Gie; Membaca Capaian Nicholas Saputra
Jika kita bicara soal film biopic Indonesia terbaik yang rilis tahun 2000an ke atas, maka nama Gie pasti akan masuk ke dalam daftar. Bukan hanya terbaik dari sudut pandang film secara keseluruhan, tapi juga secara spesifik pada permainan tokoh utamanya. Nicholas Saputra yang menjadi tokoh utama berhasil mendapatkan penghargaan Piala Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik di tahun 2005. Menurut beberapa pihak Nicho bermain apik. Sementara menurut yang lain tidak.
Lalu bagaimana menurut kami? Berikut pembahasannya dari kacamata seni peran.
Miripkah Dengan Gie yang Asli?
Jawabannya tentu tidak. Jauh, bukan menurut kami. Bahkan menurut orang-orang yang bertemu Soe Hok Gie secara langsung. Seperti misalnya Rudy Badil, Herman Lantang, dan adiknya Jeanne Sumual. Kita bahas dari dimensi fisiologisnya terlebih dahulu. Dilansir dari majalah tempo, Rudy Badil mengatakan Nicholas Saputra terlalu tampan jika dibandingkan dengan Soe Hok Gie yang asli. Ia juga kurang sipit dan bahkan Rudy Badil mengatakan Nicholas Saputra itu salah casting. Sementara menurut Herman Lantang, Soe harusnya lebih pendek darinya. Di film, yang terjadi malah sebaliknya, Herman yang lebih pendek dari Soe.
Lalu dari sisi psikologis. Masih dari sumber yang sama, Jeanne Sumual, adik kandung Soe mengatakan bahwa kakaknya itu ekspresif, suka mengobrol, dan cerewet. Tidak dingin seperti yang diciptakan Nicholas Saputra. Hal senada juga dikatakan oleh Rudy Badil. Ia mengatakan bahwa Soe yang asli suka meledek teman-temannya dan sangat cerewet. Kalian bisa baca selengkapnya tentang ucapan Herman Lantang, Rudy Badil, dan Jeanne Sumual soal Soe disini.
Tapi Mira Lesmana dan Riri Riza punya argumentasi kenapa mereka memilih Nicholas Saputra. Mira Lesmana tidak memilih merefleksikan Soe sepersis mungkin seperti aslinya. Ia memilih untuk memperlihatkan pemikiran dari tokoh ini. Katanya di Tempo bahwa lebih susah menemukan yang mirip secara fisik tapi bisa akting dari pada yang tidak mirip tapi bisa akting.
Pertanyaannya, apakah itu sah? Dalam sudut pandang kesenian, apa yang dilakukan Mira Lesmana dan Riri Riza sebenarnya sah-sah saja. Kami pikir ini yang menyebabkan Nicholas Saputra menciptakan Gie dengan bentuk macam itu. Karena memang itulah konsep yang dimau oleh si sutradara.
Jadi, kalau kita melihat permainan Nicholas Saputra dari sudut pandang kemiripannya dengan Soe Hok Gie yang asli, kami bisa analogikan dalam angka. Nicholas Saputra adalah 0, Soe Hok Gie yang asli itu 10. Ciptaan Nicholas Saputra ada di angka 7. Sedikit lebih baik. Kenapa? Satu aspek yang berhasil diciptakannya dengan cukup baik dan mirip dengan Soe yang asli adalah cara berjalan.
Seperti yang dikatakan Jeanne Sumual di artikel yang sama, ia memuji kehebatan Nicholas Saputra dalam menirukan cara berjalan Gie yang “agak dibuang-buang” itu. Kami sepakat dengan ciptaan cara berjalan yang menarik tersebut. Kami rasa cara berjalan yang berubah itu secara tidak langsung juga mengubah hampir semua kesan di tokoh. Kami jadi melihat Gie sebagai seorang lelaki yang pendiam, tenang, tapi sekaligus pemberani.
Cara berjalan itu sangat berbeda dengan cara berjalan Nicholas di filmnya yang lain. Seperti misalnya di AADC, atau di film-film setelahnya. Cara berjalan itu hampir tidak pernah muncul lagi. Otentik hanya ada di Gie.
Jika kami membaca artikel di majalah tempo, dikatakan bahwa Nicholas Saputra melihat cara berjalan Soe lewat sebuah film dokumenter dengan judul House in the Jungle. Disana terdapat footage Soe yang tampil selama 10 menit di adegan-adegan kehidupan mahasiswa, pesta, naik bus, hingga berjalan keluar rumah. Tapi sayang, Nicholas tidak merencanakan cara berjalan itu dari awal. Ia mengatakan di artikel yang sama bahwa niat untuk mencontoh gaya berjalan Soe itu muncul tiba-tiba saat hari pertama shooting di Lapangan Banteng. Agak disayangkan, karena kami pikir semua sudah direncanakan dan didesain terlebih dahulu. Tapi ternyata tidak. Tak masalah, yang terpenting ciptaan cara berjalan itu tak terasa artifisial, atau palsu, atau dibuat-buat.
Jadi pertanyaannya diulang kembali. Apakah mirip dengan Soe yang asli? Jika kita melihat secara keseluruhan, maka kita bisa mengatakan tidak mirip. Tapi jika kita membagi Soe jadi beberapa aspek, maka Nicholas berhasil menduplikasi satu dua aspek. Salah satu yang paling terlihat adalah cara berjalan yang berhasil ia duplikasi.
Capaian Lainnya, Ada?
Tidak mungkin tidak ada. Tentu saja ada. Tapi apa saja? Kami pikir kuncinya ada pada cara berjalan. Cara berjalan yang berhasil mengubah banyak bentuk tubuh yang lain. Coba perhatikan lambaian tangan tokoh ini. Karena cara berjalannya yang “dibuang-buang” itu, lambaian tangannya juga ikutan seperti itu, “dibuang-buang”. Bentuk tangannya juga cenderung sempit, seperti ada yang menekan dari samping kiri dan kanan sehingga tidak ada jarak yang lebar antara lengan dan badan.
Lalu perhatikan torso tokoh ini. Bagian torso atau sekitar dada terlihat agak dibusungkan saat berjalan. Tapi kesan busung itu tidak terlalu terlihat karena leher dan dagu yang cenderung dibuang ke depan dan ke bawah. Coba bayangkan kalau dagunya dibuang ke atas, maka kalian akan melihat bentuk torso yang sangat membusung. Tapi tidak, kesan “cool” yang diinginkan sutradara sepertinya justru berhasil muncul lewat bentuk tubuh itu. Jika diperhatikan secara keseluruhan bentuk tubuhnya, kami menganggap bentuk tubuh itu punya kesan “minim” dan “kecil”. Jadi mungkin kesan itu yang membuat tokoh ini terasa dingin, tenang, dan hampir tidak berperasaan. Atau mungkin sebaliknya, bukan tidak berperasaan, tapi berhasil mengendalikan perasaannya dengan sangat baik.
Setelah bentuk tubuh, kita bahas laku tubuhnya. Perhatikan ketika Gie duduk, sekali lagi kami melihat tubuh yang “sempit”. Kami pikir itu pengaruh dari pemahaman atas tokoh yang dingin ditambah dengan cara berjalan yang “dibuang-buang” dengan segala bentuk tubuhnya yang lain. Lalu perhatikan cara Soe memainkan tangannya ketika bicara. Hampir semua gerakan tangannya tak pernah besar. Gerakan tangannya hanya terjadi pada pergelangan tangan saja. Tidak pada lengan bawah, atau lengan atas. Bentuk itu membuat kesan dingin semakin kuat.
Tapi sayang, untuk warna suara, tidak ada perubahan. Meski kami tak tahu warna suara asli Soe Hok Gie, tapi kami tahu warna suara Nicholas Saputra di film lain dan di kehidupan nyata. Tidak ada perubahan, bahkan sama sekali.
Lalu pertanyaan yang lain adalah apakah ciptaan Nicholas dengan Jonathan Mulia, yang menjadi Soe muda sama dan relevan? Kami bisa bilang iya dan tidak. Iya pada cara berjalannya tidak pada sebagian cara bicaranya.
Perhatikan baik-baik cara Jonathan Mulia mengucapkan beberapa huruf konsonan. Seperti pada huruf D, B, dan pada huruf R. Kami menemui perbedaan pada pengucapan Nicho dan Jonathan. Kami rasa Jonathan Mulia terdengar sedikit tebal pada pengucapan D dan B. Sementara Gie ciptaan Nicholas tidak memiliki itu. Lalu pada pengucapan R, kami merasa pengucapan Jonathan terdengar agak “ringkih”, sementara Nicholas tidak.
Kami sadar bahwa tokoh Gie mungkin tumbuh, tapi kami rasa Gie yang asli tidak memiliki kecerdasan dan kesadaran yang cukup untuk mengubah aksen bicaranya. Kecuali dia seorang aktor. Meski Soe diceritakan sebagai seorang pecinta film, kami rasa pengetahuannya ada pada pemahaman film secara menyeluruh, tidak spesifik pada seni peran. Pun jika ada, segala yang dilalui Soe tidak bersentuhan langsung dengan seni peran. Sehingga tidak ada kebutuhan untuk mengubah aksennya. Jadi seharusnya, aksen Soe muda dan dewasa terdengar sama.
Lalu Bagaimana Dengan Permainan Emosi?
Jika kalian mencari permainan emosi yang menggebu-gebu, besar, dan sangat dalam dengan bentuk yang awam, kalian tidak akan menemukannya disini. Kami rasa tokoh Soe ini memang dibangun sebagai tokoh yang sangat pintar mengendalikan perasaannya. Sehingga yang tertangkap orang lain adalah ia dingin dan hampir tidak berperasaan. Di film, nyatanya hampir tidak ada adegan dengan emosi yang menggebu-gebu. Tapi menurut kami justru ini yang menarik.
Fokus kami kemudian bukan pada emosi, tapi pada bagaimana tokoh ini bereaksi atas apapun yang tertangkap panca inderanya. Misalnya ketika ia bertemu seorang pelacur pertama kali. Kami bisa melihat rasa gugup yang cukup besar tapi berhasil dikendalikan dengan baik oleh tokoh. Lalu adegan lain ketika ia duduk berdua dengan Ira atau dengan Sinta, kami bisa melihat kegugupan yang sama tapi dengan cara menjalankan yang berbeda. Karena orang yang Soe hadapi memang berbeda.
Kami sempat kesulitan membaca cara tokoh ini menjalankan pikiran dan perasaannya karena yang terlihat adalah tokoh ini hampir datar. Seperti tidak memiliki empati atas peristiwa. Tapi kami salah, Soe bukan datar, tapi ia mengendalikan emosinya dengan baik dan mengeluarkan emosi seperlunya. Kami jadi berpikir bahwa tokoh ini dibangun sebagai tokoh yang berani lewat tulisannya dan sesekali berani lewat tindakan nyata. Kami bahkan menulis di catatan pendek saat menonton film ini dengan kata-kata “Silently Brave”.
Beruntunglah ada dua adegan yang menunjukkan kelelahan Gie mengendalikan emosinya. Adegan yang pertama terjadi setelah ia bertemu Narto. Saat ia berjalan di pinggir jalan, lalu tetiba berhenti dan seperti mau muntah. Kami membaca laku itu sebagai upaya mengendalikan emosi yang gagal. Ia seperti ingin menangis, kemudian coba dikendalikan sedari awal tapi gagal dan meledak di persimpangan jalan itu. Tapi tokoh ini tetap mengendalikannya, sehingga kesan yang muncul adalah perasaan seperti mau muntah. Mungkin akan lebih jelas jika kami melakukan Bincang Aktor dengan sutradara atau pemainnya langsung.
Selain adegan itu, saat Soe hendak menemui Ira, tapi ditolak dan Soe pergi, di depan gerbang tepat ia kemudian tertawa. Tertawa terbahak-bahak hingga terdengar suaranya. Kami berpikir adegan ini sama dengan adegan menahan mual yang sebelumnya. Soe berusaha mengendalikan emosinya, tapi gagal. Kali ini emosi yang ia tahan sepertinya perasaan konyol dan lucu atas apa yang barusan dilakukannya. Sekali lagi, ia tak bisa, atau mungkin lebih tepatnya tak mau menahan perasaannya kali ini. Sehingga muncullah bentuk tersebut. Tertawa yang aneh, tapi relevan dengan kesan tokoh yang sudah dibangun sepanjang film.
Secara keseluruhan permainan Nicholas memang menarik. Jika menggunakan sudut pandang akting biopic harus mirip dengan aslinya, maka ciptaan Nicholas tidak bisa dibilang menarik. Tapi jika kita kesampingkan prinsip tersebut dan lebih melihat sejauh apa jarak antara hasil ciptaan Nicholas dengan diri si aktor, maka kita akan menemukan jarak yang jauh.
Satu hal yang mungkin bisa diambil pelajaran dari ciptaan Nicholas adalah bahwa mengubah cara berjalan bisa jadi kunci untuk mengubah bentuk tubuh yang lain. Karena menurut kami, cara berjalan adalah pondasi. Jika pondasinya berhasil kita ubah, maka bentuk bangunan atasnya akan ikut berubah mengikuti pondasi.
Terima kasih, viva aktor!