan udara atau nafas yang keluar.
Dalam sudut pandang kami, sejauh yang kami cari, setiap manusia memiliki titik resonansi yang berbeda-beda. Maksudnya adalah titik resonansi yang dominan. Ketika kamu mengeluarkan suara, hampir seluruh tubuhmu pasti akan bergetar. Tapi setiap orang punya titik getaran dominan yang berbeda. Ada yang titik resonansi dominannya di dada, leher, belakang kepala, di atas rongga mulut, dan beberapa titik lainnya. Titik resonansi dominan itulah yang menurut kami membedakan suara setiap orang.
Menurut kami titik resonansi dominan itu unik. Setiap orang memiliki titik resonansi dominan yang pasti berbeda dan itulah yang membuat suara setiap orang, siapapun itu, bahkan ketika ia kembar, akan berbeda. Pertanyaannya sekarang, apakah kamu tahu dimana titik resonansi dominanmu? Atau pernahkah kamu menyadarinya?
Resonansi ini jugalah yang menurut kami menjadi salah satu aspek yang menyusun suara. Resonansi dominan ini terbentuk dari kondisi fisik yang kalau ingin mengetahui alasan lebih rigidnya, kami harus melakukan penelitian medis yang mendalam. Tapi untuk sementara ini, kami masih percaya bahwa resonansi adalah aspek kedua yang membentuk suara. Ketika kamu mampu mengubah titik resonansi dominanmu ke area yang lain, maka secara otomatis warna suaramu akan berubah.
Bentuk Fisik
Ketiga, sekaligus yang terakhir adalah bentuk fisik. Bentuk fisik ini termasuk bentuk torso, pundak, hingga mulut, areal di dalam mulut, sampai lidah. Atau, untuk mempermudah, fisik disini artinya area-area yang menjadi jalur lewatnya udara.
Sekarang kembali bayangkan bahwa jalur lewatnya udara atau proses terjadinya suara itu seperti alat musik tiup. Ketika alat musik tiupnya berbeda bentuk, maka ia akan memiliki warna suara yang berbeda? Benar begitu? Kalau tidak, tentu saxophone dan terompet akan punya warna suara yang sama. Tapi nyatanya, mereka punya warna suara yang berbeda padahal sama-sama alat musik tiup.
Maka, kami kemudian mendapatkan kesimpulan sementara kalau bentuk fisik adalah aspek ketiga sekaligus yang paling terlihat di dalam suara. Ketika kamu mengubah bentuk tubuhmu, maka secara otomatis warna suaramu akan berubah. Entah drastis atau tidak. Jika ingin lebih drastis lagi perubahannya, maka mari kita fokus pada areal mulut dimana di dalamnya ada gigi, lidah, rahang dan bibir.
Bayangkan kalau areal mulut itu sama seperti lubang-lubang di dalam suling. Ketika kamu menekan lubang tertentu, ia akan memunculkan warna suara yang berbeda. Mulut pun sama. Ketika kamu mengubah bentuk lidah atau bentuk mulut, maka secara otomatis kamu akan mampu mengubah warna suaramu. Bukan hanya mulut dan lidah, coba kamu katupkan kedua gigimu dan bicaralah. Hampir bisa dipastikan warna suaramu akan berubah.
Begitu juga dengan lidah. Ketika kamu mengubah satu bentuk pengucapan huruf konsonan. Misalnya kamu mengubah pengucapan huruf D, dimana sebelumnya kamu terbiasa mengucapkan huruf D dengan lidah menempel di langit-langit atas tengah mulut, sekarang ubah menjadi selalu menempel ke gigi depan bagian atas pada pengucapan huruf D. Bentuk itu akan mengubah caramu mengucapkan huruf D, sedikit mengubah warna suara, dan mengubah pengucapan beberapa huruf yang lain. Kami pikir itu sebuah keniscayaan.
Tiga aspek itulah yang menurut kami menyusun suara. Lalu setelah mengetahui apa yang menyusun suara, maka kita akan berlanjut pada poin yang sepertinya menjadi alasan banyak aktor tidak menciptakan suara.
Apalagi Kalau Bukan Analisa Suara yang Terlupa?
Kunci dari penciptaan suara yang selanjutnya adalah pengetahuan atas warna suara sendiri serta bagaimana suaramu bisa tercipta. Jika kita melihat dari 3 aspek yang sudah disampaikan di atas, maka yang perlu kamu tahu adalah bagaimana caramu bernafas, dimana letak resonansi dominanmu, dan terakhir adalah bagaimana bentuk fisikmu. Sudah melakukan analisa suara kalian sendiri? Jauh sebelum kamu mulai melakukan analisa suara karakter, menurut kami, kamu harus melakukan analisa suara yang kamu miliki. Kamu harus tahu bagaimana suaramu terbentuk dan bagaimana bentuk suaramu.
Kenapa ini penting? Ingat dengan metode isolasi diri yang dalam suara akan kita sebut sebagai isolasi suara. Isolasi suara itu seperti mengurung sementara suara kita dan menggantinya dengan suara karakter. Pertanyaannya, bagaimana kamu bisa mengurung suaramu kalau kamu sendiri tidak tahu bagaimana warna suaramu. Apa yang membuat warna suaramu seperti itu, dimana titik dominan resonansimu, hingga bagaimana bentuk mulut, bibir, lidah, rahang, serta gigimu ketika sedang bersuara?
Didi Petet dalam buku “Buku Actingnya Didi Petet” mengatakan bahwa aktor harus punya kontrol yang baik. Menurut kami bukan hanya punya kontrol yang baik, tapi juga tahu mana yang harus dikontrol. Kamu tidak akan bisa disebut punya kontrol yang baik kalau kamu tidak tahu apa yang harus kamu kontrol. Iya kan?
Kami pikir analisa suara sendiri inilah yang menjadi persoalan banyak aktor. Mereka tidak tahu bagaimana suara mereka muncul. Sehingga mereka tidak tahu apa yang harus dikendalikan atau dikurung sementara. Selanjutnya mereka lebih tidak tahu lagi soal bagaimana menciptakan warna suara karena mereka tidak tahu bagaimana suara bisa bekerja.
Kembali ke tiga aspek yang kami sebutkan di atas. Ketika kamu ingin mengubah warna suara, maka kamu bisa mengubah cara bernafasmu, mengubah titik resonansi dominanmu, atau mengubah bentuk fisikmu. Ketiganya bisa kamu lakukan. Pun kalau seandainya mengubah ketiganya terlalu sulit, kamu mengubah satu aspek saja, maka aspek yang lain akan ikutan berubah. Ketiga aspek yang kami sebutkan di atas itu sama seperti tiga dimensi tokoh. Mereka saling berkesinambungan satu sama lain.
Jadi, kenapa tidak bisa mengubah warna suara hai para aktor? Kenapa jarang mengubah warna suara karakter? Tidak penting? Atau tidak bisa? Atau menurutmu warna suaramu mirip dengan warna suara karakter? Yakin? Sudahkah dianalisa secara detail pada tiap karakter yang kamu mainkan?
Sedikit tambahan, tiga aspek yang membentuk suara itu terbentuk dari tiga dimensi tokoh. Jadi kalau kamu ingin menemukan warna suara tokoh melalui tiga aspek suara tersebut, maka temukan terlebih dahulu tiga dimensi tokohnya. Pun begitu dengan warna suaramu sendiri. Kamu tidak boleh hanya menemukan titik resonansi dominannya saja, tapi juga menemukan alasan kenapa titik resonansi dominanmu ada disana. Begitu juga dengan bentuk fisik, kamu harus tahu alasan kenapa bentuk fisikmu ketika bersuara seperti itu.
Apa yang kami tulis di atas adalah hasil penelitian dan kesadaran yang kami jalani setiap hari. Tentu akan berubah seiring berjalannya waktu, karena kami tumbuh.