Sound of Metal; Tokoh yang Berada Diambang
Setelah kemarin Mank disebutkan oleh banyak ahli akan mampu menembus nominasi Oscar, permainan Riz Ahmed di Sound of Metal juga disebutkan banyak pihak bisa masuk ke dalam salah satu nominee Oscar tahun depan. Kami pun tertarik menulis review tentang film yang sudah rilis di Amazon Prime ini. Pokoknya, bagi kami, untuk sementara ini, ketika satu nama digadang-gadang akan masuk Oscar, kami akan menulis reviewnya. Kenapa? Oscar punya standar keaktoran yang menarik, nggak sembarangan dan kami bisa bilang terpercaya. Tentu, siapa yang tidak percaya pada 6000 lebih voter Oscar yang hampir semuanya mungkin berangkat bukan hanya dari pengalaman semata, tapi juga melalui sekolah yang rumit dan melelahkan. Setidaknya pemilihan nominasi di Oscar, hampir semuanya selalu berkualitas dan nggak bias. Sementara yang punya negeri sendiri? Ah sudahlah.
Oke, balik lagi soal permainan Riz Ahmed di Sound of Metal. Kenapa ia bisa masuk radar para ahli dan digadang-gadang bisa masuk Oscar? Kami menemukan jawaban utamanya. Tapi ada hal-hal kecil lain yang pada akhirnya menyusun jawaban utama itu. Jadi, apa?
Fisiologis?
Ah, tentu tidak. Kalau kami melihat banyak nama yang masuk ke radar para ahli dan digadang-gadang masuk Oscar tahun ini, tidak banyak nama yang punya capaian fisiologis signifikan. Apalagi kalau mau dibandingkan dengan tahun lalu, atau dua tahun lalu, atau tiga tahun yang lalu dimana selalu ada yang memiliki capaian fisiologis yang menarik. Sementara untuk nama-nama yang diprediksi bisa masuk Best Actor Oscar tahun depan belum ada satupun yang punya capaian fisiologis yang signifikan dan menarik.
Kenapa sih, AkuAktor nih selalu bicara soal capaian fisiologis duluan? Kalau kamu sudah sering membaca acting review kami, maka kamu tahu jawabannya. Buat yang belum, tak bosan-bosan kami mengatakan kalau fisiologis adalah dimensi yang paling mudah terlihat, pada satu sisi paling sulit diciptakan dan di sisi lain paling mudah diciptakan. Intinya, fisiologis seperti kulit terluar dari karakter. Jika kulit terluarnya tidak sangat menarik, bagaimana dengan bagian dalamnya? Katanya akting itu jadi orang lain? Bukan begitu? Kalau kulit luarnya masih jadi si aktor, ya masak itu orang lain? Bener nggak? Salah? Ya sak karepmu! Oke, itulah pokoknya. Balik lagi ke Sound of Metal.
Riz Ahmed di Sound of Metal tetap memiliki capaian fisiologis, tapi tidak signifikan. Capaian fisiologis Riz Ahmed antara lain rambut yang disemir, potongan rambut yang agak berubah, aksen, dan sedikit pada cara berjalan. Sementara yang lain? Tidak. Kami melihat Riz Ahmed di filmnya yang lain, seperti misalnya; Nightcrawler, atau Venom. Pada setidaknya dua film itu, kami melihat bentuk tangan dan cara memainkan tangan yang sama. Kalau kami bisa jelaskan, bentuk tangan Riz Ahmed hampir selalu menggunakan telunjuk dan jempolnya saja sementara tiga jari yang lain hampir selalu agak ditekuk ketika sedang bergerak atau berbicara.
Selain tangan, kita bisa melihat bentuk mata yang sama. Kalau yang ini di semua momen, mau di film atau pun di luar film ketika sedang interview. Riz sepertinya memang orang yang punya mata belo atau kelihatan besar. Tapi jika kita percaya bahwa aktor yang baik adalah aktor yang punya kontrol yang baik atas dirinya, seharusnya mata bukan jadi sebuah persoalan. Ia bisa membentuk matanya sedemikian rupa sehingga menjauhi bentuk aslinya dan mendekat ke bentuk karakter. Tapi mungkin, salah satu alasan sutradara memilih Riz Ahmed sebagai pemain karena matanya yang belo itu. Jadi, Riz tak perlu menciptakan apapun dari matanya.
Oke, itu soal fisiologis yang hampir sulit dikatakan punya capaian signifikan. Ada capaian, tapi tidak banyak. Kalau kita lihat dari kebiasaan para peraih Oscar sebelumnya, maka salah satu syarat utama seseorang mampu meraih Oscar adalah ketika ia berhasil mengubah secara signifikan aspek fisiologisnya. Kita ambil contoh kasus Gary Oldman ketika ia bermain sebagai Churchill. Kita bisa melihat ia memiliki capaian fisiologis yang jauh dari dirinya sendiri. Bahkan tahun itu ia berhasil menyingkirkan Daniel Day-Lewis yang juga bermain luar biasa di Phantom Thread, tapi tak memiliki capaian fisiologis se signifikan Gary Oldman. Atau ketika era Rami Malek. Ia berhasil menyingkirkan Eddie Redmayne, yang juga punya capaian signifikan pada fisiologis, tapi tidak sangat dekat dengan tokoh asli yang ia mainkan. Jadi, sejatinya, para voter Oscar itu punya kecenderungan pemilihan. Dan fisiologis adalah salah satu parameter paling jelas.
Ada satu yang ketinggalan soal capaian Riz Ahmed dalam aspek fisiologis di Sound of Metal. Ia berhasil membuat dirinya merespon ketulian dan responnya tumbuh. Tapi kami agak bingung apakah memasukkan ini dalam capaian fisiologis atau pada permainan emosi. Untuk sementara ini kita sebut sedikit di capaian fisiologis lah ya. Karena pendengaran tentu berhubungan dengan fisiologis. Di Sound of Metal, capaian fisiologis yang cukup bias ini terbantu dengan sound editing yang kami sangat yakin, bisa mendapatkan Oscar.
Permainan Emosi di Sound Of Metal?
Nah, ini yang jadi alasan terbesar dan paling utama soal kenapa Riz Ahmed disebutkan oleh banyak orang akan mendapatkan tempat di Oscar tahun ini. Bahkan, kalau kami membandingkan permainan emosi Riz Ahmed di Sound of Metal dan Gary Oldman di Mank, kami bisa bilang, Riz Ahmed menang telak. Dari awal kami menonton film ini, kami sudah menulis sebuah catatan kecil yang mengatakan kalau; “Sepertinya dalam film ini yang akan kita highlight adalah pertumbuhan karakter dan juga kedalaman emosinya. Banyak banget emosi-emosi dalam dan intens di film ini.”
Itulah yang terjadi. Karakter ini sepertinya memang dibangun sebagai karakter yang sangat emosional tapi sekaligus berusaha mengendalikan emosinya. Kita bisa tahu dari film bahwa karakter ini, Ruben namanya, sebelumnya adalah seorang pecandu narkoba. Tapi ia berhasil bersih selama 4 tahun. Tapi coba lihat di adegan awal sebelum ia masuk ke fase mulai tuli. Kita bisa melihat karakter ini punya sejarah yang sepertinya sangat hancur. Seperti ada sesuatu yang sangat besar di balik matanya.
Coba perhatikan ekspresi Ruben ketika ia mulai tidak mendengarkan suara. Kita bisa melihat ekspresi yang cukup menarik. Ia merespon kondisi itu dengan sangat baik, perlahan, dan seperti benar-benar baru mengenal kondisi tuli itu. Ada sedikit kekhawatiran, tapi seperti tertahan dan keyakinan untuk terlihat baik-baik saja tetap muncul. Kembali lagi seperti yang kami bilang, tokoh ini sepertinya dibuat selalu ada diambang antara mau marah dan mau mengekspresikan semua emosinya atau menahan semua emosinya.
Perhatikan lagi adegan setelah dia main drum, lalu keluar dari panggung. Kita bisa melihat kegelisahan yang menarik. Temponya tentu jadi sangat cepat dan tak teratur. Tapi ada satu laku tubuh yang kami rasa menarik dan hampir tidak pernah melihatnya di semua film Riz Ahmed. Laku tubuh itu adalah saat dia memegang kaos bagian bawahnya. Kami rasa bentuk itu nggak pernah muncul di tokohnya yang lain.
Kesan “berada di ambang” hampir selalu dilalui karakter ini. Kalian bisa melihatnya lagi di adegan ketika ia datang ke komunitas orang-orang tuli. Disana kita bisa melihat kemarahan pada dirinya sendiri yang sangat besar, ketakutan, dan perasaan negatif lainnya yang muncul luar biasa besar, tapi berusaha dikendalikan oleh karakter ini. Entah apa sejarahnya. Apakah Ruben sudah berjanji untuk tidak pernah marah lagi pada kekasihnya, Lou? Tidak disebutkan di film.
Tapi, tidak semua adegan di film ini selalu berada di ambang. Kita bisa melihat beberapa adegan ketika dia marah besar. Misalnya ketika ia menghancurkan barang-barangnya sendiri di dalam mobil RV miliknya. Kita bisa melihat Ruben tidak lagi berada di ambang. Ia sudah ada di ruang kemarahan yang sangat besar. Ruben tak lagi bisa mengendalikan kemarahan tersebut sehingga meledaklah kemarahan itu. Di adegan ini hampir tidak ada upaya mengendalikan sampai Lou berusaha mengendalikannya.
Tapi pada adegan berikutnya, ketika Lou akan pergi, kita bisa melihat emosi yang intens dan menarik. Ada ketakutan dan kemarahan yang sangat besar. Serta upaya untuk mengendalikan perasaannya dan kondisi yang dia alami sekarang. Di adegan ini kita bisa merasakan hatinya yang sakit, kesedihan yang besar, dan sekali lagi, upaya untuk mengendalikan semua perasaan itu. Upaya mengendalikan semua perasaan itu yang membuat penonton merasakan sakit yang jauh lebih dalam.
Ada lagi adegan dimana Ruben sedetik tidak ada di ambang, sedetik ada di ambang. Adegan ini sangat menarik menurut kami. Adegan itu terjadi ketika ia masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan kertas untuk menulis dan Ruben membawa donat. Di adegan itu ia memukul donat beberapa kali sebagai bentuk kemarahannya. Lalu ketika ia menata donatnya kembali, kami bisa melihat itu sebagai upaya untuk mengendalikan kemarahannya. Ini yang kami bilang Ruben di adegan ini sedetik berada di ambang, di detik berikutnya sudah nyemplung ke perasaan marah.
Selain soal lakunya memukul donat yang menarik, emosi di adegan ini terasa sangat intens dan dinamis. Kita bisa melihat kemarahan yang besar, tapi nggak meledak-ledak dan stagnan. Ada grafik naik turun yang membuat kita mampu menikmati kemarahan itu. Satu hal lagi yang menarik adalah ledakan atas emosi marah itu terjadi di momen yang tepat dengan tangga yang tepat.
Tapi berbeda ketika adegan dia bermain dengan anak-anak, disana kita bisa melihat kemarahan yang tiada sama sekali. Apa yang terjadi pada karakter ini? Apakah ia mulai bisa mengendalikan dirinya dan melupakan penyesalan dan kekecewaannya? Kami akhirnya berpikir bahwa ada beberapa fase pada karakter Ruben di Sound of Metal. Setidaknya ada 5 fase. Pertama adalah fase tidak tuli, lalu fase akan masuk tuli, fase tuli, fase pasca operasi, dan fase akhir. Setiap fase ini dilalui dengan sangat baik.
Misalnya ketika Ruben bermain dengan salah satu anak di perosotan. Kami bisa melihat perpindahan dari fase tuli, ke fase menerima ketuliannya. Setelah itu kami melihat ia bisa menghilangkan hampir semua kemarahannya dan menjadi Ruben yang terlihat lebih cerah. Intinnya, Ruben akhirnya berhasil berdamai dengan kondisinya.
Lalu pada fase terakhir, ketika ia berhasil mendengar lagi, kita bisa melihat pertumbuhan emosi yang sangat menarik. Awalnya ia sangat bahagia karena bisa mendengar lagi. Tapi kemudian ia seperti kecewa karena tidak seperti yang ia bayangkan. Ia mendengar suara tidak sejernih yang ia pikirkan, atau nggak kembali sepenuhnya dalam kondisi normal. Perubahan emosi itu terjadi relevan, dengan tempo yang tepat, dan menarik.
Jadi, setiap momen yang dilalui tokoh ini selalu ditunjukkan dengan emosi yang intens. Hampir semua momen. Nah, kami pikir, inilah alasan utama kenapa Riz Ahmed dilirik banyak pakar dan digadang-gadang akan mampu menembus Oscar.
Satu hal lagi yang perlu digaris bawahi dari capaian Riz adalah tempo dasar karakter. Kami nggak tahu apakah harus memasukkan ini ke capaian fisiologis atau ke permainan emosi. Tapi kami sebut saja. Tokoh ini punya tempo dasar yang cukup cepat. Lalu tempo itu terlihat tumbuh dengan relevan dan sangat baik. Ketika ia mulai kehilangan pendengarannya, kita bisa melihat tempo karakter semakin cepat dan acak. Kami rasa, tempo yang semakin cepat itu muncul karena Ruben berusaha mengendalikan emosinya tapi “bisa nggak bisa”. Jadi seperti yang kami bilang di atas, “ada di ambang”.
Terima kasih, viva aktor!