[Acting Review] Perburuan; Sayangnya, Janggal
Sebelum membaca acting review ini, pastikan kamu sudah menonton filmnya ya! Karena acting review ini sangat spoiling. Terakhir kami cek, film Perburuan sudah tidak ada baik itu XXI, CGV, atau Cinemaxx. Sepertinya film ini tidak selaris dan seberhasil saudara satu rahimnya, Bumi Manusia. Tapi kenapa? Karena soal promosinya? Atau soal lain? Entahlah, kami tidak ingin membahas hal itu. Bukan ranah yang kami pahami.
Dalam artikel ini, seperti judulnya kita akan membahas bagaimana permainan para aktor Perburuan. Apakah Adipati bermain sesuai kualitasnya? Apakah Ayushita juga bermain sesuai kualitasnya? Atau… sebaliknya? Berikut pembahasan lengkapnya.
Perburuan, Adipati, dan Intens
Siapa sih yang meragukan permainan Adipati? Ia sempat masuk nominasi aktor terbaik FFI tahun lalu. Ia juga sempat mendapatkan penghargaan FFI sebagai pemeran pendukung pria terbaik tahun 2013 lalu. Jadi, soal kualitas, Adipati pasti tidak akan mengecewakan, kan? Tapi sayangnya, tidak sepenuhnya begitu. Adipati hampir mengecewakan, tapi kesalahan tidak sepenuhnya ada padanya. Mari kita bedah satu persatu.
Pertama, dari apa yang kami lihat dan kami dengar dulu. Dari capaian fisiologis; suaranya dulu. Warna suaranya tidak banyak berubah, terutama di bagian awal. Kami masih mendengar warna suara yang sama. Tapi bukan tanpa capaian, kami masih bisa mendengarkan kesan yang berbeda dari dialog yang diucapkan Adipati. Pembawaan suara Adipati sebagai Hardo berubah. Kita bisa mendengarkan kesan tenang di satu sisi dan tegas di sisi yang lain.
Lalu soal tubuhnya. Jika kalian melihat sekilas, maka kalian mungkin tidak akan menemukan perbedaan yang signifikan terutama ketika sebelum ia melarikan diri ke gua dan keluar dari gua. Kita akan bahas pertumbuhan karakter itu di paragraf lain. Kembali lagi, coba perhatikan dengan baik, selain soal rambut yang lebih panjang, ada laku-laku tubuh yang memang seperti diperhatikan dengan baik oleh Adipati. Ketika ia menjadi tentara PETA, kami setidaknya menangkap bahasa tubuh tegas khas tentara. Kami melihat punggung yang tegap, pandangan mata yang tajam dan yakin, dan gerak-gerak tubuh “hampir stakato” khas tentara.
Hanya jika kalian melihat dengan detail maka perubahan itu akan nampak. Tapi jika melihat sekilas, tak ada perubahan signifikan. Lalu bagaimana dengan setelah masuk gua? Sebenarnya ada yang janggal, tapi kita bahas dulu keberhasilan Adipati menumbuhkan dimensi tokohnya.
Dari tubuh dan wajahnya, pertama terima kasih pada make up, yang… ya mungkin dalam soal make up kita masih butuh developing yang lebih baik lagi, karena nampak sekali make up yang dipakai adalah make up khas panggung. Make upnya dalam beberapa momen terlihat seperti hairnet yang dipotong kecil-kecil lalu coba ditempelkan dengan menggunakan latex atau lem bulu mata. Cara membuat brewok yang khas panggung teater. Mungkin pemake up nya anak teater? Entahlah. Meski begitu, terlihat bahwa si pemake up sedang berusaha untuk membuat brewok yang dipakai Adipati senyata mungkin.
Oke, dengan brewok yang tumbuh, rambut yang jadi acak-acakan, tidak dikuncir dan gondrong, dan baju yang lusuh serta kotor, “layer pertama” tokoh Hardo berhasil. Kami bisa melihat dengan jelas pertumbuhan pada layer pertamanya. Lalu bagaimana dengan “layer-layer” berikutnya?
Pertama soal pembawaan. Salah satu capaian yang paling menarik dari Adipati Dolken di film ini adalah upayanya untuk membuat tokohnya tumbuh selogis mungkin. Meskipun… nanti kita bahas. Intinya pertumbuhan tokoh Hardo logis dalam sudut pandang tokoh. Adipati berhasil menumbuhkan, bukan hanya laku tubuh yang awalnya “begitu tentara” berubah menjadi lebih “layu” – dalam bahasa kami -. Perubahan juga ada pada pembawaan dialog, cara merespon lingkungan sekitar, dan caranya menjalankan pikiran serta perasaan tokoh. Poin yang juga menarik adalah tokohnya tumbuh dari base atau dasar yang sama. “Sisa-sisa ketentaraannya” masih bisa kami lihat, tapi tidak mendominasi.
Lalu soal permainan emosi, jika boleh kami bilang, seperti di Flash Review Perburuan yang juga kami tulis dan bisa teman-teman baca disini, kalian tidak akan bisa melihat “Atraksi Emosi” yang banyak dan menarik sebelum Hardo masuk gua. “Atraksi emosi”, begitu kami menyebutnya, akan kalian dapatkan lebih banyak setelah Hardo berada di gua dan keluar dari gua. Dari mulai adegan ketika Hardo berbicara sendiri dengan korek api, dan adegan-adegan berikutnya, kalian akan melihat permainan emosi yang intens, dan menarik.
Sementara kalau yang sebelum masuk ke Gua, kalian akan melihat permainan emosi yang menarik ketika ia dikejar tentara Jepang dan melarikan diri di semacam kebun tebu atau sejenisnya. Disana kalian bisa melihat permainan yang intens, mata yang awas, dan emosi yang dinamis. Dalam beberapa menit pertama adegan itu, kamu akan bisa melihat amarah yang memenuhi wajahnya dengan sedikit ketakutan. Lalu pada menit berikutnya, ketika Hardo melihat mayat, kita bisa melihat amarahnya yang membesar, lalu muncul kesedihan dan dendam yang bertambah dan coba dikendalikan. Semua perjalanan emosi itu tergambar jelas di matanya. Alasannya pun terpampang jelas di adegan tersebut. Jadi tak sulit untuk menangkap dinamika emosi itu.
Ada satu poin lagi, capaian yang menurut kami penting untuk disampaikan. Perburuan ini, sepertinya oleh sutradara Richard Oh dibuat tanpa adaptasi yang macam-macam dari versi novelnya. Sehingga dialog yang hadir adalah dialog yang cenderung nyastra dan seperti bukan dialog sehari-hari. Terutama ketika kami melihatnya dalam sudut pandang era ini. Tapi justru ini capaian yang menarik. Baik Adipati dan Ayushita, keduanya berhasil membuat dialognya terasa realis dan tidak puitis sama sekali.
Tapi dari semua pencapaian yang menarik itu ada satu persoalan. Hampir semua pencapaian itu, terutama yang berhubungan dengan emosi dan sebab akibatnya, muncul dengan janggal.
Perburuan, Kok Janggal?
Kami tidak mengingkari bahwa Adipati berhasil bermain dengan apik hampir pada banyak dimensi di tokoh dalam Perburuan. Secara fisiologis kami bisa melihat capaian yang lumayan menarik, pada dimensi sosiologis kami juga melihat capaiannya, dan apalagi dari sisi psikologis. Capaian dari sisi psikologis ini justru bagi kami jauh lebih menarik dari capaian dimensi lain. Tapi ada persoalan dengan capaian psikologis tersebut. Masalahnya adalah kejanggalan dan tidak adanya alasan yang jelas kenapa semua capaian psikologis itu muncul.
Misalnya, hal ini lebih banyak terjadi setelah adegan Gua, karena memang setelah Gua “Atraksi emosi”-nya dimulai. Di adegan ketika ia bermain Api. Kami memang melihat permainan mata yang intens dan emosional. Pun dengan ekspresi wajahnya, intens sekali. Tapi kami merasa tidak ada pengantar yang jelas menuju ke emosi tersebut. Istilah sederhananya; kami tidak menemukan alasan yang tepat kenapa emosi dan intensitas itu muncul. Ia mendadak muncul begitu saja. Nampaknya ini kasus yang sama seperti permainan Eka Nusa Pertiwi di Tengkorak yang juga berhasil bermain dengan intens tapi tidak berhasil menunjukkan alasan kenapa emosinya bisa intens.
Kami jadi ingat apa yang dikatakan Bella Merlin dalam bukunya Konstantin Stanislavsky soal tujuan utama Method of Physical Action. Bella kurang lebih berkata begini;
The main purpose of the Method of Physical Actions was for actors to find the precise and logical sequence of actions that would enable their characters to achieve their ‘tasks’. (Merlin, 2003:30)
Dalam penjelasan Bella Merlin atas pemahamannya terhadap tujuan utama metode aksi fisik atau Method of Physical Action adalah agar si aktor bisa menemukan dengan jelas dan logis urutan aksi yang tepat sehingga kemudian ia bisa mencapai tujuan tokoh. Selain menemukan urutan yang jelas dan logis, aktor harus bisa menemukan emosi atau latar belakang dari semua urutan aksi tersebut.
Bella Merlin menjelaskan bahwa Stanislavski menggunakan analogi memakan ayam kalkun. Kamu tidak bisa memakan ayam kalkun itu sekaligus kan? Nah, kamu harus memotongnya tiap bagian agar bisa dimakan. Kamu bukan hanya harus memotongnya jadi bagian kecil yang bisa dimakan, tapi juga harus memberi bumbu hingga meresap sampai ke dalam dagingnya sehingga kamu bisa menikmati kelezatan ayam kalkun itu sampai potongan terkecil.
Kalkun besar adalah analogi laku besar dalam sebuah adegan. Potongan kalkun adalah urutan aksi yang sangat banyak. Sementara bumbu adalah latar belakang atau emosi dari urutan aksi tersebut. Jadi setiap laku kecil harus memiliki latar belakang. Semoga paham ya… cukup sulit menerangkan Method of Physical Action.
Kita ambil contoh dalam salah satu adegan di film Perburuan lah, dalam adegan berbicara dengan korek api misalnya. Ada urutan aksi yang harus dilakukan Adipati. Dari mulai mengambil korek, menyalakan korek, hingga bicara pada korek. Nah, tiap urutan aksi ini seharusnya punya latar belakang emosi, entah sesederhana apapun itu latar belakangnya, tapi ia harus punya latar belakang emosi yang jelas.
Ketika pada setiap laku tokoh memiliki latar belakang yang jelas, meskipun sederhana, maka laku yang muncul atau akting yang hadir tidak akan janggal. Akan terlihat alasan kenapa ia mengambil korek, kenapa ia berbicara dengan korek api, dan kenapa ia harus seintens itu, dan lagi, kenapa dia harus ketawa? Apa yang terjadi dalam pikirannya?
Nah, kejanggalan itu yang kami dapati hampir di seluruh film. Kami berpikir, sepertinya ini bukan sepenuhnya kesalahan Adipati. Mungkin kesalahan juga terletak pada penulis naskah yang meleset dalam mengejawantahkan tiap urutan peristiwa novel Perburuan kedalam wahana yang lain. Kesalahan juga mungkin ada pada si sutradara, yang tidak bisa meracik peristiwa dengan rigid dan logis.
Kami menuliskan dalam catatan kecil kami ketika menonton film Perburuan, bahwa akting Adipati Dolken di satu sisi terasa dinamis, sementara di sisi lain terasa monoton. Kami bertanya kenapa kami bisa merasakan hal tersebut. Nampaknya kami sekarang sudah menemukan alasannya. Rupanya itu berhubungan juga dengan kejanggalan yang terjadi. Jika kami menyingkirkan soal sebab akibat yang harus logis dan berkait satu sama lain, akting Adipati baik-baik saja. Intens abis lah pokoknya! Tapi ketika kami memperhatikan alasan di balik semua emosi yang terjadi, kami menemukan emosi yang tiba-tiba jadi monoton, palsu, dan muncul tanpa alasan yang jelas.
Lalu Bagaimana Dengan Aktor Lain?
Pada aktor lain, misalnya Ayushita. Kami tidak bisa berbicara banyak. Pertama ia tidak memiliki porsi yang cukup banyak, ia praktis hanya ada di film kurang dari 20 menit mungin. Selain itu, tidak ada perubahan signifikan yang terjadi pada tiap capaiannya. Tokohnya jadi tokoh yang biasa saja, tidak rumit. Padahal tokohnya adalah seorang guru, dan anak pejabat desa kalau kami tak salah. Tapi latar belakang itu tak kelihatan sedikit pun pada permainannya. Mungkin sebenarnya kelihatan, tapi karena porsi yang terlalu sedikit, akhirnya hampir tidak ada yang bisa dinikmati.
Sementara pemain lain, misalnya Mocil, Ernest Samudra, Khiva Iskak, dan yang lain juga sama. Ada banyak sekali akting-akting artifisial disana. Terlebih lagi dengan bahasa yang nyastra, mereka tidak seperti Adipati yang setidaknya berhasil menjinakkan bahasa tersebut sehingga terdengar nyaman. Pemain lain rasanya terdengar artifisial dan palsu. Meskipun, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka berusaha menciptakan identitas tokohnya.
Misalnya si Ernest Samudra yang berusaha memunculkan tokoh yang keras dengan sedikit-sedikit nyeletuk bahasa Jepang. Tapi sangat disayangkan, mungkin karena celetukan itu tidak dimunculkan dengan alasan yang sebelumnya dibangun dengan baik, sehingga kemunculan celetukan itu sangat amat artifisial. Ia malah terkesan seperti hendak pamer. Aktor representasional kalau kata Stanislavski. Laku dan tindakannya tidak muncul karena hidup si tokoh yang ia ciptakan, tapi keinginannya untuk “pamer” kemampuan.
Tapi di luar itu, tak ada yang bisa kami katakan selain apresiasi sebesar-besarnya pada semua pihak yang membuat film ini. Kami tahu tak mudah membuat film dari novel yang isinya saja sudah berat luar biasa. Tapi mereka setidaknya berhasil mengalih wahanakan novel Perburuan yang berat itu.
Kami mau mengambil satu celetukan penonton lain yang kala itu menonton bersama kami. Kami menonton di sebuah bioskop di Mall, dan pagi hari, jadi hanya ada sekitar 5 orang termasuk tim kami yang menonton. Setelah film selesai, seorang penonton, perempuan, bersama kekasihnya, dia bilang begini pada petugas bioskop yang menunggu di pintu keluar;
“Udah selesai mas? Gitu doank? Nggak ngerti aku”
Kami hanya tersenyum, dan berlalu keluar begitu saja.
Terima kasih, viva aktor!