The Last King of Scotland: Kekurangan Tokoh
The Last King of Scotland merupakan sebuah film yang bercerita tentang “Black Hitler”, Idi Amin. Di dalam film ini Forest Whitaker mengambil peran sebagai Idi Amin. Ada pertanyaan besar yang nyangkut di kepala kami setelah menonton permainan Forest Whitaker. Pertanyaannya adalah bagaimana kesan Idi Amin yang secara fakta diketahui sebagai diktator kejam, tapi sekaligus terlihat naif, dan kekanak-kanakan di satu waktu yang bersamaan? Apa yang Forest Whitaker lakukan? Mari kita bicarakan!
Pertama, Mirip Nggak?
Kita bahas itu dulu. Karena ini adalah film biopik, maka mau tidak mau pembandingnya langsung pada tokoh Idi Amin yang Asli. Apakah mirip? Coba kalian lihat dua video di bawah ini. Video yang pertama adalah video Idi Amin.
Video berikutnya adalah Forest Whitaker sebagai Idi Amin.
Bagaimana? Mirip? Tentu tidak. Tidak semua maksudnya. Hanya sebagian. Coba perhatikan aksen yang diciptakan Forest Whitaker dan bandingkan dengan aksen Idi Amin. Sama? Dari apa yang kami dengar, mendekati. Pada pengucapan beberapa huruf konsonan, cara Forest mendekati cara Idi Amin.
Perhatikan cara Forest mengucapkan huruf “Th”, “D”, “T”, serta pengucapan beberapa kata yang mengandung huruf “R”. Cara mengucapkan huruf-huruf tersebut sama seperti Idi Amin mengucapkan huruf-huruf itu. Secara keseluruhan dan sejauh penglihatan kami, penciptaan dimensi fisiologis yang paling mencolok dari Forest Whitaker adalah aksennya. Bagian yang lain bukan tidak diciptakan, tapi tidak se mencuri perhatian seperti aksen yang berhasil Forest Whitaker ciptakan.
Jika pertanyaannya mirip atau tidak, maka jawabannya mirip, sebagian. Sebagian yang lain mendekati, dan sebagian yang lain tidak sama sekali.
Capaian Forest Whitaker Sejauh Mana?
Kalau bicara soal mirip mungkin tidak sangat mirip. Tapi kalau bicara soal capaian, berbeda. Kalau soal capaian, kami tidak hanya menggunakan Idi Amin sebagai pembanding saja, tapi juga Forest Whitaker sendiri sebagai pembanding. Maksudnya begini; secara sederhana, setiap kali kami menonton film biopic, kami akan selalu membandingkan dengan tokoh aslinya. Tokoh aslinya adalah tujuan si aktor. Atau kalau dalam angka, tokoh asli adalah 10. Sementara si aktor adalah 0.
Lalu capaiannya antara 0-10. Jika ia ada di angka 10 maka ia sangat mirip dan secara otomatis sangat berhasil. Tapi jika ia ada di angka 8 kebawah, mungkin ia tidak mirip, tapi punya nilai lain yang membuat permainannya menarik. Atau kalau ia ada di angka 5 ke bawah, maka ia lebih mirip ke dirinya sendiri atau tidak mendekati tokoh, tapi sekaligus menjauh dari si aktor. Apakah itu capaian? Kita tentu harus bertanya pada sutradara dan aktor. Apakah itu konsep yang diinginkan? Atau semata karena tidak tahu akan menciptakan seperti apa? Lalu Forest Whitaker ada dimana? Kami bisa bilang ciptaan Forest Whitaker ada di angka 7. Kenapa?
Pertama, kemiripan yang diciptakan Forest tidak menyeluruh. Hanya pada beberapa bagian saja. Pada beberapa momen, cara memandang Forest sama seperti ketika Forest bermain di filmnya yang lain. Kami akan tunjukkan video Forest ketika ia menerima Oscar.
Perhatikan caranya berjalan, caranya memainkan tengkuk leher dan kepala. Semua cara itu muncul ketika ia bermain sebagai Idi Amin. Pertanyaannya, apakah mungkin Idi Amin memiliki laku tubuh yang spesifik sama seperti Forest? Mungkin. Tapi sebesar apa kemungkinannya? Kecil.
Alasan kedua adalah karena Forest juga berhasil menciptakan aspek-aspek detail yang lain. Seperti misalnya suara dan cara bernafas. Silahkan cek video interview Idi Amin yang ada di atas. Perhatikan bagaimana caranya bernafas. Kemudian bandingkan dengan video Forest Whitaker sebagai Idi Amin. Kita bisa melihat keduanya kebanyakan bernafas menggunakan nafas dada dan nafasnya pendek. Cara bernafas ini penting disadari dan diciptakan. Kenapa? Karena dari cara bernafas, seorang aktor bisa menemukan cara bicara tokoh dengan lebih sempurna.
Kamu perlu tahu kalau suara itu disusun atas 3 hal. Ini sejauh pengetahuan dan pencarian kami. Jadi, 3 hal yang menyusun suara adalah udara atau nafas, resonansi atau pita suara, serta bentuk mulut dan lidah atau bentuk fisik. Ketika aktor berhasil menemukan 3 aspek itu maka caranya bicara akan berubah drastis. Seperti apa yang terjadi pada Forest Whitaker.
Perhatikan baik-baik cara Forest Whitaker bicara ketika menjadi Idi Amin di The Last King of Scotland. Ia menciptakan cara bernafas yang mendekati cara bernafas tokoh. Ia juga menciptakan posisi lidah dan mulut, yang kemudian menghasilkan aksen yang mirip dengan tokoh. Selanjutnya Forest juga mengubah titik resonansi suaranya. Yang kalau kamu perhatikan dan dengarkan baik-baik, titik resonansi suara Forest Whitaker yang asli ada di dada bagian tengah mendekat ke leher bagian bawah. Sementara ketika ia menjadi Idi Amin, letak resonansi suaranya ada di leher sedikit mendekat ke bagian pangkal tenggorokan. Lalu dengan perubahan cara mengucapkan beberapa huruf, membuat ruang resonansinya berpindah ke areal hidung ketika mengucapkan huruf-huruf tersebut. Dengan menciptakan nafas, mengubah titik resonansi, dan mengubah cara lidah dan mulut mengucapkan beberapa kata, maka cara bicara Forest Whitaker ketika menjadi Idi Amin pasti akan terdengar sangat berbeda.
Tingkat detail pada bagian suara itu yang membuat kami meletakkannya di angka 7. Jika seandainya ia juga sama detailnya di aspek yang lain, maka mungkin Forest Whitaker ada di angka 9 ketika bermain di The Last King of Scotland. Lalu selain suara, apalagi yang berhasil diciptakan oleh Forest Whitaker? Untuk bagian fisiologis, kami bisa bilang tidak ada lagi. Sisanya adalah bahasa tubuh yang sama, cara berjalan, cara memandang, cara memainkan tangan, dan cara-cara tubuh lain yang sama atau lebih mendekati ke Forest Whitaker di filmnya yang lain.
Capaian Lain si The Last King of Scotland
Kalau fisiologis sudah berhenti, tidak ada pembahasan lagi, adakah capaian yang lain? Tentu ada. Bagian ini justru yang membuat kami bertanya sepanjang film, bahkan sampai beberapa hari setelah film selesai. Apa yang Forest Whitaker lakukan dan inginkan atas tokoh di The Last King of Scotland, sehingga kami tidak bisa tidak melihat kenaifan, kebodohan, tapi sekaligus kekejaman yang luar biasa?
Kalau jawabannya adalah karena kami tahu Idi Amin, tentu tidak. Kami tidak mengenal Idi Amin. Berbeda dengan ketika kami menonton Life is Beautiful yang kami tahu kekejaman Nazi. Tapi Idi Amin? Kami hampir tak kenal dan memang sengaja tak ingin mencari tahu kekejaman orang itu. Tapi sedari awal, kami melihat kekejaman yang tersembunyi di balik penampakan yang tolol, naif, dan kekanak-kanakan. Sampai akhirnya, kami menemukan jawabannya.
Ini adalah capaian yang lain selain suara dan aspek fisiologis lainnya. Kami rasa, Forest Whitaker paham kapan dan dimana tokoh ini berlaku bodoh dan kekanak-kanakan. Forest sepertinya juga paham kalau di momen itulah ia, sebagai Idi Amin sejatinya sedang berusaha mengolok-olok dirinya.
Misalnya bisa kamu lihat di adegan ketika ia sakit dan merasa seperti diracun. Padahal ia hanya salah minum obat dan akhirnya dia kentut. Kita bisa melihat kenaifan yang besar, serta kebodohan yang amat sangat dari tokoh ini. Agar lebih jelas lagi, coba lihat di adegan awal ketika ia ditabrak sapi lalu Dr. Garrigan memeriksanya. Lihat betapa ia sangat panik, padahal ia hanya terkilir. Momen-momen tersebut adalah sebuah perwakilan dari kesan tokoh yang punya kekurangan. Forest Whitaker berhasil memunculkan hal tersebut.
Inilah yang perlu digaris bawahi oleh setiap aktor saat menciptakan karakter. Tokoh yang kamu akan atau sedang mainkan ia adalah tetap seorang manusia. Ia bukan tuhan yang sempurna. Ia adalah manusia yang juga punya kekurangan. Kamu harus berhasil menangkap kekurangan si tokoh dan ketika sudah waktunya, menunjukkan kekurangan tokoh tersebut.
Forest Whitaker di The Last King of Scotland berhasil memanfaatkan momen itu dengan sangat baik. Ia berhasil menunjukkan kekurangan dan kelemahan Idi Amin ketika memang dibutuhkan. Bahkan kami rasa kekurangan dan kelemahan tokoh ini lebih menjadi headline dari pada kecerdasan dan kekejamannya.
Hasilnya, ketika ia menunjukkan momen-momen kejam, kesan yang muncul di kami sebagai penonton adalah rasa jijik pada tokoh ini. Mungkin kami bisa bilang “Apa sih, ini orang, mukanya kayak orang bego tapi kejam banget! Benci banget!”, atau kalimat sejenis.
Tapi tokoh ini tidak sepenuhnya bodoh. Begini, kalau kami bisa membagi Idi Amin ke dalam beberapa bagian, maka Idi Amin itu terdiri dari 50% kebodohan, kenaifan, dan ketololan, 30% kecerdasan, dan 20% kekejaman. Nah, prosentase itu sepertinya yang dimainkan oleh Forest Whitaker. Ia memahami, di adegan mana ia harus memunculkan kebodohan tokoh, dan di adegan mana ia harus memunculkan kekejaman, kecerdasan, sekaligus kebodohan si tokoh. Rumit memang, tapi Forest Whitaker berhasil melakukannya dengan baik. Bahasa paling sederhana dari segala penjelasan kami yang mungkin terlalu njelimet untuk kamu adalah Forest Whitaker tahu kemana tokohnya harus dibawa.
Bagaimana dengan Dr. Garrigan? James McAvoy? Satu saja. Penciptaan aksennya menarik, tapi laku tubuh, bahasa tubuh, caranya akting, masih sangat sama dengan permainannya di film yang lain. Belum terlalu menarik bagi kami.
Jadi, secara keseluruhan, permainan Forest Whitaker di The Last King of Scotland ada di dua hal. Pertama ciptaan yang detail (meski hanya di beberapa bagian), dan tahu harus dibawa kemana tokoh yang ia mainkan.
Menurutmu?
Terima kasih, viva aktor!