[Flash Review] Mountain Song; Cerita yang Menarik
Mountain Song merupakan sebuah film yang disutradarai oleh Yusuf Radjamuda. Film ini menjadi salah satu film yang kami tonton di hari terakhir perhelatan JAFF tahun 2019 ini. Kami memilih Mountain Song karena kami pikir film ini akan semenarik gaungnya. Tapi apakah benar begitu? Bagaimana setelah selesai menonton? Apakah film ini masih semenarik seperti sebelum kami menonton?
Flash Review ini bebas spoiler jadi aman dibaca sampai akhir. Jadi entah akan dimana dan kapan film ini akan diputar, kalian tetap bisa melihatnya tanpa terganggu alur cerita.
Mountain Song, Cerita yang Menarik dan Hal Lain
Mohon maaf yang sebesar-besarnya soal ini. Setelah selesai menonton film Mountain Song, hanya ada dua hal yang membuat kami tertarik atas film ini atau setidaknya kemudian memiliki intensi menuliskan sesuatu untuk Mountain Song. Dua hal tersebut yang pertama adalah cerita. Cerita yang kami maksud disini bukan rangkaian gambar yang sudah disusun sedemikian rupa menjadi sebuah film yang kami tonton. Jujur saja, ketika kami menonton film ini, pada hampir menuju pertengahan, kami sudah bosan. Kami bingung apalagi yang bisa dinikmati. Lalu seketika kami ingat kalau film ini mendapatkan penghargaan naskah terbaik di Asian New Talent Award Shanghai International Film Festival (SIFF) 2019.
Dari situ kemudian kami langsung mengganti sudut pandang kami. Dari film yang dipertontonkan, kami berusaha membaca dan membayangkan kira-kira naskahnya akan ditulis seperti apa. Caranya adalah dengan memahami hal yang paling mendasar dari cerita yang terpampang di layar besar. Dari apa yang kami lihat dan berusaha kami raba, Mountain Song memang memiliki cerita yang menarik.
Premis cerita dari film ini begitu otentik. Papa Al, panggilan akrab Yusuf Radjamuda berhasil mengangkat hal yang sepertinya paling minor dalam kehidupan makro sosial rakyat Indonesia. Ia bukan hanya berhasil mengangkat, tapi juga berhasil meletakkan idiom-idiom daerah di tempat yang tepat.
Selain soal cerita, treatment kamera film ini juga menarik. Treatment kamera film ini jika kami tak salah ingat seperti treatment kamera film-film neorealism yang long shot, still, dan berdurasi lama. Treatment kamera ini menarik jika kemudian Papa Al berkeinginan untuk menunjukkan keterasingan pada penonton atas apa yang mereka tonton. Kami berhasil merasa asing. Asing dalam pengertian yang baik dan asing dalam pengertian yang buruk.
Setiap kali kami merasa sebuah film tidak “sesuai selera” kami. Kami selalu berkaca. Benarkah film ini tak sebegitu menarik? Atau mungkin kami saja yang belum punya pisau bedah yang cukup untuk menikmati film ini. Apakah butuh kemampuan menyentuh “beyond” agar bisa memahami film-film macam ini?
Permainan yang Tak Bisa Dinilai
Kami lebih mohon maaf lagi kalau soal yang satu ini. Kami memang selalu berusaha menghindari menilai permainan anak-anak karena kami pikir, anak-anak punya treatment capaian yang lain dan tidak bisa kita sama ratakan dengan orang dewasa. Tapi dalam film ini kami sungguh terlampau gatel untuk tidak bicara.
Kami merasa, ini bukan hanya terjadi di anak-anaknya saja, tapi juga di orang dewasa. Semua dialog mereka flat, datar, tanpa dinamika, dan bahkan tanpa emosi. Kami bingung, mungkin pengetahuan kami saja yang rendah soal nada logat daerah dimana Mountain Song dibuat. Karena meski mereka menggunakan bahasa daerah, kami tak mendapati ada kehidupan dalam tiap dialog mereka. Semua kata-kata yang keluar seperti bau kertas.
Kami sadar bahwa para pemainnya memang non actor. Tapi kemudian kami melihat sebuah nama di credit title. Seorang acting coach juga dipakai di film ini. Lalu bagaimana acting coach men-treatment para pemain? Tidakkah seharusnya meskipun non actor, dan tidak bisa menciptakan tokoh sekompleks dan sebagus aktor profesional, mereka bisa menunjukkan kehidupan mereka yang sebenarnya? Seperti layaknya film Laskar Pelangi dimana hampir semua aktornya adalah bukan actor profesional. Tapi semua dialog, laku, respon, aksi reaksi, dan beberapa dimensi yang lain hidup.
Mountain Song memang menarik. Tapi dalam sudut pandang kami (boleh berbeda dengan sudut pandang kalian) yang menarik adalah naskah dan treatment kamera yang buat kami baru.