[Acting Review] The Master; Hidup dan Unpredictable
The Master adalah sebuah film yang dibintangi oleh Joaquin Phoenix dan Philip Seymour Hoffman. Film ini merupakan satu dari sedikit film yang kedua bintang utamanya berhasil masuk ke nominasi Best Actor Oscar dan Best Supporting Actor Oscar. Baik Phoenix ataupun Philip keduanya sudah pernah masuk dalam nominasi Oscar baik Best Actor ataupun Best Supporting Actor. Meskipun hanya Philip Seymour saja yang pernah mendapatkan Oscar. Tapi kita tidak akan bicara soal capaian mereka di Oscar. Seperti biasa, kita akan membahas permainan mereka berdua dalam film The Master. Joaquin Phoenix akan lebih banyak kita bahas sembari menunggu permainannya di Joker yang akan rilis Agustus 2019 ini. Jadi, seperti apa permainan Joaquin Phoenix dan Philip Seymour Hoffman? Berikut pembahasan lengkapnya;
Joaquin Phoenix is The Master
Melihat permainan Joaquin Phoenix di film ini sejak menit pertama, kami dibuat kagum dengan banyaknya perubahan yang dilakukan oleh aktor yang sebelumnya mendapatkan nominasi untuk permainannya di film Gladiator ini. Hal pertama yang menurut kami mencuri perhatian adalah bagaimana bentuk punggungnya berubah menjadi sangat bungkuk, tapi tidak seperti orang tua. Ia, kalau kami boleh membandingkan, sama seperti tokoh Si Bungkuk dari Notre Dame. Bentuk punggungnya hampir mengingatkan kami pada bentuk tokoh kartun tersebut.
Dari apa yang kami lihatdi The Master, kami menangkap bahwa perubahan terbesar ada di punggungnya. Kemudian bentuk punggung itu membuat bentuk leher dan bagian tubuh yang lain ikut berubah juga. Kalau di urai satu persatu, maka kita akan menemukan bentuk yang selaras dari mulai punggung, leher, lambaian tangan, arah dagu, arah pandang, cara berjalan, hingga bentuk mulutnya. Coba kalian perhatikan baik-baik bentuk mulut tokoh yang bernama Freddie Quell ini;
Jika kalian perhatikan dengan baik, bentuk mulut Freddie Quell terlihat seperti digigit sedikit di bagian kanan. Sehingga kita bisa melihat bentuk mulut yang cenderung miring ke kanan. Bentuk itu seperti selaras dengan bentuk leher yang dijulurkan dan arah dagu yang ke atas.
Jika diperhatikan baik-baik lagi, kita bisa melihat bentuk mulut tersebut berhasil membuat cara bicara juga ikut berubah. Perubahan cara bicara ini pun tidak hanya sekedar berubah saja. Tapi memiliki perubahan yang selaras dengan si tokoh yang kalau kita perhatikan dalam film, ia adalah seorang pecandu Alkohol akut.
Nah, bicara soal tokoh yang seorang pecandu alkohol, yang kalau dilihat di film The Master, tokoh ini memiliki kebiasaan “mengoplos” minumannya dari banyak bahan, maka dengan latar belakang semacam itu, kami bisa sepakat dengan bentuk yang diciptakan oleh Joaquin Phoenix.
Bentuk mulut sudah, bentuk punggung, leher, arah pandang, arah dagu, sudah, semuanya berubah. Lalu bagaimana dengan kebiasaan tubuh yang paling terlihat? Bagaimana dengan caranya berjalan? Dengan bentuk tubuh punggung yang berubah, kita bisa melihat cara berjalan yang juga berubah secara signifikan. Joaquin tetap mempertahankan bentuk punggung, leher, dan arah dagunya ketika ia berjalan. Sehingga itu berpengaruh pada lambaian tangan dan langkah kakinya ketika berjalan. Dari apa yang kami tahu, cara berjalan itu berbeda dengan cara berjalan Joaquin Phoenix di kehidupan nyata seperti misalnya ketika ia berada di Red Carpet di Venice Film Festival dan di beberapa filmnya yang lain.
Selain cara berjalan yang berubah dan bentuk bagian tubuh lain yang berubah, bentuk tubuh netralnya juga berubah. Bentuk tubuh netral disini artinya bentuk tubuh ketika ia berdiri, tanpa tendensi emosi apapun.
Tapi ada satu pertanyaan kami soal ciptaan Joaquin Phoenix pada bagian fisiologisdi film The Master ini. Kenapa ia menciptakan tokoh dengan bentuk tubuh yang membungkuk. Padahal tokoh ini adalah seorang tentara. Kenapa ia tidak memiliki bentuk tubuh yang tegap seperti tentara kebanyakan?
Kami berusaha mencari jawaban paling logis dari ciptaan Joaquin Phoenix ini. Kami kemudian setidaknya menemukan jawaban yang mungkin tepat. Jika dilihat di film, ada satu adegan flashback, dimana dalam adegan itu kami tidak menemukan bentuk tubuh yang sangat membungkuk. Selain itu kami berpikir bahwa tokoh ini memiliki bentuk tubuh semacam itu karena efek candu akan alkohol. Dimana jika kalian perhatikan sepanjang film, Freddie Quell terlihat seperti orang ngantuk. Matanya terlihat selalu sayu dan arah tubuhnya cenderung layu. Mungkin itu yang kemudian membuat Joaquin Phoenix memutuskan bahwa bentuk tubuh tokoh ini bungkuk.
Hal yang paling penting dari semua bentuk tubuh yang sudah diciptakan oleh Joaquin Phoenix adalah kesan yang sangat kuat terhadap tokoh ini. Mungkin sebagian besar dari kalian juga sepakat bahwa tokoh Freddie Quell ini memiliki kesan menyebalkan yang sangat kuat. Kita bisa melihat itu dari caranya memandang, arah dagu, bentuk leher, serta caranya berjalan. Ini baru dalam laku tubuhnya saja. Belum soal emosi dan respon si tokoh.
Itulah yang bisa kita lihat dari permainan Joaquin Phoenix dalam satu sudut pandang, yakni fisiologis. Lalu dengan fisiologis yang secara garis besar hampir tercipta sempurna, apakah permainan emosi, respon, perjalanan pikiran serta perasaan si tokoh juga sesempurna itu?
Emosi Joaquin Phoenix yang Logis
Dari semua ciptaan Joaquin Phoenix yang kami lihat, ada satu kata yang mungkin bisa mewakili semuanya. Logis! Itu saja. Kenapa bisa begitu? Kami merasa, atau dibawa untuk meyakini bahwa apapun yang dilakukan oleh Freddie Quell adalah suatu hal yang logis dan selaras dengan 3 dimensi yang dimilikinya. Ingat, tokoh ini adalah seorang pecandu alkohol berat. Ia juga mungkin selama hidupnya tidak pernah tidak berada dalam kondisi mabuk. Sampai akhirnya film selesai pun kami menemui alasan kenapa ia jadi pemabuk (setidaknya menurut pandangan kami). Bahwa ia jadi pemabuk karena kehilangan perempuan yang baginya sangat penting. Dory, itu namanya seingat kami. Sehingga kami berpikir bahwa keputusan Freddie Quell untuk menjadi pemabuk adalah sekaligus keputusan untuk menyerah pada hidup yang dialaminya. Ia seperti sudah kalah, tapi tak berani menghadapi kekalahannya. Di awal-awal film, kita bisa melihat tokoh ini muak pada hampir semua yang ada di depannya.
Misalnya pada adegan ketika ia bertemu dengan psikiater yang pertama. Pada adegan itu kita bisa membaca bahasa tubuh yang cenderung malas dan menolak apapun yang diucapkan oleh si psikiater. Kita bisa melihat arah tubuh yang sengaja dibuang, serta nada bicara yang malas-malasan. Kami awalnya berpikir karena mungkin ia sedang mabuk. Tapi ketika adegan bertemu dengan psikiater yang kedua terjadi, dan kami melihat bahasa tubuh yang hampir sama, kami akhirnya menyimpulkan bahwa ia muak dengan kewajiban untuk bertemu psikiater. Mungkin dalam pikirannya ia berkata bahwa “Aku tidak gila!”
Pada adegan bertemu psikiater yang kedua itu juga kami melihat dinamika emosi yang menarik. Dalam adegan itu, kita bisa melihat ia bersedih sebentar, tapi kemudian ia tertawa. Kami tidak melihat tawa itu sebagai tanda kegilaan. Kami justru melihat tawa itu sebagai satu upaya untuk mengingkari kesedihan mendalam atas apapun yang kemudian menjadi penyebab Freddie Quell candu terhadap alkohol.
Kami rasa, dalam tiap adegan yang dilakoni oleh Joaquin Phoenix, ia mendahulukan emosi tokoh untuk menjalankan respon si tokoh. Sehingga respon dari Freddie Quell cenderung unpredictable, otentik, tapi sekaligus menarik. Kami jadi ingat bahwa dalam film ini, kami pernah membaca sebuah fakta bahwa Joaquin Phoenix ogah mengikuti blocking yang diberikan sutradara. Tapi ia lebih ingin bergerak sesuai apa yang diinginkan si tokoh.
Adegan dengan respon menarik yang lain juga ketika ia mendatangi segerombolan perempuan yang sedang mendengarkan sebuah rekaman. Dalam adegan itu kita bisa membaca dengan cukup jelas pada pandangan matanya bahwa ia sedang birahi. Bukan soal bagaimana Freddie Quell menunjukkan nafsunya, tapi bagaimana emosinya bisa terbagi dengan baik. Kita bisa membaca pada detik-detik pertama adegan tersebut ia terlihat nafsu. Lalu pada detik berikutnya, ia berusaha mengendalikan perasaan itu dengan duduk, memainkan earphone dan memperhatikan alat semacam radio tersebut. Kemudian pada detik berikutnya, pikiran tokoh yang sedari awal memang sudah nafsu, kembali menguasai. Kita bisa melihat itu dari arah pandang matanya pada tiap perempuan yang sedang mendengarkan rekaman tersebut. Hingga akhirnya ia menuliskan sebuah kata yang mengajak untuk berhubungan intim dengan salah satu perempuan disana. Perjalanan emosi dan pikiran si tokoh pada adegan itu menarik. Upayanya untuk memunculkan 2 kesadaran juga menarik karena ia membagi dengan baik bagian mana yang jadi perpanjangan tangan 1 kesadaran dan bagian mana lagi yang menjadi perpanjangan kesadaran yang lain.
Lalu ada satu adegan di film The Master yang menurut kami sangat menguras emosi tokoh dan menarik. Adegan itu adalah adegan ketika ia pertama kali berbincang dengan tokoh Lancaster Dodd yang dimainkan oleh Philip Seymour Hoffman di ruangannya. Pada adegan itu ada pertanyaan yang terus diulang. Kita bisa melihat bagaimana dengan pertanyaan yang sama, setiap jawaban keluar dengan nada yang berbeda. Kita disuguhkan dinamika atas pikiran dan perasaan si tokoh yang terejawantah pada nada bicaranya. Kita bisa mendengarkan nada yang semula yakin, kemudian tumbuh menjadi tidak yakin. Di adegan ini, salah satu adegan yang menurut kami menunjukkan bagaimana tokoh ini selalu tumbuh tapi tumbuh dengan tidak terduga.
Apalagi ketika kita masuk ke adegan dimana ia tidak boleh mengedipkan mata. Masih pada adegan interview yang sama. Kita bisa melihat bagaimana gejolak yang ada pada bagian pertama tidak terlalu besar, menjadi sangat besar dan hampir tidak terkontrol di bagian kedua ketika ia tidak boleh memejamkan mata. Kita pun bisa melihat bagaimana tokoh ini meledak, dan berusaha menenangkan diri. Dalam bagian ini kita bisa melihat permainan gejolak emosi yang besar dan menarik serta upaya untuk mengontrol emosi yang besar itu.
Tadi di atas kita sempat menyinggung bahwa tokoh Freddie Quell ini emosinya cenderung acak, random, dan tidak tertebak. Awalnya kami sempat berpikir kenapa bisa begitu? Kami tidak bisa membaca arah emosi si tokoh. Hingga akhirnya kami kemudian sadar bahwa pola emosi yang “berantakan” itulah pola emosi milik tokoh yang sebenarnya. Ia seorang pecandu alkohol, lalu ada masalah dalam hidupnya yang berusaha ia ingkari, Freddie Quell juga sepertinya memiliki masalah dengan pengendalian emosi. Sehingga pola emosi yang seperti amburadul itu tetap menarik karena ia memang milik Freddie Quell.
Ada banyak laku yang tidak terduga sekaligus menarik lainnya. Dimana laku tersebut harus kami sampaikan karena memang membuat kami terkejut dan tidak menduga bahwa tokoh itu akan melakukan laku tersebut. Adegan ini terjadi di penjara, ketika Freddie Quell tertangkap karena melawan polisi. Kita bisa melihat tokoh ini sangat emosi. Hal yang menarik bukan teriakan-teriakan dan berontaknya. Tapi justru laku-laku kecil yang mendukung emosi besar itu. Salah satu laku yang menurut kami paling menarik, kecil tapi membawa kesan yang sangat besar terhadap tokoh ciptaan Joaquin Phoenix ini adalah ketika ia menggigit kasur sampai robek. Laku itu kecil, tapi otentik, tidak terduga, menarik, dan yang paling penting selaras dengan tokoh Freddie Quell.
Jadi dalam sudut pandang permainan emosi, Joaquin Phoenix juga bisa dibilang berhasil memainkan emosi si tokoh sesuai dengan 3 dimensi Freddie Quell. Dengan psikologi seorang pecandu alkohol, sosiologis seorang tentara, dan fisik yang semacam itu, semua respon dan emosi yang dikeluarkan tokoh sesuai. Meskipun pada awal-awal film, kami hanya bisa mengagumi bentuk tubuhnya saja, tidak pada permainan emosinya. Karena jawaban atas kenapa permainan emosi dan respon tokoh seperti itu muncul setelah film The Master selesai.
Ingat kata Stella Adler di buku The Art of Acting;
The reaction cannot be forced. It has to be born. (Adler, 2000:44)
Dan itulah yang kami lihat terjadi pada respon Joaquin Phoenix. Semuanya lahir dengan alasan yang jelas, tanpa dipaksa dan dibuat-buat.
Lalu bagaimana dengan Philip Seymour Hoffman? Apakah ia sebagus Joaquin Phoenix?
Philip Seymour Hoffman, Also The Master
Sama seperti Joaquin Phoenix, tokoh yang dimainkan oleh Philip Seymour ini juga memukau pada bagian fisiologis. Jika kita bandingkan dengan permainannya di Capote misalnya, kita bisa melihat perubahan dimensi fisiologis yang signifikan. Poin pertama yang paling terlihat adalah suara yang berubah. Nah, kalau soal suara ini, yang menarik bukan hanya perubahannya saja, tapi bagaimana dengan suara yang berubah tersebut, ia tetap bisa konsisten. Bahkan dalam adegan menyanyi, suaranya terdengar tidak berubah. Kenapa itu jadi penting? Karena tidak semua aktor yang berhasil merubah suara, berhasil juga mempertahankan suaranya yang berubah ketika ia sedang bernyanyi dan yang paling penting, tidak fals dengan suara yang sudah berubah.
Bagaimana dengan bagian yang lain? Satu hal yang pasti kami tangkap dari ciptaan Philip Seymour adalah bahwa ciptaannya memiliki tempo yang berlawanan dengan Joaquin Phoenix. Sehingga ketika keduanya bermain berdua, tempo dari masing-masing tokoh ini saling mengisi. Hampir semua hasil ciptaan Philip berlawanan dengan apa yang diciptakan oleh Joaquin. Misalnya soal suara. Jika warna suara Joaquin Phoenix cenderung mengalun dan rendah, Philip lebih gendam, besar, dan yakin.
Pun dengan respon dari kedua tokoh ini. Jika ciptaan Joaquin Phoenix respon yang dikeluarkan cenderung acak, tokoh yang dimainkan Philip sebaliknya. Responnya benar-benar ditata dengan baik. Ia terlihat berpengalaman dan bisa memilih nada dengan tepat. Kami sadar bahwa itu mungkin karena tokohnya yang seorang terapis. Sehingga ia punya kemampuan untuk menyusun kata agar orang-orang percaya dengan apa yang dikatakannya.
Meskipun kebanyakan tidak random, pada beberapa adegan juga terdapat ledakan-ledakan yang tidak terduga. Seperti misalnya ketika salah satu muridnya memprotes perubahan pikiran si tokoh. Kita bisa melihat ia meledak sekali karena muak. Ledakan itu tidak terduga karena dari awal tokoh ini tidak memiliki pola emosi semacam itu.
Jika dilihat dari sudut pandang fisiologis, sosiologis, dan psikologis, baik ciptaan Joaquin Phoenix atau pun Philip Seymour Hoffman terbilang berhasil. Ciptaan mereka berdua lengkap, konsisten, dan hidup. Keduanya juga saling mengisi satu sama lain. Terutama cara mereka membangun kesan dari masing-masing tokoh. Kesan tersebut dari awal film hingga film The Master selesai tetap melekat erat pada masing-masing tokoh. Sehingga identitas tokoh nggak kabur.
Tapi meskipun masuk Oscar, kenapa salah satu dari mereka tidak menang penghargaan itu ya? Sepertinya jawabannya hanya satu, meskipun permainannya sangat bagus, baik itu Joaquin Phoenix atau Philip Seymour, tapi pesaing mereka, terutama si peraih Oscar tahun itu, permainannya lebih baik dari Phoenix dan Philip.
Lalu, apakah di Joker nanti Phoenix akan bermain sebagus The Master ini? Coba tuliskan pendapatmu di kolom komentar!
Terima kasih, viva aktor!