[Acting Review] Warkop DKI Reborn: Capaian Keaktoran yang Mengejutkan
Sudah nonton Warkop DKI Reborn? Atau malah belum dan cenderung menghindari karena gaya berkomedinya yang kata sebagian orang garing segaring kulit kaepcih? Memang, komedinya begitu garing dan sangat amat slapstik di beberapa bagian. Atau mungkin kami bisa menyebutnya hampir di 90% bagian film ini komedinya slapstick. Karena itu, ketika kalian hendak menonton film ini, kami menyarankan untuk tidak menontonnya dengan niat terhibur atas komedinya. Tapi perhatikan capaian akting para pemainnya yang jika di Flash Review kami menyebutnya “Surprisingly Good”.
Tapi kenapa bisa se-mengejutkan itu bagusnya? Apakah benar-benar sebagus itu dan tanpa celah? Mari kita bahas mendalam di artikel Acting Review ini. Bagi yang belum menonton dan takut kena spoiler, jangan lanjutkan membaca ya!
Warkop DKI Reborn yang Hampir Mirip
Dari ketiga tokoh yang menjadi Dono, Kasino, dan Indro, dalam sudut pandang kami yang paling mencuri perhatian semenjak trailer dirilis adalah Aliando. Kenapa begitu? Pertama, ia adalah aktor yang berangkat dan besar di sinetron. Dimana, tak perlu kita sok bijak, kualitas akting sinetron itu kebanyakan ambyar. Beberapa bukan karena aktornya, tapi karena memang ekosistemnya yang busuk luar biasa. Tapi beberapa juga karena aktornya saja yang “menyerah” pada ekosistem sebusuk itu.
Kedua, kami hampir tak pernah melihat akting Aliando di film. Atau mungkin kami sempat melihatnya tapi karena tidak ada yang spesial, jadi berlalu begitu saja. Lalu yang ketiga, capaian fisiologis Aliando sebagai Dono, bukan hanya giginya yang tonggos itu, tapi juga laku tubuhnya di trailer mengejutkan kami. Bahkan kalau kami boleh jujur, permainan Aliando di trailer adalah alasan terbesar kami mau menonton Warkop DKI Reborn. Tapi apakah benar sebagus itu? Kita bedah satu persatu.
Pertama soal capaian fisiologis. Tak ada kata lain selain mengejutkan. Kami hampir tidak bisa menemukan Aliando dalam Dono yang ia ciptakan. Pertama dari poin yang paling mudah tertangkap tapi paling sulit dirubah, suara. Pada bagian itu Aliando berhasil merubah suara dan logatnya. Kami menduga, hal itu terjadi karena gigi palsu yang dipakainya. Sehingga tempat keluarnya udara ikut berubah dan secara tak langsung merubah suara. Dengan tambahan aksen yang ikut dirubah, perubahan warna suara yang sejatinya tidak terlalu banyak itu jadi terasa sangat berubah.
Jika dilihat dari sudut pandang pencapaian Aliando, maka ia berhasil ada di capaian yang baru dan tinggi kali ini. Setidaknya tertinggi sepanjang karirnya. Hal itu jelas karena sebelumnya ia hampir tidak pernah berhasil mencuri perhatian dengan kemampuan aktingnya, kecuali kelihaiannya berakrobat. Tapi jika kita berpedoman pada “akting mimesis itu harus meniru semirip mungkin” maka hasilnya lain. Itu kenapa di sub judul kami tulis “Hampir Mirip”.
Jika kita berpedoman pada hal tersebut, untuk segi suara, Aliando sama sekali tidak mirip dengan suara Dono. Coba bandingkan dua video ini.
Video asli,
Video remake
Jika kalian melihat dua video tersebut, maka kalian bisa tahu bahwa warna suara Aliando bahkan tidak bisa kami bilang mendekati Dono. Tapi berbeda dengan aksen atau logat, tempo serta pemenggalan kata yang diucapkan Dono dan Aliando. Keduanya terdengar sangat mirip. Tapi soal warna suara tidak.
Masih bicara fisiologis, tapi kali ini bergeser ke laku tubuh. Bertolak dari video tersebut, kami melihat laku tubuh yang sangat mirip antara Dono asli dan Dono ciptaan Aliando. Kita kesampingkan sejenak warna suara yang berbeda. Kita lihat bagaimana laku tubuh Dono ciptaan Aliando. Laku tubuh tersebut kami bisa bilang hampir seutuhnya mirip dengan Dono. Mulai dari tempo tubuhnya, bagaimana tangannya bergerak, caranya menoleh, timing saat mengangkat tangan, hingga proses mengangkat tangan, semua sangat mirip dengan Dono. Itu capaian yang tak bisa diingkari siapapun.
Berlanjut bicara soal capaian psikologis yang kali ini berhubungan dengan cara menjalankan perasaan dan pikiran. Dari apa yang kami lihat, respon yang dijalankan oleh Aliando sebagai Dono dalam ruang lingkup komedi slapstik, cukup menarik. Ingat, ini dalam ruang lingkup komedi slapstik. Sehingga ada beberapa respon yang memang terasa dibuat-buat dan bahkan terasa terlalu cepat.
Di beberapa momen, seperti misalnya ketika berada di warung bakso. Respon Aliando terhadap satu adegan terlihat terlalu cepat. Ia seperti tahu bahwa setelah ini akan terjadi ini dan ia harus begini. Kalau bukan karena komedi slapstik, mungkin kami bisa berkata bahwa semua respon Aliando dan pemain lain hampir palsu.
Ingat apa yang dikatakan Stanislavski soal Sense of Unruth yang sedikit banyak dijelaskan oleh Bella Merlin di bukunya yang berjudul Konstantin Stanislavsky.
For the actors, the ‘sense of untruth’ is a useful tool to prevent them from ‘acting too much’. Tortsov points out that often actors are so keen to convince themselves and the audience that what they are doing is entirely sincere, that they begin to overact, and inadvertently fall into mechanical acting to make up for the fact that what they are doing isn’t really real. (Merlin, 2003:57)
Sense of Untruth adalah sebuah kesadaran yang mencegah aktor untuk tidak bertindak berlebihan. Karena ketika si aktor bertindak berlebihan, atau dalam bahasa kita overacting, maka si aktor akan jadi mekanik. Itu yang terjadi pada Aliando dan hampir semua pemain. Mereka bermain mekanikal. Mengingat komedinya muncul pada saat apa. Padahal seharusnya, akting mekanikal muncul untuk mengimbangi kesadaran sebagai tokoh dan memunculkan kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan tidak nyata.
Bahkan kami rasa ketika akting ini berada dalam ruang komedi slapstik. Memang, komedi slapstick, seperti apa yang dilakukan Jim Carrey dan Robin Williams pada beberapa filmnya menuntut kesadaran aktor. Tapi ingat, aktor tetap harus berada dalam tubuh tokoh dan kesadarannya sebagai aktor hanya dipakai untuk mengetahui timing yang tepat untuk melucu. Di luar itu, kesadaran yang hadir, seharusnya adalah kesadaran tokoh. Karena tidak setiap detik dalam 90 menit film aktor harus terus melucu kan?
Respon Aliando memang menarik jika kita melihat akting dalam ruang komedi slapstik tanpa ribet memperbincangkan sense of untruth. Tapi jika kita membicarakan soal sense of untruth ini, maka Aliando, dan pemain lain ada dalam ruang “hampir palsu”.
Adipati dan Randy Dengan Capaian Masing-masing
Lalu bagaimana dengan Adipati dan Randy? Dua aktor ini memiliki capaiannya masing-masing. Kita mulai dari Adipati terlebih dahulu. Dengan kulit yang sepertinya sedikit di tanning atau dipoles make up dan gaya rambut yang berubah, secara fisik dan dalam kondisi diam, Adipati berhasil berada di capaian yang lain dari permainannya sebelum Warkop DKI Reborn. Lalu jika kita melihat laku tubuhnya, maka kita bisa melihat laku tubuh yang menarik. Laku tubuh tersebut adalah kedipan mata, cara berjalan, cara menaik turunkan celana beberapa kali, cara memainkan tangan dan laku tubuh lainnya.
Meskipun, jika kami melihat Kasino ciptaan Adipati dan lagi-lagi menggunakan prinsip “Mimesis itu harus meniru semirip mungkin”, kami agak bingung. Dari mana kedipan mata itu ia dapatkan? Apakah diciptakan sendiri atau meniru dari Kasino. Karena sejauh yang kami pernah lihat dan ingat, Kasino hampir tidak pernah menggunakan kedipan mata itu. Juga soal caranya mengernyitkan dahi. Kami hampir tidak pernah melihat Kasino mengernyitkan dahi sesering itu.
Lalu soal warna suara. Kami tidak menemukan aksen yang kental seperti yang Kasino asli miliki. Jika didengarkan baik-baik, Kasino yang asli memiliki aksen ngapak yang sesekali keluar dan cukup kental. Bahkan ketika ia menjadi tokoh lain yang bukan berasal dari area dengan aksen ngapak. Coba perhatikan pada pengucapan huruf-huruf D, G, K, dan huruf yang asal suaranya sama. Aksen Kasino yang kental akan keluar ketika ia mengucapkan kata yang terdiri dari huruf tersebut,
Tapi Adipati tidak. Dalam ciptaannya, aksen ngapak itu tidak terasa sangat kuat. Meskipun memang ada ciptaan itu. Kalau kita melihat penciptaan Adipati tanpa menggunakan prinsip “Mimesis itu harus meniru semirip mungkin”, maka sah-sah saja bagi Adipati untuk menciptakan Kasino dengan bentuk apapun. Bahkan ketika bentuknya sangat jauh dari Kasino yang asli. Sehingga Kasino menjadi tokoh fiksi yang bentuknya bisa diubah sedemikian rupa.
Tapi bukankah Kasino ciptaan Adipati, Dono ciptaan Aliando, dan Indro ciptaan Randy ada di semesta yang sama? Lalu kenapa Kasino harus menjadi fiksi atau bisa diciptakan suka-suka sementara Aliando berusaha meniru Dono semirip mungkin? Bukankah tiga tokoh ini ada di semesta yang sama dan seharusnya menggunakan prinsip penciptaan yang sama? Kalau berbeda, bukankah akan jomplang?
Lalu Randy. Kami bisa bilang, jika capaian Randy dibandingkan dengan Adipati dan Aliando, maka akan terasa jauh. Harap maklum, kan dia bukan aktor. Randy kan musisi. Tapi jika kita menyingkirkan hal tersebut dan melihat Randy sebagai “pemula” dalam dunia akting, maka capaian Randy adalah capaian yang menarik dan bahkan memiliki jarak langkah terjauh dibanding Adipati dan Aliando.
Misalnya saja dalam sudut pandang penciptaan suara. Memang suaranya jauh dari kata mirip dengan Indro yang asli. Tapi ia berhasil menciptakan aksen yang kental dan konsisten di sepanjang film. Sementara soal capaian fisiologis yang lain, kami tak menemukan yang menarik. Satu-satunya yang berhasil kami tangkap adalah aksen yang berubah itu. Di luar itu, hanya kumis mungkin. Sementara cara berjalan, cara memainkan tangan, cara menoleh, bahkan pada cara merespon, kami tak bisa berkomentar banyak karena tidak ada yang bisa dikomentari.
Warkop DKI Reborn, Komposisi yang Tepat
Di luar soal capaian tiga aktor tadi, kami merasa bahwa mereka ada pada capaian yang pas dengan porsi mereka masing-masing. Dono terlihat lebih menonjol memang dalam soal capaian. Tapi dalam beberapa adegan di film, Kasino cukup mendominasi. Sementara Indro bisa dibilang hanya sebagai penggembira saja dalam banyak adegan di film. Dengan pembagian porsi semacam itu, maka capaian mereka yang tidak sama tadi jadi tak masalah. Karena capaian tersebut sekaligus menempatkan tiga aktor tersebut dalam komposisi yang tepat.
Selain itu cara mereka menjalankan pikiran dan perasaan si tokoh juga jadi komposisi yang tepat. Jika diperhatikan baik-baik, Dono dan Kasino cukup mendominasi dan mendapatkan ruang yang cukup banyak untuk menjalankan pikiran dan perasaan. Dono dan Kasino pun terasa lebih responsif pada hampir apapun. Sementara Indro sebaliknya. Ia terkesan jauh lebih tenang dan jadi tidak seresponsif Dono dan Kasino. Komposisi tersebut membuat mereka bertiga secara tak langsung saling mengisi dan menghidupi satu sama lain.
Sepertinya komposisi ini diatur dengan sengaja oleh sutradara mengingat kemampuan akting masing-masing aktor tersebut. Nampaknya akan sangat tidak menguntungkan kalau Randy sebagai Indro mendapatkan porsi cukup banyak. Itu mungkin juga jadi alasan kenapa Dono dan Kasino yang lebih banyak mendapatkan ruang.
Jangan Lupakan Ganindra Bimo
Jangan, jangan sekali-kali kalian melupakan Ganindra Bimo dalam film ini. Ganindra Bimo sangat mencuri perhatian di film ini. Meskipun penuh dengan ke-slapstik-an yang bukan jadi selera kami, tapi ciptaan dan permainan Ganindra Bimo sangat menarik. Kita singkirkan sejenak soal komedi slapstik ini dan kita bedah capaian Ganindra Bimo.
Pertama soal fisiologis. Kami tidak hendak menilai make upnya. Karena bagi kami sudah tak terlihat nyata. Dan ketika ia tak terlihat nyata, maka satu kaidah akting realisme telah dilanggar. Kami justru ingin menyoroti ciptaan Ganindra Bimo dari sudut pandang suara terlebih dahulu.
Pada bagian suara dimana itu melingkupi aksen, tempo berbicara, dan warna suara, kami melihat perubahan yang signifikan. Soal warna suara sudah jelas berubah dan jauh dari warna suara Ganindra Bimo di film-film sebelumnya dan dari dirinya di luar film.
Lalu aksen. Kami juga mendengar perubahan aksen yang signifikan. Ganindra Bimo seperti sengaja menciptakan aksennya dekat dengan orang-orang India yang notabene, sering menjadi produser dalam tiap film di Indonesia dan sangat akrab di telinga banyak penonton. Apa yang Ganindra Bimo lakukan ini selaras dengan apa yang dikatakan Bella Merlin di buku “Konstantin Stanislavsky” tentang sense of truth.
A sense of truth depends on physical, naturalistic details, which actors draw from real life to provide both themselves and the audience with a feeling of authenticity – that ‘this looks like something that we recognise from real life’. (Merlin, 2003:57)
Sense of truth adalah kebenaran yang diambil oleh aktor dari kehidupan nyata untuk kemudian dipersembahkan pada diri aktor sendiri dan penonton. Nah, karena kebenaran itu diambil dari sesuatu yang benar-benar ada atau nyata, maka penonton bisa terpantik dengan laku tersebut karena merasa relate dengan laku itu.
Dengan memilih bentuk aksen semacam itu, Ganindra Bimo secara tak langsung sudah menggunakan Sense of Truth karena ia mengambil bentuk itu dari dunia nyata dan tak sengaja relate dengan banyak penonton. Sehingga penonton banyak yang terpantik dan teryakinkan atas bentuk tersebut. Begitu juga dengan laku tubuhnya. Hal yang terjadi kurang lebih sama dengan suara.
Di luar soal capaian fisiologis yang relate itu, kami tidak banyak melihat permainan psikologis Ganindra Bimo yang menarik di Warkop DKI Reborn. Mungkin juga karena tokohnya tidak mendapatkan ruang untuk memainkan sisi psikologis si tokoh. Sehingga yang kami lihat hanya melulu perkara fisiologis. Kami agak berhati-hati dengan kondisi ini. Karena lama kelamaan, ciptaan Ganindra Bimo jadi terasa palsu. Mungkin karena respon yang tidak dijalankan selaras dengan pikiran dan perasaan si tokoh. Atau mungkin juga terjebak pada kondisi komedi slapstik yang mengharuskannya lucu pada tiap adegan yang dilalui.
Selain 4 pemain yang kami bicarakan di atas, tidak ada pemain lain yang bisa diperhatikan di film Warkop DKI Reborn. Hampir semua penciptaan mereka tidak terlihat atau kalau kami ingin berkata kasar, tidak ada!
Meski begitu kami tetap menyarankan kalian menonton film ini ketika nanti DVDnya rilis (kalau rilis). Sederhana saja, bukan karena komedinya yang garing segaring keripik Maicih. Tapi karena akting para pemainnya yang ciamik!
Terima kasih, viva aktor!