[Acting Review] Tjoet Nja’ Dhien; Interpretasi yang Tepat

Tjoet Nja' Dhien

Tjoet Nja’ Dhien adalah sebuah film legendaris yang disutradarai oleh Eros Djarot dan Christine Hakim sebagai bintang utama. Sebagai salah satu film epos, biopic, atau apalah sebutannya itu ia memiliki cerita yang menarik, penyutradaraan yang apik dan epik, tapi secara permainan keaktoran jauh lebih menarik. 

Christine Hakim yang memerankan sosok Tjoet Nja’ Dhien bisa dibilang tak tergantikan hingga sekarang. Bahkan, kalau kita mau membandingkan keberhasilan Christine Hakim memainkan istri Teuku Umar ini, kita bisa memadupadankannya dengan Daniel Day-Lewis di Lincoln. Kenapa sampai sebegitunya? Kami pikir, kunci utama dari keberhasilan Christine Hakim menciptakan Dhien adalah interpretasi yang tepat. Maksudnya? 

Capaian yang Umum

Sebelum kita bicara soal interpretasi yang tepat itu, mari kita bicara soal capaian-capaian yang umum terlebih dahulu. Kenapa kami bilang umum, karena memang capaian ini adalah “capaian wajib” bagi seorang aktor. Selain itu, hampir di setiap artikel kami membahas soal capaian ini. Capaian 3 dimensi tokoh. 

Okay, mari kita mulai. Capaian pertama, kenampakan fisik. Kita bisa melihat bahwa make up membantu Christine Hakim merubah tampilannya cukup drastis. Kalau kami membandingkan dengan film sebelumnya, rasa-rasanya Christine Hakim tampak lebih kurus. Ia makin terlihat kurus dengan bantuan make up. 

Capaian kedua, suara. Dalam capaian ini, kita bisa mendengarkan warna suara yang tidak sangat berubah drastis tapi ada sedikit perubahan disana. Selain soal warna suaranya, hal yang paling mencolok adalah perubahan logat dan nada bicaranya. Soal logat misalnya, kita bisa mendengarkan logat Aceh yang kental. Jika kalian tidak akrab dengan logat ini, maka kalian bisa mengira kalau logat ini mirip logat Bali. Tapi dengarkan baik-baik nada bicaranya, jelas berbeda. 

Masih soal logat, kita bisa mendengar pengucapan beberapa huruf konsonan yang berubah dan konsisten. Terutama ketika ia mengucapkan huruf T. Lalu dengarkan juga dinamika atau alunan bicara Christine Hakim. Kita melihat alunan yang khas dan lain. Kalau kalian sempat melihat beberapa video orang Aceh berbicara, maka seperti itulah nada yang dipakai oleh Christine Hakim. 

 

 

Setelah soal alunan itu, yang kami belum tahu apa padanan kata yang tepat, ada satu poin dalam suara yang berhasil merubah secara keseluruhan kesan yang terdengar di penonton, meskipun warna suaranya tidak berubah drastis. Hal itu adalah Nada. Dengarkan baik-baik nada dialognya. Maksudnya “chord” suara yang direndahkan.

Kita bisa mendengar “chord” atau apalah sebutannya, pada suara Christine Hakim direndahkan sedemikian rupa sehingga memunculkan kesan lain yang berhasil melengkapi ciptaan Christine Hakim pada bagian suara. 

Entah ini dipikirkan dengan baik atau tidak oleh Bu Christine, (sepertinya kita harus Bincang Aktor dengan beliau) tapi nada yang rendah itu membawa kesan perempuan yang tenang, berani dan sangat kuat.  

Lalu soal capaian fisiologis yang lain, kami tidak menemukan poin yang menonjol, baik dari bentuk tangan, kaki, dan bagian fisik lainnya. Sejauh yang kami tahu dan terlihat dengan jelas adalah tempo tubuh si tokoh yang kalau kami bandingkan dengan permainan Christine Hakim di film Di Balik Kelambu, terlihat perbedaannya. Tempo Tjoet Nja’ Dhien terasa lebih pelan, tenang, tapi yakin.  

Lalu soal capaian Sosiologis dan Psikologis, dalam pandangan kami terlihat dari cara si tokoh menjalankan pikiran dan perasaannya. Kalau kita melihat dari kacamata sejarah, kita tahu bahwa Teuku Umar adalah suami kedua Dhien. Suami pertamanya terbunuh oleh Belanda di medan perang. Dimana dalam buku sejarah disebutkan bahwa sejak kematian sang suami, Dhien menjadi perempuan yang bertekad untuk mengusir Belanda dari Aceh. 

Kami mencoba menyimpulkan bahwa tokoh Dhien, setelah kematian suami pertamanya, menaruh “semacam dendam” yang sangat besar pada Belanda. Kenapa kami bilang “semacam dendam”? Pertama karena rasa-rasanya bukan dendam membabi buta yang ada di kepala Dhien. Kedua, kami belum menemukan padanan kata yang tepat atas interpretasi kami. 

Intinya, Dhien terlihat seperti membenci, tapi sekaligus memaafkan, dan hanya ingin Belanda segera pergi dari tanah kelahirannya. Kita bisa melihat kebijaksanaan yang sangat besar dari Dhien, terutama ketika suami keduanya mati di medan perang. Kebijaksanaan juga bukan kata yang kami maksud. 

Kebijaksanaan (sebutan sementara) ini bisa kita lihat di adegan ketika ia bertemu dengan Leubeuh, si pengkhianat yang menyebabkan suaminya meninggal. Kita bisa melihat kemarahan yang sangat besar di mata dan ekspresi Dhien. Tapi di sisi lain kita juga bisa melihat upaya untuk mengendalikan kemarahan itu sehingga tidak histeris dan meledak-ledak. Proses dari kemarahan yang besar dan kemampuan mengendalikan kemarahan yang besar itulah yang kami sebut “semacam dendam”. Kami tidak bisa menyebutnya dendam, tapi ada dendam disana. Kami juga tidak bisa sepenuhnya menyebut itu kebijaksanaan, karena masih ada dendam dan amarah disana. 

Adegan lain yang menggambarkan kemarahan yang besar, sekaligus kebijaksanaan yang mengendalikan diri Dhien dengan cepat adalah ketika suami keduanya meninggal. Kita bisa melihat kemarahan dan kesedihan yang sangat besar hingga air matanya menetes. Tapi dalam beberapa detik saja kita melihat Dhien mengusap air matanya kembali. Kami beranggapan bahwa laku tersebut adalah emosi yang meledak-ledak di detik pertama, dan upaya mengendalikan di detik berikutnya.  

Capaian-capaian yang sudah kami sebutkan di atas itu “Umum”, artinya semua aktor harus bisa mencapai itu. Capaian tersebut jadi semacam kewajiban kerja seorang aktor dalam memainkan tokohnya. Jika aktor tidak sampai pada capaian “umum” itu, maka mungkin bisa kita bilang bahwa permainannya tidak cukup baik. Di satu sisi capaian yang “umum” ini menarik, tapi di sisi lain, capaian “umum” ini membosankan. 

Interpretasi yang Tepat Atas Tjoet Nja’ Dhien 

Justru sekarang yang menarik bukan lagi soal capaiannya, tapi bagaimana Christine Hakim bisa ada di capaian itu. Terutama ketika kita membahas film biopic, epos, atau apalah sebutannya. Tokoh Dhien ini tidak memiliki banyak data. Bahkan mungkin satu-satunya foto Dhien yang tercatat adalah fotonya ketika sudah ada di Sumedang, dalam kondisi sangat tua renta dan sakit-sakitan.

Tjoet Nja' Dhien
Satu-satunya foto Tjoet Nja’

 

Apakah foto-foto yang sering kita lihat di buku sejarah itu benar-benar Tjoet Nja’? Rasa-rasanya bukan. Itu hanya ilustrasi dari pemerintahan Belanda saja. Lalu pernah beredar foto yang mengatakan bahwa Tjoet Nja’ Dhien berhijab. Dilansir dari hoaxes, itu bukan Dhien. Itu adalah istri dari Panglima Polem dari Sigli. Validitas data tersebut didapatkan dari Universitas Leiden Belanda, Link nya ada disini. Intinya, tidak ada foto tentang bagaimana bentuk dan rupa Tjoet Nja’ Dhien ketika ia masih paruh baya sebelum ditangkap Belanda. 

Lalu jika tidak ada foto, atau rekam jejak soal perempuan ini, bagaimana Christine Hakim bisa mendapatkan tubuh tokohnya, menjalankan pikiran dan perasaannya, lalu mengejawantahkannya dengan utuh dalam diri si aktor? Jawabannya adalah riset, waktu, dan tuhan. Maksudnya?

Dalam salah satu artikel Kompasiana mengatakan bahwa Christine Hakim diberi 60 buku oleh Eros Djarot, sang sutradara. Dimana 11 buku wajib dibaca dan 3 buku wajib dibaca sampai tuntas. Dengan adanya 60 buku tersebut, maka data soal Dhien pasti sangat banyak dan bisa jadi valid. Sederhana saja; Christine Hakim punya 60 bahan pertimbangan dan sudut pandang soal Tjoet Nja’. Sehingga tokohnya sangat mungkin menjadi objektif dan diinterpretasi dengan tepat. 

Kunci selanjutnya adalah waktu. Ini yang sangat penting. Film yang disutradarai oleh Eros Djarot ini ternyata memakan waktu produksi hingga 3 tahun! Berbeda dengan film sekarang yang hanya memakan waktu sekian bulan dan memberikan si aktor waktu mencari tokoh hanya beberapa minggu atau paling banter beberapa bulan. 

Dengan waktu 3 tahun, 60 buku, dan kemampuannya sebagai aktor, maka sangat mungkin Christine Hakim berhasil menginterpretasi Tjoet Nja’ seobjektif mungkin. Pertama ia punya bahan untuk ia riset, kedua ia punya waktu yang panjang, ketiga ia punya tuhan.  

Tuhan, hal yang mungkin oleh banyak aktor dirasa tidak terlalu penting dalam proses penciptaan tokoh mereka. Meminta pada yang maha kuasa. Dalam beberapa wawancara soal permainannya di film ini, Christine Hakim selalu mengatakan bahwa ia meminta pada Sang Pencipta Tjoet Nja’ Dhien. Mungkin ini terkesan agak mistis. Tapi nyatanya itu berhasil. Entah bagaimana logikanya berjalan. Tapi mungkin dengan seizin tuhan, Christine Hakim bisa dengan mudah menyelesaikan 60 buku, diberi waktu 3 tahun untuk merancang tokohnya, dan banyak keuntungan yang lain. Apalagi kalau bukan kuasa tuhan itu? 

Tapi ingat; Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum kalau kaum itu tidak merubahnya. Jadi, jangan harap tokoh akan mendadak muncul dalam dirimu kalau kamu bermalas-malasan ya! 

Jadi, pertanyaan soal bagaimana capaian-capaian yang kami sebutkan di poin pertama bisa tercapai, kini terjawab. Riset, waktu, dan tuhan. Persoalannya sekarang, apakah industri perfilman kita masih mempertimbangkan riset yang mumpuni, waktu yang cukup, dan apakah aktor-aktornya masih mempertimbangkan adanya kuasa tuhan? Coba jawab sendiri ya! 

Dan satu lagi yang menurut kami sangat penting disampaikan dari film ini. Permainan semua aktornya berimbang! Mau yang utama, pembantu, bahkan figuran! Baru pertama kali dalam sejarah kami menonton film Indonesia, permainan semua aktornya, baik yang mendapatkan jatah besar atau kecil, berimbang. Sangat patut dicontoh! 

Itu tadi sedikit acting review soal permainan Christine Hakim di film Tjoet Nja’ Dhien. Para pemain film biopic, sutradara, dan mungkin produser, perlu mencontoh proses produksi film ini. Sesekali didik dan ciptakan pasar dengan baik lah, jangan duit melulu. 

Viva Aktor!

About The Author