[Acting Review] Sultan Agung: Well Played!
Sultan Agung merupakan sebuah film biopic garapan sutradara Hanung Bramantyo. Film ini bercerita tentang sosok Sultan Agung yang juga menjadi raja Mataram pertama. Ketika hendak membahas film ini secara keseluruhan akan terasa tidak terlalu menarik. Pasalnya banyak sudah website atau pihak-pihak yang mereview film ini. Jadi kali ini kita tidak akan membahas tentang bagaimana lihainya Hanung menyutradarai dan meracik film ini. Pada artikel akuaktor.com kali ini kita akan membahas mengenai akting para pemain dalam film Sultan Agung. Okay, let’s get started!
Awal Hingga Pertengahan Adegan, Seimbang!
Ketika pertama kali film diputar, hingga sekiranya menit ke 30an, tidak ada yang benar-benar menarik mengenai permainan para aktornya. Eits, tunggu dulu! Sebelum kamu memicingkan mata dan berkata bahwa review ini hanya bisa maido (dalam bahasa Jawa artinya mengolok-olok) karya orang, mari kita samakan persepsi. Pertama yang perlu digaris bawahi adalah bahwa semua penilaian akting dalam film ini seberusaha mungkin didasarkan pada ilmu Keaktoran. Maka, ketika didasarkan pada kaidah ilmu keaktoran, ada beberapa akting yang tidak cukup menarik.
Misalnya pada penciptaan tokoh Sultan Agung muda dan Kelana muda yang dimainkan oleh Marthino Lio dan Haru Sandra. Kedua tokoh yang mereka ciptakan pada dasarnya cukup bagus. Hanya saja, tidak ada yang benar-benar menarik perhatian. Pertama soal penciptaan fisik tokohnya. Jika melihat Marthino Lio di film ini lalu dibandingkan dengan filmnya yang lain, maka capaian fisiknya bisa dibilang sama. Capaian fisik tentu menjadi hal yang sangat penting. Jika capaian fisik tidak penting, maka dalam keaktoran, tidak akan ada teori 3 dimensi tokoh, yakni fisiologis (fisik), sosiologis (sosial) dan psikologis (psikis). Karena adanya 3 dimensi tersebut, maka aktor sejatinya harus berusaha menemukan tokoh yang ia ciptakan dari 3 dimensi itu.
Kembali lagi soal capaian fisik yang diraih Marthino Lio dan Haru Sandra. Tidak ada yang benar-benar mengambil perhatian dari penciptaan mereka berdua. Mungkin yang cukup mengambil perhatian adalah penguasaan logat dan bahasa Jawa. Tapi Haru Sandra adalah orang Jogja, jadi penguasaan bahasa Jawa tentu tak bisa sepenuhnya dijadikan capaian fisik. Lalu bagaimana dengan yang lain?
Akting keduanya bukan tidak ada yang menarik. Justru chemistry yang dibangun oleh Marthino Lio dan Haru Sandra dalam awal kemunculan mereka cukup bagus. Keduanya seolah lebur dalam chemistry yang terasa sangat dekat. Chemistry itu melahirkan akting-akting kecil dan bisnis akting yang menarik. Misalnya pada adegan setelah Marthino Lio, Haru Sandra, dan Putri Marino bertarung dengan para prajurit. Dalam adegan itu ada celetukan-celetukan dan bisnis akting yang “hidup” dari chemistry Marthino dan Haru.
Lalu selain soal capaian fisik, sosial, dan psikis, ada juga kemampuan mendengarkan lawan main atau merespon lawan main. Tujuannya untuk membentuk motivasi laku atau pun dialog. Dalam hal tersebut, akting kedua aktor muda ini cukup bagus di beberapa adegan. Meskipun tetap saja ada dialog yang rasanya muncul tanpa motivasi yang jelas. Hal ini terjadi pada dialog Rangsang dengan Kelana saat mandi. Rangsang berdialog “Hey Kelana!”. Dalam dialog itu, jika didengarkan baik-baik, nada yang muncul seolah tidak sepenuhnya berisi. Seperti asal muncul karena tuntutan naskah. Ingat, tugas aktor adalah menghidupkan naskah, bukan sebaliknya.
Selanjutnya kita sedikit membahas capaian aktris peraih FFI 2017 yang lalu, Putri Marino. Putri bermain cukup bagus juga. Ia berhasil menguasai bahasa Jawa Kromo dengan baik. Pengucapannya pun terasa “Jawa banget”. Berbeda dengan beberapa aktor lain yang logat Jawanya kadang muncul kadang hilang. Permainan emosi tokoh yang diciptakan Putri Marino pun cukup bagus. Emosi yang dimainkannya tidak terasa “buntung”. Maksudnya, emosi yang dikeluarkan bukan mendadak, tapi karena punya alasan yang jelas. Putri Marino mendengarkan lawan mainnya dengan baik. Ia juga merespon peristiwa dengan baik juga. Meski soal perubahan suara, nada bicara, masih sama seperti film Posesif.
Lalu pada permainan almarhum Dedi Sutomo sebagai Ki Jejer juga patut diacungi jempol. Akting yang diciptakan peraih FFI tahun 2015 ini terasa matang. Permainan emosinya dinamis dan tidak monoton. Ia seolah tidak bermain sendiri. Setiap kali berhadapan dengan lawan main, Dedi Sutomo mencurahkan perhatian penuh pada laku lawan mainnya. Kemudian ia mengolah laku lawan main tersebut dan meresponnya dengan sangat baik. Itulah yang membuat aktingnya terasa dinamis dan hidup.
Meriam Belina juga bermain cukup bagus. Kamu bisa melihatnya di salah satu adegan ketika beradegan dengan Landung Simatupang. Pada adegan tersebut, Meriam Belina menyusun emosinya dengan sangat baik. Meskipun, jika kita cukup akrab dengan permainan Meriam Belina, maka kamu bisa menilai jika caranya menyusun emosi tokoh di Sultan Agung dan di film-film atau sinetron yang pernah dimainkannya sama. Tapi di luar itu, everything feels well played.
Dari adegan awal sampai adegan sebelum masuk ke era Sultan Agung yang dimainkan Ario Bayu, semua akting mereka terasa seimbang. Tidak ada akting buruk yang benar-benar mencuri perhatian dan tidak terlalu banyak akting bagus yang bisa mencuri perhatian juga. Sedang-sedang saja.
Well Played!
Lalu bagaimana dengan setelah masuk adegan Sultan Agung dewasa yang sudah diperankan Ario Bayu, Lembayung oleh Adinia Wirasti, dan Teuku Rifnu sebagai Kelana? Begini ulasan lengkapnya;
Ario Bayu sebagai Sultan Agung
Pertama soal permaian Ario Bayu. Secara garis besar, Ario Bayu bermain bagus. Jika dilihat dari kacamata awam, maka permainan Ario Bayu sangat bagus. Ia berhasil menciptakan sosok Sultan Agung yang “Agung”, berwibawa, dan kharismatik. Lalu bagaimana jika dilihat dari sudut pandang ilmu keaktoran?
Hal yang pertama dan paling mencuri perhatian adalah soal suara yang diciptakan Ario Bayu. Suara juga masuk dalam ruang lingkup fisiologis. Jika diperdengarkan baik-baik, ada sedikit perbedaan dari suara Ario Bayu biasanya dengan suara Ario Bayu sebagai Sultan Agung. Pada ruang lingkup ini Ario Bayu berhasil membuat suaranya sedikit berbeda dari suara Ario Bayu di kehidupan nyata. Suaranya terasa sedikit agak berat, serak dan gandhem. Pemilihan nadanya pun berbeda dari Ario Bayu di kehidupan nyata. Selain soal suara dan nada bicara, capaian fisik lain juga ada pada tubuhnya. Jika diperhatikan betul, tubuh Sultan Agung yang dimainkan Ario Bayu terlihat sedikit lebih gempal dari pada Ario Bayu beberapa bulan sebelum proses shooting film Sultan Agung dimulai.
Perhatikan cuplikan video trailer ini dan dengarkan suaranya baik-baik.
https://youtu.be/Qr7idQk_lSI?t=76
Lalu coba bandingkan dengan suara Ario Bayu di video ini.
Terasa sedikit ada perbedaan kan? Meskipun tidak memiliki lompatan perbedaaan suara yang sangat jauh, tapi ada sedikit capaian pada perubahan suaranya.
Meski lompatan secara fisik tidak sangat jauh, tapi ciptaan fisik yang “sedikit” itu berhasil membuat tokoh Sultan Agung terasa utuh. Hal itu mungkin karena Ario Bayu juga menciptakan tokohnya pada sisi yang lain. Misalnya pada cara berpikir, cara merespon, kecerdasan tokoh, dan hal-hal lain yang mendukung tokoh tersebut. Analogi dalam penciptaan Ario Bayu seperti ini; Ia menciptakan bagian-bagian kecil dari tokoh tersebut, kemudian disusun menjadi satu bagian tokoh yang hampir utuh. Kenapa hampir?
Ada bagian yang rasanya tidak cukup baik dalam permainan Ario Bayu. Seperti misalnya penguasaan logat Jawa. Dalam film ini, para tokohnya kebanyakan menggabungkan dua bahasa, bahasa Indonesia dan Jawa. Ketika Ario Bayu mengucapkan bahasa Indonesia, aktingnya terasa lebur, mengalir dan dinamis. Tapi ketika ia berdialog menggunakan bahasa Jawa, ada beberapa adegan dimana ia terlihat berusaha “mempertahankan penguasaan bahasa Jawanya” agar tetap ada dan tidak selip. Ketika ia berkonsentrasi pada upaya mempertahankan bahasa Jawa itu, bagian tubuh lain lepas dari penguasaannya. Sehingga aktingnya terasa agak mekanis dan dihitung. Salah? Tentu tidak juga. Dalam sebuah pentas teater misalnya, pasti akan terjadi hal-hal semacam itu. Maka permainan mekanis dibutuhkan untuk tetap seolah-olah bertahan dalam tokoh. Tapi akibatnya adalah motivasi permainannya menjadi tidak kental dan seperti “buntung”.
Seperti yang sudah dikatakan di atas tadi, Ario Bayu berhasil melengkapi ciptaan tokoh ini dari banyak sisi. Salah satu yang sangat mencuri perhatian adalah soal kharisma yang tercipta dari tokoh Sultan Agung. Pada salah satu adegan ketika berpidato pada rakyatnya sebelum mereka berangkat perang, dialognya terasa menggetarkan. Rasa gagah dan berwibawanya seorang raja berhasil dimunculkan dalam adegan epik tersebut.
Selain itu, pada salah satu adegan ketika Sultan Agung bertemu dengan Lembayung yang baru pulang dari Batavia, dialog yang dilontarkan oleh Sultan Agung terasa memiliki dinamika yang bagus. Tapi, jika diperhatikan betul, rasa-rasanya dialog yang dilontarkan Ario Bayu terlihat seperti dihitung. Maksudnya, ia sudah merencanakan bahwa pada kata ini nadaku akan tinggi, pada kata ini nadaku rendah, pada kata ini intensitasku tinggi dan seterusnya dan seterusnya. Lagi-lagi, apakah itu salah? Tentu tidak. Itu bisa menjadi salah satu metode untuk menciptakan dialog yang dinamis. Tapi kembali lagi, karena yang diciptakan oleh Ario Bayu ini adalah manusia, maka manusia itu tentunya tidak pernah mengatur kapan ia bernada tinggi, kapan ia bernada rendah. Nada tinggi dan rendah itu merupakan buah pikir dan rasa dari si tokoh tersebut. Itu disebut juga dengan istilah Sponge Effect.
Lukman Sardi sebagai Tumenggung Notoprojo
Aktor yang satu ini bermain cukup baik dalam film Sultan Agung. Malah sebenarnya, tokoh yang dimainkan oleh Lukman Sardi ini punya kesulitan tersendiri yang tidak dimiliki oleh tokoh yang lain. Hal tersebut adalah pertumbuhan emosi dan pola pikir si tokoh. Lukman Sardi memainkan Tumenggung Notoprojo ketika Sultan Agung masih muda dan juga Tumenggung Notoprojo saat Sultan Agung sudah dewasa. Dengan kondisi semacam itu, tentunya Lukman Sardi harus memperhatikan pertumbuhan emosi dan pola pikir tokoh Notoprojo ketika berada di masa Sultan Agung muda dan saat Sultan Agung dewasa.
Ia berhasil memunculkan hal tersebut. Meskipun pada adegan Sultan Agung muda kemunculannya tidak terlalu banyak, tapi cukup ikonik. Paling tidak memberikan sedikit gambaran mengenai pola pikir si tokoh. Selanjutnya ketika sudah menjadi Notoprojo tua, pola pikirnya terlihat tumbuh. Lalu soal permainan aktingnya dalam ruang lain, Lukman bermain cukup apik. Ia nampak menghidupkan pendengaran tokohnya dengan baik. Ia memang tidak memiliki cukup banyak dialog. Tokohnya lebih sering mendengarkan dari pada bicara. Tapi hal itu justru membuat tokohnya muncul. Ia berhasil merespon lawan mainnya dengan penuh dan baik.
Tapi jika kita bicara soal capaian fisik, maka Lukman Sardi tidak berada pada performa yang cukup baik. Salah satu yang membuat capaian fisiknya cukup terlihat adalah brewok yang ditumbuhkan. Brewok tersebut cukup membuat perubahan pada tampilan Lukman. Selebihnya terasa sedang-sedang saja. Masih berkutat pada ruang lingkup fisiologis, kali ini kita bicara soal penguasaan bahasa Jawa. Penguasaan bahasa Jawa dan logat Jawa dari Lukman Sardi terdengar agak dipaksakan. Rasa-rasanya dialog Jawa yang diucapkannya tidak benar-benar menyatu dengan tokohnya. Apalagi ketika di banyak adegan Lukman disandingkan dengan tokoh-tokoh yang berdialog Jawa dengan lancar dan lanyah. Makin terasa logat dan bahasa yang sekedar menempel tersebut. Selain soal logat, Lukman Sardi bermain pada level ia biasa bermain. Belum terlihat satu gebrakan besar dalam soal capaian keaktorannya pada film ini. Entah di film-film selanjutnya.
Teuku Rifnu sebagai Kelana
Jika Lukman Sardi bermain pada levelnya, maka Teuku Rifnu juga sama. Ia juga bermain pada level kualitas keaktoran yang sama seperti pada film-film sebelumnya. Teuku Rifnu merupakan salah satu aktor yang tahu mana bagian tubuh terkuat miliknya. Sehingga ia bisa memainkan bagian tubuh tersebut untuk mendukung keaktorannya. Itu juga yang dilakukannya di film ini. Selain itu penguasaan emsoi tokoh yang diciptakan oleh Teuku Rifnu ini cukup bagus. Ia berhasil memunculkan emosi dengan alur motivasi yang jelas. Tiap pijakan emosi yang diterima tokohnya dimainkan step by step sehingga tidak terkesan jomplang dan mendadak.
Teuku Rifnu juga merupakan aktor yang bisa mendengarkan lawan mainnya dengan baik. Ia tak hanya menggunakan telinganya saja untuk mendengarkan lawan mainnya, tapi juga bagian tubuh lain untuk “mendengarkan” lawan main. Sehingga tiap respon yang dihasilkan tokoh Kelana tepat.
Tapi bagaimana dengan capaiannya yang lain? Secara garis besar, jika kita menyingkirkan sejenak kelihaian Teuku Rifnu memainkan emosi dan mendengarkan lawan main, maka tokoh yang diciptakan olehnya tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh di film-film sebelumnya. Bisa dibilang menjadi tipikal permainan dari Teuku Rifnu. Masih teringat jelas ketika ia bermain di film Wiro Sableng, kurang lebih caranya berjalan, caranya menunjuk, dan beberapa laku tokohnya sama. Belum lagi soal caranya menyusun emosi. Memang, Teuku Rifnu pandai menyusun emosi, tapi terkadang tidak dengan cara si tokoh menyusun emosi.
Sebelum kalian emosi jiwa, coba baca penjelasan ini terlebih dahulu; Tokoh adalah manusia yang lain. Seperti layaknya manusia pada umumnya, tokoh juga punya cara untuk menyusun emosi. Misalnya kamu, dengan bapak ibumu. Kalian pasti memiliki cara menyusun kemarahan, alasan kebahagiaan, alasan menangis, dan langkah-langkah menangis yang berbeda. Jangan dikira manusia itu kalau nangis ya tinggal nangis. Ada yang sesenggukan dulu, ada yang nelen ludah beberapa kali, ada yang diem-diem tiba-tiba netes air matanya, dan lain sebagainya. Cara menyusun emosi pada tiap manusia itu berbeda. Tapi pada permainan Rifnu, cara menyusun emosinya sama di beberapa bagian.
Adinia Wirasti sebagai Lembayung
Adinia Wirasti memang aktor yang selalu berhasil melebur dengan tokohnya. Ia punya permainan yang ikhlas dan menyerahkan penuh lakunya pada tokoh yang ia mainkan. Ia juga bisa memainkan emosi tokoh dengan sangat baik. Bahkan dalam salah satu adegan ketika berdialog dengan Sultan Agung, Adinia Wirasti menyusun tangga emosinya dengan sangat baik. Ia mengumpulkan motivasi-motivasi dari peristiwa yang sebelumnya dilalui oleh si tokoh. Sehingga emosi yang dimunculkannya terasa jelas urutannya.
Lalu pada adegan lain, ketika ia bertemu Seto, sang kakak yang dimainkan oleh Rukman Rosadi, emosi-emosi yang digunakan keduanya terasa kental dan intens. Seperti bola ping pong yang terlempar dari satu pemain ke pemain lain, permainan kedua aktor tersebut benar-benar saling menghidupkan. Tapi soal cara menyusun emosi, rasa-rasanya sama seperti permainan Adinia Wirasti di beberapa film lain, salah satunya Critical Eleven. Bukan hanya itu, caranya menangis dan bagaimana sesenggukannya Lembayung ketika menangis, terasa sama dengan tokohnya di Critical Eleven. Memang, emosi yang dimainkan sangat besar dan menggetarkan. Tapi dengan cara menyusun dan cara menangis yang mirip, kesan yang tertangkap justru Adinia Wirasti yang menangis dalam bungkus Lembayung. Bukan Lembayung yang menangis. Feels so typhical.
Lalu bagaimana dengan capaian fisiknya? Tidak ada yang spesial soal capaian fisik tokoh Lembayung ini. Suara Adinia Wirasti masih sama, caranya berjalan juga masih sama, belum terlihat sesuatu yang mendobrak kebiasaan permainan Adinia Wirasti.
Aktor Lain yang Juga Kuat
Film Sultan Agung ini juga dipenuhi oleh aktor-aktor lain yang juga memiliki permainan yang kuat dan mencuri perhatian. Jika kalian mengecek daftar pemain Sultan Agung, hampir semua tokoh di luar tokoh utama diisi oleh aktor-aktor teater Yogyakarta. Mereka memiliki permainan yang menarik di beberapa bagian. Paling tidak ada dua dari sekian banyak adegan yang mencuri perhatian. Pertama adalah adegan ketika Seto bertemu dengan Lembayung. Sudah dijelaskan sedikit di atas tadi soal ansamble yang imbang antara keduanya. Di luar itu, tokoh Seto ini juga merupakan tokoh yang kompleks. Di satu sisi ia seolah-olah diletakkan pada posisi pengkhianat, sementara di sisi lain, Seto merasa dirinya bukan berkhianat. Ia memilih berdiri pada posisi membela Belanda karena Kerajaan Mataram yang hampir membunuhnya karena berusaha membongkar kebusukan para petinggi kerajaan.
Dalam dialog yang dilontarkan Seto, halaman nol yang tidak ditampilkan di film cukup tergambar pada sepenggal dialog tersebut. Bukan hanya perkara informasi yang termuat di dalam dialog tersebut. Tapi juga soal dendam kesumat pada Kerajaan Mataram yang include pada tiap kata yang dilontarkannya.
Selain Rossa, ada juga Whani Dharmawan yang bermain sebagai salah satu Tumenggung. Ada satu adegan yang sangat mencuri perhatian. Adegan itu adalah ketika para Tumenggung dikumpulkan setelah perang dan dinyatakan bebas dari hukuman penggal oleh Sultan Agung. Dari sekitar 5 orang yang bersimpuh di depan Sultan Agung, Whani memberikan respon yang paling manusiawi. Ia menutup wajahnya dan seolah sangat bersyukur atas keputusan itu. Keputusan bahwa ia terbebas dari kematian.
Jika dilihat secara garis besar, akting pada tiap tokoh di film ini cukup baik. Atau mungkin bahasa yang lebih tepat adalah well played. Hanya saja tetap ada beberapa laku yang tidak tepat. Seperti misalnya logat, kecenderungan bermain, respon, motivasi, dinamika dialog dan laku, dan lain sebagainya. Tapi hal-hal yang kurang tersebut berhasil ditutupi dengan permainan yang well played itu tadi. Sehingga film Sultan Agung muncul sebagai sebuah film yang solid secara keaktoran. Peran sutradara juga besar dalam soal bagus tidaknya akting para aktornya. Hanung memilih angle yang tepat sehingga kekuatan aktornya bisa tertangkap dengan baik dan semakin memperkuat film tersebut.
Itu tadi sedikit acting review film Sultan Agung. Mana yang menjadi bagian favoritmu? Atau, ada hal-hal yang mengganjal setelah menonton film tersebut? Tinggalkan di kolom komentar ya!
Viva Aktor!