[Flash Review] The Science of Fictions; Relasi Imaji dan Realita yang Menarik
The Science of Fictions adalah salah satu film yang paling kami tunggu di JAFF. Terutama setelah kami melihat trailernya. Kami sangat tertarik melihat tokoh Siman. Seorang lelaki yang bergerak lambat setelah ia menyaksikan proses shooting pendaratan di bulan yang dilakukan di Parang Kusumo. Setidaknya ada 2 hal yang membuat kami tertarik. Selain soal Siman, juga soal sinopsis ceritanya yang menurut kami tak pernah terlintas dalam pikiran banyak orang.
Flash Review ini bebas spoiler. The Science of Fictions ini juga bisa kalian tonton di bioskop tahun depan. Kami belum mendapatkan informasi kapan, tapi yang jelas tahun depan kalian bisa menyaksikannya di bioskop. “Jadiin Box Office!” Itu kata Anggi Noen.
The Science of Fictions, Relasi Imaji dan Realitas yang Menarik
Setelah kami selesai menonton film ini, salah satu yang membuat kami terpukau adalah bagaimana Anggi Noen berhasil merelasikan antara imaji yang ada di kepalanya dengan realitas yang ada. Bahkan dalam penangkapan kami bukan hanya soal imaji Anggi Noen dan Realitas yang ada. Dalam realitas itu ia juga mengambil teori-teori konspirasi yang menarik.
Seperti yang kalian tahu, dalam sinopsisnya diceritakan kalau pendaratan di bulan yang dilakukan Amerika adalah sebuah penipuan besar. Sampai saat ini banyak orang percaya bahwa itu hanya rekayasa kamera saja. Bukan rekaman asli. Nah, teori konspirasi ini berhasil “dicomot” Anggi Noen dan dijadikan dasar cerita The Science of Fictions.
Setelahnya ia memperlakukan teori konspirasi itu dengan tepat. Ia menempatkan teori konspirasi di Parang Kusumo, yang notabene setidaknya dekat dengannya, banyak penonton, dan mungkin kami. Lalu tidak berhenti pada meletakkan di Parang Kusumo saja, tapi ia juga membuat peristiwa lain yang menjadikan imajinya semakin terasa relate. Kami tak bisa mengatakan Anggi merelasikannya dengan apa, tapi yang jelas akan ada beberapa adegan di awal yang membuat imajinasi itu benar-benar terasa nyata dan ada di sekitar kita.
Tokoh yang “Khilaf”
Pada sesi tanya jawab, kami sempat bertanya kenapa tokoh Siman kadang bergerak cepat dan terkadang bergerak lambat. Jawaban yang kami dapatkan sangat sederhana. Khilaf. Seketika kami menyadari satu hal yang memang ada pada manusia. Sebuah kekhilafan. Proses pikiran dan perasaan yang terjadi dalam diri manusia yang katanya tidak bisa dijelaskan sehingga kemudian disebut sebagai sebuah kekhilafan.
Kami tertarik dengan bahasan ini. Kami tahu bahwa setiap manusia memang bisa khilaf. Kami sepakat karena dari konstruk sosial tokoh Siman, ia sangat mungkin bisa khilaf dan tidak bergerak lambat lagi. Tapi kemudian yang jadi pertanyaan kami adalah kenapa khilaf? Apa yang membuatnya khilaf? Apakah itu muncul seketika? Bukankah dalam sudut pandang seni peran, semua itu punya motivasi atau alasan?
Mungkin jika kita tidak berusaha menjelaskan apapun, maka semua hal bisa kita katakan sebagai suatu kekhilafan. Tapi bukankah siapapun yang bermain dalam film dan memutuskan menjadi aktor memiliki sebuah tanggung jawab profesional untuk mengetahui apa-apa saja yang membuat si tokoh menjadi khilaf? Sehingga ia bisa menata dan meletakkan kekhilafan tersebut di posisi yang tepat?
Dalam active analysis milik Stanislavski memang dikatakan bahwa “mengunci spontanitas” adalah tujuan dari latihan tersebut. Sehingga aktor bisa memunculkan pergerakan tubuh dan emosi yang baru dan segar. Tapi dalam Active Analysis, spontanitas itu dilatih dan dicobakan untuk kemudian bisa dikunci. Atau dalam bahasa yang agak sederhana, kekhilafan itu dilatihkan oleh si aktor sehingga ia tahu pada momen apa kekhilafannya muncul, pada kesadaran macam apa kekhilafan si tokoh bisa muncul. Kalau ternyata semua bisa dimaafkan dengan “muncul begitu saja” maka tak perlu ada seni peran nampaknya.
Kami sebenarnya menemukan alasan dan pola kenapa Siman bisa bergerak cepat dan lalu bergerak lambat. Kami menangkap, Siman akan bergerak cepat ketika ia menghadapi sebuah peristiwa dengan emosi yang besar. Ada beberapa adegan yang mengindikasikan hal tersebut. Kami tak bisa menyebutnya apa, setidaknya tidak sekarang. Tapi yang membuat kami ragu adalah bahwa pada bagian lain, yang rasa-rasanya emosinya tidak sebesar adegan yang bisa memantik “kekhilafannya” kami mendapati tempo gerak yang berbeda. Kenapa itu bisa terjadi? Khilaf lagi?
Kami berusaha meyakini bahwa Siman dengan sadar memilih untuk bergerak lambat. Ia bergerak lambat bukan karena kesakitan baik fisik atau psikis. Ia secara sadar, sebagai sebuah bentuk pemberontakan, atau semacamnya, memilih untuk bergerak lambat.
Di luar itu, kami rasa permainan Gunawan Maryanto menarik. Ia memiliki penguasaan tubuh yang baik dan mobilitas yang menarik. Dalam tubuh-tubuh mas Gun, kami melihat ada jejak-jejak latihan Butoh dan sejenisnya. Menarik.
Kita akan menuliskan lebih banyak lagi soal permainan Gunawan Maryanto di acting review yang akan kita rilis beberapa bulan kedepan setelah film ini tayang di bioskop. Atau mungkin, bisa lebih cepat. We’ll see!