The Science of Fictions; Iso Krungu Ning Ora Iso Nyatakke
Flash review film ini sebelumnya udah dirilis dari jaman kapan tahu. Linknya ada disini. Atau, ya pas JAFF 2019 kemaren. Seharusnya acting review The Science of Fictions ini dirilis awal-awal 2020, mengingat kata si sutradara, The Science of Fictions awalnya direncanakan rilis sekitar pertengahan tahun atau awal tahun 2020. Itu seinget kita pas lagi nonton di JAFF ya. Mungkin kita bisa jadi lupa.
Tapi, karena pandemi ngehek ini, segalanya jadi mundur jauuuuhh sekali. Hingga akhirnya, The Science of Fictions rilis beberapa minggu yang lalu dan kami, yang awalnya udah sempet bikin catatan, harus menonton lagi untuk menyegarkan ingatan plus mereview ulang dengan pengetahuan kami yang tentunya (dan seharusnya) tumbuh.
Apalagi setelah film ini berhasil mendapatkan aktor terbaik di FFI lewat permainan Gunawan Maryanto. Makin tergerak lah kami untuk menulis acting review film ini. Jadi, apa saja yang bisa kita lihat dari permainan Mas Gun? Atau juga pemain yang lain? Ehm… kalau soal pemain lain, kami sepertinya akan skip dulu karena sangat sulit bagi kami melihat capaiannya. Mungkin ada, tapi sepertinya sulit dan butuh pisau bedah yang lebih tajam dan kacamata yang lebih tebal. Jadi, gimana permainan mas Gun?
Capaian Fisiologis.
Seperti biasa, kami melihat dari capaian fisiologis terlebih dahulu. Silahkan kalau mau bosen, tapi sampai saat ini kami masih belum menemukan formula acting review lain selain mendahulukan capaian fisiologis karena ini yang paling terlihat.
Jadi, bagaimana capaian fisiologis Mas Gun? Ada? Atau nggak ada? Jawabannya tentu ada. Ya jelas, di trailer aja kalian bisa melihat doi bergerak sangat lambat di banyak adegan kan? Bahkan mungkin lebih dari 60% film Siman, tokoh yang dimainkan Mas Gun bergerak lambat. Menurut kami, pergerakan tubuh yang lambat di banyak adegan film The Science of Fictions itu masuk ke dalam ruang lingkup fisiologis yakni soal tempo tubuh. Kita tentu tahu, Stella Adler pun mengatakan dalam bukunya The Art of Acting halaman 176. Stella bilang kalau;
“You must understand that each character has a rhythm. In the church the rhythm is peace and quiet. A nun doesn’t need to hurry. She’s secure in her circumstances. You learn this from the costume – it teaches you how to walk.”
Maksud tante Stella kurang lebih adalah bahwa setiap orang punya ritmenya masing-masing. Doi ngambil contoh biarawati di gereja ya ritmenya cenderung tenang dan pelan. Kenapa? Karena seorang biarawati tidak perlu terburu-buru. Dia aman dalam lingkungannya. Nah, tante Stella nambahin kalau ritme itu bisa didapatkan lewat kostum dan kostum bisa mengajarimu cara berjalan seperti karakter.
Balik lagi ke Siman di The Science of Fictions. Di dalam film kita disodori sejarah tokoh yang cukup jelas. Gimana doi ngeliat shooting konspirasi terbesar abad ini, yakni Amerika yang memalsukan misi pendaratannya di bulan, dan tertangkap, lalu diminta (kalau kami nggak salah ingat) menggigit lidahnya sendiri sampai putus. Kita diberitahu bahwa Siman pulang dengan kondisi bersimbah darah dan tidak bisa menceritakan apa yang ia lihat. Sehingga, sehari setelah ia mengalami kondisi tersebut, Siman mulai bergerak lambat.
Kami rasa tempo pergerakan Siman yang lambat itu dipengaruhi oleh peristiwa yang pernah ia lalui. Kami sempat merasa itu sebuah bentuk “kritik” Siman atas peristiwa yang ia lalui. Tapi kami ragu dengan kata-kata kami sendiri. Karena, apa iya, Siman memahami dan tau kata dan cara kritik? Mungkin Siman tak sepintar itu. Sehingga kami memutuskan jangan-jangan Siman bergerak lambat sebagai upaya untuk menyampaikan pada banyak orang tentang apa yang dia lihat. Terlebih karena dia nggak bisa ngomong lagi dan terjadi peristiwa dimana si dukun atau orang yang dipercaya warga mengatakan Siman tidak waras. Mungkin Siman berpikir itu satu-satunya cara baginya untuk berkomunikasi atas apa yang ia lihat.
Kembali ke tempo Siman yang pelan. Sesuai dengan apa yang tante Stella bilang, setiap orang punya ritme atau tempo yang berbeda dan dipengaruhi kondisinya. Siman pun sepertinya begitu. Seenggaknya di awal ketika kami nonton sampai tiba-tiba Siman bergerak cepat kembali. Nah, kami sempet nanya nih sama si sutradara, kok gitu? Kata doi Siman khilaf! Ya bisa jadi. Atau bisa jadi tidak. Soal tempo ini, kami menemukan pola yang menarik.
Coba perhatikan baik-baik. Siman hanya bergerak cepat ketika tujuan utama karakternya terganggu. Entah dengan gangguan apapun. Misal, ketika uang yang ia tabung untuk berangkat ke bulan dicuri. Temponya jadi normal. Atau ketika ia beres menghibur di ulang tahun dan dibayar terlambat. Temponya juga normal. Atau ketika dia sange, yang kami pikir tujuan awal karakter ini yang harus pergi ke bulan atau semacamnya, tertutup keinginan bersetubuh. Sehingga kecepatannya kembali normal. Apa gitu kali ya? Yang jelas kami menangkap pola pergerakan dari lambat ke normal dengan kondisi macam itu. Mungkin butuh konfirmasi lagi sama si sutradara dan aktor. Ajak Bincang Aktor kali ya!
Oke, itu soal tempo yang menurut kami merupakan capaian yang menarik dari aspek fisiologis. Tapi kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, adakah capaian lain di aspek fisiologis? Tentu. Bisu adalah capaian yang lain. Ketika Siman bisu, ia secara otomatis kehilangan satu alat utama untuk berkomunikasi dengan orang lain. Menariknya, Siman tidak belajar bahasa isyarat. Mungkin relevan, karena Siman tinggal di desa dengan kondisi ekonomi pas-pasan di tahun tertentu yang sama sekali tidak terpikir untuk belajar bahasa isyarat. Ketika ia tidak belajar bahasa isyarat, maka Siman harus menyampaikan perasaannya dengan cara yang lain. Di satu adegan, ia menyampaikan dengan bahasa tubuh. Di adegan lain, dengan permainan inner yang baik. Sedikit catatan saja, karena tokoh ini bisu, adegan silent act penuh arti jadi ada sangat banyak. Jadi, ketika menonton film ini, kalian emang harus memperhatikan betul apa yang Siman lakukan.
Ada tambahan lagi, Siman kan terbatas dalam berkomunikasi, jadi pasti ada momen dimana upaya komunikasi Siman gagal dipahami, entah oleh kawan mainnya, atau oleh penonton. Kami rasa itu nggak masalah karena bisa jadi itu memang konsep si sutradara. Ingat satu dialog penting di film ini yang diucapkan oleh salah satu tokoh kecil. Dia bilang;
“Iso krungu ning ora iso nyatakke” (Bisa mendengar tapi nggak bisa menyatakan).
Kami rasa dialog itu adalah inti dari Siman dan mungkin film ini. Jadi kalau Siman tak dimengerti, nggak masalah. Orang konsepnya emang begitu. Kalau Siman dimengerti, ya bagus, berarti penonton atau kawan mainnya melihat Siman lebih dalam. Kami sempat berpikir itu esensi dari karakter ini. Bener nggak ya? Bincang Aktor sama Mas Gun menarik nih!
Terus apalagi capaian fisiologisnya? Hmmm… selain tempo lambat dan bisu, kami tak mendapati capaian fisiologis yang lain. Seperti misalnya perubahan cara berjalan ketika temponya normal, cara memainkan tangan saat temponya normal, atau bentuk fisik dasar si karakter. Apakah bentuk torsonya berubah, bentuk dadanya berganti, atau perubahan yang lain, kami tak menemukannya. Tapi kami mendapati satu perubahan kecil di bagian wajah Mas Gun. Perubahannya terletak di pipi atau rahang bagian kiri (kalau kami nggak salah). Di bagian itu terlihat agak menggelembung. Kami agak lupa, apakah itu memang bentuk pipi atau rahang Mas Gun atau milik Siman yang diciptakan Mas Gun? Udah, itu aja untuk capaian fisiologis.
Capaian Dimensional yang Lain?
Ada nggak? Ya jelas ada. Kami sudah menyampaikan sedikit di sub judul sebelum ini yaitu soal kedalaman emosi Siman. Seperti yang kami bilang, Mas Gun dalam Siman kehilangan satu alat utama untuk berkomunikasi. Sementara karakter ini tetap butuh berkomunikasi dengan orang lain. Akhirnya, yang bisa digunakan oleh Siman adalah tubuhnya atau operasional dalam Siman. Kamu bisa menyebut operasional dalam sebagai inner acting, silent act, inner monolog, atau apapun sebutan yang akrab di telingamu. Satu hal yang pasti, karena alat komunikasinya terbatas, alat komunikasi lain yang jarang terpakai jadi dipakai dan dimaksimalkan. Sehingga, permainan emosi yang intens dan dalam sangat mudah kita jumpai di tokoh ini.
Misalnya adegan ketika ia pulang dari dipotong lidahnya. Kita bisa menyaksikan ketakutan yang teramat sangat dan Siman seperti berteriak kencang sekali tapi tertahan. Intensitas emosinya menarik. Lalu adegan lain, ketika Siman akan disembuhkan oleh si dukun (Yudi Ahmad Tajudin yang main), di adegan itu kita bisa menyaksikan Siman merasakan ketakutan dan kesakitan yang teramat sangat. Tapi ada juga adegan yang normalnya dia sedih, tapi kelihatannya tidak sama sekali. Adegan itu terjadi ketika ibunya meninggal bunuh diri. Ketika adegan itu, Siman hanya diam. Kami merasa ada hal besar yang terjadi di operasional dalam si karakter. Tapi entah kenapa nggak tertangkap dengan baik untuk pihak yang ada di luar Siman. Nggak masalah juga, kan dia “ora iso nyatakke”. Maka mungkin memang seharusnya ada momen Siman tak mampu menyatakan perasaannya pada dunia di luar Siman. Atau mampu, tapi dunia nggak bisa mendengar.
Jadi, secara keseluruhan, pada aspek permainan emosi, Mas Gun berhasil. Ia berhasil intens dengan porsi dan timing yang tepat, dan berhasil intens dengan tidak dimengerti oleh orang lain di timing yang tepat juga. Selain itu, adalah? Hmmm… nggak ada.
The Science of Fictions dan Kontrol Diri yang Hampir Sempurna
Dari semua capaian yang sudah kami tulis di atas, satu kemampuan penting yang membuat segala capaian itu terjadi. Kemampuan itu ialah kontrol diri. Tante Stella di bukunya The Art of Acting halaman 73 mengatakan;
“Let’s not even use the word acting. Let’s start by talking about “controls.” When you use a control, it changes the nature of everything you do. It forces you to act in a certain way. They simplify your task. You can’t play “old.” You can’t play “young.” But you can find physical controls that will make you seem old or young.”
Menurut tante Stella, akting itu sedikit banyak bicara soal kemampuan kita mengendalikan diri dan kesadaran. Kalau dalam kutipan itu hanya tubuh yang disebutkan. Tapi secara keseluruhan adalah tubuh dan kesadaran. Katanya, ketika kamu menggunakan kontrol, segala yang secara alamiah terjadi padamu akan berubah. Akting menurut Tante Stella adalah mengendalikan tubuh dan kesadaran untuk ada di kondisi tertentu. Dalam hal ini kondisi karakter.
Siman begitu, Siman secara kondisi fisiologis, sosiologis, dan psikologis sangat berbeda dengan Mas Gun (seharusnya). Jadi, Mas Gun mau tak mau harus mengendalikan tubuh dan kesadarannya untuk hidup dalam tubuh dan kesadaran Siman. Ia harus mampu membuat tubuhnya bergerak lambat dengan cara si Siman, mampu menyampaikan emosi Siman yang bisu, dan lain sebagainya. Sudah berhasilkan ia ada di posisi itu? Menurut kami, sebagian besar iya, sebagian yang lain akan, sebagian yang lain tidak.
Itu yang menarik. Dalam film The Science of Fictions, kami melihat penguasaan gerak lambat yang tumbuh. Entah ini disadari atau tidak oleh Mas Gun. Di awal film The Science of Fictions, gerak lambat Siman tampak ringkih dan tidak kokoh. Tapi seiring berjalannya waktu (dalam satuan waktu film dan Siman), kemampuan bergerak lambat Siman semakin kokoh dan kuat. Pertumbuhan itu menarik dan kontrol tubuh serta kesadaran adalah kuncinya. Tapi persoalannya, jika itu tidak disadari oleh si aktor, maka kami tak bisa menyebut itu sebagai sebuah capaian.
Secara keseluruhan, permainan Mas Gun menarik. Ia memiliki kontrol yang baik atas tubuh dan kesadarannya. Meskipun sebagian laku si karakter tak terjelaskan di film atau motivasinya buntung, tapi karena mungkin itu “konsep”, maka sah-sah saja. Ingat, mungkin Siman memang harus jadi karakter yang “Iso krungu ning ra iso nyatakke”. Termasuk film The Science of Fictions ini. Mungkin dimaksudkan untuk menjadi film yang iso krungu ning ra iso nyatakke. Meskipun juga ada beberapa capaian fisiologis dalam sudut pandang lain yang tidak tergapai baik dan signifikan.
Soal pemain yang lain kami tak bisa menyampaikan banyak hal. Capaian mereka sulit kami bilang signifikan. Dari banyak aspek lah. Beberapa aksen yang buntung dan rusak, terutama aksen Jawa yang… haaaah! Tolong munculkan satu pelatih aksen Jawa yang keren donk! Biar aksen Jawanya nggak buntung begitu. Pun juga soal capaian fisiologis. Hmmm… mungkin “tidak punya waktu”, atau “ora iso nyatakke”?