[Acting Review] Marlina si Pembunuh Dalam 4 Babak; Kok Bagus?
Marlina si Pembunuh Dalam 4 Babak adalah sebuah film garapan Mouly Surya yang mendapatkan banyak sekali penghargaan. Film ini juga menjadi salah satu film yang dikirim untuk berkompetisi di Oscar sekitar 2 tahun lalu. Dalam film ini, ada banyak hal yang menjadi perhatian para penonton, baik dari masyarakat umum atau pun filmmaker dan aktor. Salah satu yang menjadi perhatian adalah permainan Marsha Timothy.
Permainan Marsha Timothy berhasil menyita perhatian. Ia berhasil mendapatkan Pemeran Utama Wanita terbaik FFI 2018 dan beberapa penghargaan lainnya. Tapi pertanyaannya, kenapa? Apakah permainan Marsha Timothy sebagus itu? Dan kalau memang bagus, kenapa? Apa yang membuatnya bagus? Berikut pembahasan lengkapnya;
Act I, Sedikit yang Berubah
Kita akan coba membahas tiap act atau babak. Sekedar pengetahuan, film ini terdiri dari 4 babak, seperti judulnya. Jadi, kami memutuskan untuk membahas keaktoran Marsha Timothy pada tiap babak.
Pada Act I ada setidaknya satu perubahan yang langsung tertangkap oleh kami. Perbedaan antara Marlina dan Marsha adalah logat. Kami mendengarkan logat yang jauh berbeda. Lalu setelah logat, kami berusaha mendengarkan apakah ada perubahan warna suara yang drastis. Tapi kami tidak menemukan perubahan warna suara yang drastis.
Tidak menemukan bukan berarti tidak ada. Kami tetap menangkap sedikit perubahan warna suara Marsha Timothy yang jadi sedikit gandhem atau bulat. Kami mencoba mencari tahu, apakah perubahan warna suara itu muncul karena didesain oleh si aktor atau tidak. Entah ini ada dalam kesadaran Marsha sebagai aktor atau tidak, tapi nampaknya perubahan warna suara yang sedikit itu muncul karena logat yang berhasil ia rubah.
Perubahan logat adalah salah satu capaian yang paling menarik dari Marsha. Dari perubahan logat tersebut kami merasa bahwa tempo bicara dan warna suara jadi ikut berubah. Di luar soal apakah perubahan tempo bicara dan warna suara itu disadari atau tidak oleh si aktor, tapi yang perlu kita pahami adalah sebuah perubahan kecil bisa merubah banyak hal dalam tubuh si aktor. Mungkin juga bisa menjadi salah satu metode baru.
Setelah soal suara, dalam Act I ini kalian akan disuguhi permainan yang intens dari Marsha Timothy. Intensitas itu bisa dilihat dari ekspresi wajah, permainan mata dan perangkat lain. Dalam ekspresi tersebut kalian akan melihat banyak emosi yang berjalan.
Pada act I, bisa dibilang yang menjadi fokus dalam sudut pandang keaktoran adalah permainan yang terasa intens. Tapi persoalannya, kenapa bisa terlihat seintens itu. Kami menduga hal ini juga berkaitan erat dengan bagaimana Mouly Surya mengatur komposisi gambar. Baik itu dalam sudut pandang pencahayaan atau blocking pemain.
Coba kalian perhatikan dengan baik di Act I. Hampir semua scene yang ada Marsha Timothy, pasti yang terang hanya wajah Marsha saja. Sementara ketika ke tokoh lain, seperti misalnya Yayu Unru atau Yoga Pratama, kita bisa melihat bayangan hitam yang menutupi wajah mereka. Tapi pada saat Marsha Timothy yang beradegan, pencahayaan fokus pada wajahnya, dan bagian lain, kiri, kanan dan atas akan terlihat gelap.
Kami merasa komposisi semacam ini membuat intensitas permainan Marsha terasa sangat kuat. Bayangkan saja, ia melakukan sedikit gerakan mata saja sudah pasti akan tertangkap penonton. Karena memang gambar benar-benar difokuskan pada Marlina saja. Baik secara komposisi atau pencahayaan.
Tapi apakah hanya karena komposisi gambar sehingga intensitas emosinya jadi terasa? Nampaknya tidak sepenuhnya. Peran Marsha sebagai aktor juga penting. Ia, dalam sudut pandang keaktoran saja, jika kita menisbikan unsur lain, sudah cukup kuat. Marsha terlihat berhasil menjalankan pikiran dan emosi tokoh sesuai dengan impuls yang ia terima. Kalian juga akan sering melihat kemunculan dua emosi di momen yang sama pada Act I.
Maksudnya begini. Kita tahu bahwa pada Act I si Marlina sedang mengalami sebuah ketakutan. Tapi disisi lain, kita tahu bahwa tokoh juga sedang menjalankan emosi lain seperti marah, dendam, dan upaya melawan ketakutan itu. Jadi ia tidak hanya memunculkan rasa takut saja. Sehingga terkadang ketika ekspresi takutnya muncul, kita tidak hanya melihat ketakutan saja, tapi kita juga melihat sedikit kemarahan, dendam, dan upaya mengendalikan ketakutan pada ekspresi-ekspresi kecilnya.
Satu lagi yang menurut kami membuat permainan Marsha sangat menonjol di Act I. Hal itu adalah karena ia satu-satunya perempuan di Act I. Tolong jangan fokus pada “satu-satunya perempuan”-nya. Tapi fokuslah pada bahwa ia yang paling berbeda dari semua cast yang ada di Act I. Hal itu bukan malah membuatnya tenggelam karena muncul sebagai minoritas. Tapi justru ia terlihat semakin kuat.
Ada dua kemungkinan soal alasan kenapa ia malah terlihat muncul makin kuat padahal ia minoritas. Kami memahami bahwa pernyataan itu seperti paradoks. Tapi dalam keaktoran, mungkin juga dalam dunia yang lain, soal sedikit banyak itu bukan jaminan bahwa keaktorannya akan jadi perhatian. Justru, ketika ia berhasil muncul dengan berbeda, ia akan tampak sangat kuat.
Analoginya begini; misalnya ada seorang aktor yang sedang berakting di tengah demo yang ramai, orang-orang bergerak cepat, dan berlarian, si aktor tidak perlu mengikuti arus itu. Ia tidak perlu mengikuti tempo orang yang bergerak cepat dan ikut berlari. Jika ia ingin mengambil fokus, ia cukup melawan tempo dari adegan itu. Ketika orang bergerak cepat, ia cukup bergerak perlahan. Dengan begitu ia sudah menjadi point of interest.
Nah, kondisi itulah yang terjadi di Act I. Kami merasa bahwa dalam Act I, ada peran Mouly Surya dan DOP yang sangat besar dalam bagus tidaknya permainan Marsha Timothy. Tapi ada yang jadi persoalan dalam Act I. Persoalannya adalah dengan intensitas semacam itu, ada beberapa momen Marsha Timothy tidak bermain dengan dinamis. Permainannya terkesan monoton.
Mungkin karena adegan yang cukup panjang dan emosi yang sama. Pada beberapa momen, Marsha tidak cukup berhasil memainkan emosi dalam emosi seperti yang sudah kami sampaikan di atas. Sehingga kesan monoton pada beberapa adegan cukup terlihat.
Act II, Marlina Hampir Monoton
Monoton. Itulah persoalan yang terjadi di Act II film Marlina si Pembunuh Dalam 4 Babak. Di Act I, kami tidak banyak melihat kemonotonan. Hal itu karena pada beberapa momen Marsha berhasil memainkan emosi besar dan emosi kecil. Sehingga permainannya terkesan dinamis. Mungkin juga karena kondisi di adegan pertama, ia bersama orang lain yang menjadi impuls atau alasan dari emosinya. Sehingga ia masih bisa bermain cukup dinamis.
Tapi pada Act II, hal itu tidak terjadi. Kami sempat bertanya, apakah dalam perjalanan menuju ke kantor polisi, Marlina memang cuma punya 1 emosi saja? Dan dengan durasi Act II yang juga cukup panjang, apakah mungkin Marlina terus menjalani emosi yang sama? Kami bisa memutuskan hal tersebut karena melihat ekspresi wajahnya yang dari awal Act II hingga hampir masuk ke Act III, setidaknya sebelum bertemu Topan, sama. Ekspresi wajahnya hampir 80% sama di Act II.
Di Act II emosinya seolah tidak tumbuh dengan baik. Bukankah seharusnya emosi si tokoh lebih berwarna dan lebih intens ya? Pertama, ia sekarang membawa kepala seorang manusia di tangannya. Kepala itu adalah kepala lelaki yang memperkosanya. Bukankah semestinya kepala itu bisa menjadi motor dinamika emosi yang kemudian berpengaruh pada ekspresi si tokoh?
Kedua, bahkan ketika adegan dimana hantu si preman yang dipenggal kepalanya muncul, kami memang melihat “laku tubuh” ketakutan. Tapi sayangnya tidak dengan wajah ketakutan. Wajahnya masih sama, bisa dibilang datar dan ada di emosi yang sama, marah dan dendam. Itu saja.
Kami mencoba mencari kenapa. Mungkin, ini jawaban yang paling logis yang bisa kami terima. Ekspresi wajah yang hampir monoton itu terjadi karena emosi yang dialami Marlina hampir sama. Artinya, emosi si tokoh ada di satu spektrum yang kira-kira akan memunculkan ekspresi wajah yang tidak terlalu berbeda. Sehingga mau takut, melihat hantu tanpa kepala, atau apapun, ekspresinya akan tetap begitu. Tapi benarkah seharusnya begitu?
Lalu soal chemistry antara ia dan si “kepala”. Kami melihat interaksi antara ia dan kepala itu sebagai “benar-benar kepala” hanya terjadi di menit-menit pertama Act II. Sementara pada menit berikutnya, relasi antara tokoh dan kepala itu seperti perempuan dan tas usangnya. Ia seolah tak menganggap kepala itu sebuah hal yang penting. Kepala itu benar-benar seperti benda mati, yang kebetulan ia bawa untuk ditunjukkan di depan polisi.
Penting disini artinya bukan kemudian menyertakan emosi yang tersedu-sedan pada si kepala itu. Ingat, kepala itu adalah kepala tokoh yang menjadi motivasinya di Act I lho! Selain itu kepala itu juga yang menjadi motivasinya menjalani Act II, III, dan IV. Logikanya, sesuatu baru bisa menjadi sebuah motivasi ketika kita menganggapnya sebagai motivasi kan? Kalau kita acuh, maka ia tidak jadi motivasi. Nah, pada beberapa momen di Act II, kepala itu seperti benda mati yang tidak berarti apapun pada si tokoh. Apa memang harus begitu?
Soal emosi yang terasa dan terlihat monoton. Kami mencoba mencari jawaban lain. Kenapa kami bisa mengira ekspresi itu monoton? Kami kemudian berpikir, mungkinkah si tokoh ini, dalam perjalanannya menuju ke kantor polisi, kesadarannya tidak pernah menyatu dengan realitas yang terjadi di hadapan matanya? Realitas dimana ada Novi yang hamil tua, nenek-nenek yang tidak ingin duduk bersebelahan dengannya, dan hal lain. Apakah begitu?
Nampaknya bisa jadi begitu, dengan beberapa momen ia melihat hantu lelaki tanpa kepala tersebut. Tapi bisa jadi juga tidak. Karena ketika ia kencing berjamaah dengan Novi, ia merespon obrolan Novi dan berekspresi. Maka ia tetap menyadari realitas yang ada di sekitarnya.
Kami lalu menduga, bahwa sebenarnya bukan monoton, tapi mungkin karena kurang berwarna saja. Mungkin pada Act II, dibandingkan dengan Act I, emosi tokoh lebih berwarna. Ia memiliki rasa takut, dendam, marah, berusaha menenangkan diri, dan lain sebagainya. Sementara ketika ada di Act II emosinya tidak sebanyak dan seberwarna Act I. Sehingga hasilnya ekspresi tokoh tidak cukup dinamis. Permainan emosinya juga tidak cukup berwarna. Tapi, bukankah satu emosi, marah misalnya, ada dalam ruang dan waktu tertentu akan memunculkan intensitas yang berbeda?
Act III, Tangisan “Punggung Marlina”
Jika di Act II kami merasa bahwa permainan emosi tokoh tidak berwarna, berbeda dengan Act III. Pada bagian ini, kami merasa permainan Marsha dalam sudut pandang permainan pikiran dan perasaan jauh lebih berwarna. Kami menduga itu muncul karena impulsi yang ada di Act III.
Salah satu yang terlihat adalah ketika ia berhadapan dengan Topan, seorang gadis kecil anak penjual warung. Pada adegan bertemu dengan Topan, kami melihat emosi lain yang segar. Jika di Act II kami melihat wajah yang mrengut atau cemberut melulu, di Act III kami melihat tawa, dan beragam emosi lainnya.
Mungkin jika emosi itu memiliki spektrum warna, dan takut, marah, dendam, dan upaya mengendalikannya ada di warna merah dan bias ke hitam, maka Act II terasa merah dan hitam. Tapi di Act III, spektrum warna yang lain muncul. Perasaan bahagia, tawa, yang memiliki spektrum warna cerah.
Tapi ada yang mengganjal pada kami di Act III. Adegan itu adalah ketika tokoh pulang dari kantor polisi dan menangis. Pada adegan itu kami di satu sisi menyayangkan kenapa kami disuguhi punggung Marlina saja. Informasi bahwa si tokoh sedang menangis pun hanya kami dapatkan dari dialog Topan. Punggung Marsha tak bicara apa-apa. Tidak percaya? Coba ketika adegan itu terjadi, mute suara tv atau laptopmu.
Kami bertanya-tanya, kenapa? Apakah karena dalam adegan tersebut ada komposisi yang lebih penting dari emosi tokoh? Rasanya tidak mungkin. Seharusnya, pada adegan ini, dalam sudut pandang kami setidaknya, menjadi sangat penting. Melihat wajah si tokoh yang meneteskan air mata setelah sekian kilometer berjalan menuju kantor polisi, berkejar-kejaran dengan preman lain, diikuti hantu kepala buntung, naik kuda, membawa kepala, baru diperkosa dan baru membunuh, itu sangat penting.
Pada adegan itu semestinya, tangisannya akan sangat dalam. Kami yakin, jika si aktor berhasil memainkan semua yang telah terjadi pada tokoh, maka ia seperti pistol yang sudah dikokang dan di adegan itulah pelurunya yang terbesar dihempaskan. Tapi ternyata kami hanya melihat punggung aktor saja.
Apakah karena komposisi? Rasanya tidak. Dalam sudut pandang kami yang tidak terlalu paham soal komposisi kamera, di adegan tersebut gambar sekitar tokoh blur. Foreground dan background di adegan itu blur. Permainan warnanya memang bagus. Dengan tokoh yang menggunakan baju pink, lalu background warna pink, kita bisa melihat permainan warna yang menarik.
Tapi sekali lagi, apakah tidak lebih menarik dari permainan emosi Marsha Timothy pada adegan itu? Atau, ternyata, dalam adegan itu Marsha tidak bermain cukup kuat dan sutradara akhirnya mau tak mau harus cheating agar filmnya “terselamatkan”? Nampaknya komposisi itu tidak penting, tapi menyelamatkan film lebih penting.
Act IV yang Tidak Bicara Banyak
Berbeda dengan Act I hingga III yang memiliki banyak hal untuk dibicarakan. Act IV ini sepertinya menjadi ruang Novi untuk banyak bermain. Sayangnya, kami tidak menangkap permainan pikiran dan perasaan yang baik dari Novi. Kita bisa melihat bahwa di Act IV ini, Novi diperlakukan sama oleh sutradara seperti ketika ia memperlakukan Marsha, yakni dengan komposisi blocking dan cahaya yang mirip.
Tapi sayangnya, perlakuan itu tidak didukung dengan intensitas emosi yang dalam dan tidak artifisial. Permainan Novi, yang diperankan oleh Dea Panendra, pada kemunculannya di Act IV, tidak lebih baik ketika ia pertama kali muncul di Act II hingga III. Padahal Act IV adalah ruangnya untuk unjuk diri. Baik dari permainan emosi atau permainan pikiran.
Memang, Dea Panendra berhasil menjadi ibu hamil 10 bulan dengan baik. Ia juga dengan baik berhasil merubah logatnya. Secara fisiologis Dea memang telah berhasil menjadi Novi. begitu juga soal emosi dan pikiran di Act II dan III. Tapi di Act IV, ia seperti kelelahan.
Jika diperhatikan dengan baik dan teliti, pada tiap laku tubuh yang dimunculkan Dea terasa “pendek” dan “dangkal”. Misalnya ketika ia menemukan buah yang dipakai sebagai racun. Kami melihat pandangan mata yang dangkal. Ia seolah bisa berpikir dengan cepat, sepersekian detik dan memutuskan bahwa “Ini buah beracun, bisa dipakai untuk membunuh si Frans” atau dialog semacamnya. Secepat itu.
Sama seperti Marsha di Act II yang tidak menganggap kepala yang ia bawa penting. Dea, dalam permainannya di Act IV menganggap bahwa bayi yang dikandungnya dan sudah mengeluarkan air ketuban itu tidak penting. Kami bisa bilang bahwa semua lakunya, ringan. Tapi itu hanya sampai setelah Novi dan Marlina berhasil membunuh Frans dan Novi melahirkan.
Pada adegan itu, kami melihat vibrasi yang kuat antara keduanya, baik Dea Panendra atau pun Marsha Timothy. Tapi, meskipun kuat, karena di awal keterikatan antara ibu dan bayi, lalu proses membunuh dan emosi yang berkutat dalam ruang itu tidak terbangun dengan baik, maka vibrasi itu jika dilihat dari sudut pandang lain terasa jomplang.
Terlepas dari itu semua, Marsha Timothy dan Dea Panendra setidaknya, telah memberikan standar kualitas yang baru untuk keaktoran Indonesia. Keduanya mampu bermain dengan cukup baik pada beberapa bagian. Soal bagian lain yang janggal dan kurang, rasanya itu lumrah. Permainan Marsha dan Dea juga mengingatkan kami bahwa yang berperan dalam bagus tidaknya permainan seorang aktor bukan cuma aktor itu sendiri, tapi juga sutradara dan tim lain.
Lalu soal kekurangan dalam bermain, bukankah Stanislavski bilang “To be” yang artinya bukan “menjadi” tapi “menuju menjadi”? Bingung? Kita akan bahas itu di artikel berikutnya.
Terima kasih, viva aktor!