[Acting Review] Once Upon a Time In Hollywood: Kesempatan Di Oscar
Once Upon a Time In Hollywood adalah film Quentin Tarantino yang ke-9. Film ini, seperti yang kalian semua sudah tahu dibintangi oleh Leonardo DiCaprio, Brad Pitt, dan Margot Robbie. Dalam film ini pun permainan Leo digadang-gadang bisa membuatnya masuk nominasi Oscar untuk yang kesekian kali dan mungkin mendapatkan Oscar untuk yang kedua kalinya. Tapi kenapa dan seberapa besar kemungkinan Leo mendapatkan Oscar lewat film ini?
Ciptaan yang Hampir Menarik
Hampir menarik! Ya! Itu sepertinya kata yang tepat untuk penciptaan tokoh Leonardo DiCaprio, Brad Pitt, dan satu pemain lagi. Bukan, itu bukan Margot Robbie. Margot Robbie bagi kami tak cukup mencuri perhatian. Kita bahas kenapa;
Margot Robbie di film ini berperan sebagai Sharon Tate, tokoh yang sesungguhnya ada di dunia nyata. Seorang aktris yang mati muda karena dibunuh oleh segerombolan pengikut kultus sesat Charles Manson.
Dalam sudut pandang keaktoran yang ideal, atau tak perlu menggunakan yang ideal lah. Kita pakai parameter film Margot Robbie sebelumnya, I, Tonya. Kedua film dimainkan oleh tokoh yang sama-sama biopic. Sharon Tate adalah tokoh biopic, dan Tonya Harding juga tokoh biopic. Jika dilihat dari parameter itu, kami bisa berkata bahwa penciptaan Margot Robbie di I, Tonya jauh lebih menarik daripada di Once Upon a Time in Hollywood.
Pertama soal capaian fisiologisnya. Kami hampir tidak menemukan capaian yang menarik sedikitpun dari Margot Robbie di film garapan Tarantino ini. Bahkan, kami hampir tidak menemukan perubahan. Ia sama seperti Margot Robbie di luar film. Tak ada yang berubah sama sekali. Dari mulai cara berjalan, warna suara, cara tersenyum, cara melihat, tidak ada perubahan yang signifikan. Kami sempat bertanya, apakah karena Sharon Tate mirip dengannya?
Untuk soal gaya rambut mungkin karena keduanya sama-sama blonde. Tapi bagaimana dengan bentuk tubuh yang lain? Pada caranya berjalan misalnya? Kami memang tidak menemukan footage yang menunjukkan cara berjalan Sharon Tate sebagai Sharon Tate, bukan sebagai tokoh yang dimainkan di filmnya. Tapi kami mencoba membandingkan cara berjalan Margot Robbie ketika menjadi Sharon Tate dan ketika ia berada di luar film. Hasilnya? Sama.
Itu juga yang terjadi pada laku tubuhnya yang lain. Kami tahu, film Once Upon a Time in Hollywood ini adalah penggabungan antara fakta dan fiksi, seperti Forrest Gump. Ada beberapa peristiwa dan tokoh yang fakta, ada beberapa peristiwa dan tokoh yang fiksi. Nah, Margot Robbie mendapatkan ruang memainkan tokoh yang memang pernah hidup dan ada. Sayangnya, ia tak berhasil mencapai bentuk tokoh biopic itu, atau setidaknya bentuk yang lebih baru dari permainan Margot sebelumnya dan dari dirinya sendiri.
Selain itu, di film Once Upon a Time in Hollywood, Margot Robbie juga hampir tak punya banyak kesempatan untuk menunjukkan permainan emosi yang dalam dan kompleks. Ia juga tak memiliki durasi kemunculan yang banyak. Dengan penciptaan tokoh yang tidak melompat jauh dari dirinya dan porsi yang tidak terlalu banyak, maka wajar jika kami tidak mendapati satu hal pun yang menarik dari Margot Robbie. Sorry Margot, you are better when you are in I, Tonya than Once Upon a Time in Hollywood.
Tapi bukankah aktor seharusnya menyadari bahwa satu detik kemunculannya adalah ruang untuk bermain sebaik mungkin?
Kami lalu berusaha membandingkan dengan tokoh lain, yang juga biopic, dan ada di film ini. Tokoh ini juga hanya tampil sebentar saja. Bahkan ia hanya memiliki 2 scene kalau kami tak salah ingat. Salah satu scene-nya cukup panjang, sekitar 5-10 menit. Ia adalah Mike Moh.
Mike Moh berperan sebagai Bruce Lee. Ingat kan? Sejauh yang kami lihat, Mike Moh cukup berhasil dalam menirukan Bruce Lee. Dari mulai bentuk tubuhnya, arah dagu yang sedikit ke atas, cara bicaranya, warna suaranya, sampai dengan detail pada pengucapan beberapa huruf konsonan. Kami bisa bilang secara fisik ia sangat mirip dengan Bruce Lee.
Jika kami bandingkan antara Margot Robbie dengan Mike Moh, maka keduanya ada dalam kondisi yang hampir sama. Bahkan Mike Moh lebih parah. Ia tidak mendapatkan durasi kemunculan sebanyak Margot Robbie. Tapi dalam sudut pandang penciptaan keaktoran, tokoh yang diciptakan oleh Mike Moh terasa lebih solid.
Dalam dimensi fisiologis misalnya, tokoh Bruce Lee bikinan Mike Moh terlihat solid karena laku tubuhnya, bentuk tubuh, warna suara, dan hal-hal yang berhubungan dengan fisik terlihat berubah dan berupaya mendekati bentuk Bruce Lee. Lalu pada caranya menjalankan pikiran dan perasaan, tokoh rekaan Mike Moh ini juga terlihat solid. Buktinya? Coba perhatikan diri kalian ketika menonton adegan Bruce Lee. Bisakah menyingkirkan kesan Bruce Lee pada ciptaan Mike Moh? Kami bisa bilang, hampir tidak mungkin.
Kenapa itu bisa terjadi? Mungkin karena persiapan yang panjang. Sekedar informasi, Mike Moh melakukan persiapan untuk tokoh Bruce Lee yang cuma muncul sekitar 2 scene dan hanya beberapa menit itu selama 3 bulan. 3 bulan untuk 10-15 menit. Lalu di perfilman kita? Ah sudahlah, kita bahas di artikel yang lain.
Lalu bagaimana dengan Leonardo diCaprio dan Brad Pitt di Once Upon a Time in Hollywood? Kita bahas Brad Pitt dulu. Pada kemunculan pertama, kami mendapati sedikit perubahan fisik. Misalnya gaya rambut dan cara berjalannya. Selain itu caranya memainkan mulut, mengunyah permen karet, cara melihat, cara merokok, dan detail lain soal laku tubuh bisa terlihat perubahannya. Tapi sekali lagi, tidak sangat signifikan dan mungkin bentuknya tidak sangat menarik karena tidak melompat jauh dari permainan Brad Pitt biasanya.
Tapi ketika kami beranjak dari bentuk tubuh ke suara, kami menemukan hal yang menarik. Pertama adalah warna suara yang berubah. Perubahan warna suara itu semakin terasa kental ketika didukung dengan aksen yang juga ikut berubah. Kami bilangberubah, artinya perubahan ini melompat jauh dari Brad Pitt di luar film. Tapi ada yang aneh dalam warna suara yang dipilih Brad Pitt. Kami merasa warna suara tersebut mirip dengan warna suara tokoh Aldo Raine di Inglorious Bastards.
Coba perhatikan video ini;
Lalu bandingkan dengan video trailer yang ini;
Warna suara Aldo Raine dan Cliff Booth terasa hampir mirip. Hanya mungkin suara Cliff Booth terasa lebih ringan daripada suara Aldo Raine. Kenapa itu bisa terjadi? Bukankah mereka adalah dua manusia yang berbeda? Manusia yang hidup di era yang jauh berbeda? Kami menduga, kesan suara yang hampir mirip ini muncul karena aksen yang dipilih Brad Pitt untuk Cliff Booth dan Aldo Raine sama. Sehingga kesan warna suara yang sama pun muncul.
Lalu soal permainan emosi dan pikiran tokoh, kami tidak mendapati momen yang kompleks dan menarik. Mungkin juga karena tokoh ini dibangun dengan persona yang tenang dan tidak banyak pergolakan emosi. Atau mungkin tokoh ini sudah selesai dengan pergolakan emosinya. Ingat bahwa di film dijelaskan Cliff Booth membunuh istrinya? Meskipun hanya sebatas gosip?
Tapi dengan latar belakang semacam itu, keputusan Brad Pitt untuk terkesan dingin dan tenang hampir di depan semua orang jadi tepat. Ia seperti telah selesai dengan perasaannya sendiri. Cliff Booth seperti manusia yang berhasil mengendalikan dengan baik semua perasaannya. Itu juga mungkin yang membuat ia hampir tenang pada setiap momen dalam film ini, termasuk di adegan terakhir.
Dengan laku semacam itu, apa yang dilakukan Brad Pitt jadi sesuai dengan porsi yang diberikan padanya. Ia hadir dengan porsi yang tepat dan justru berhasil menjadi pembeda ketika disandingkan dengan Leo. Jika kalian perhatikan dengan baik, tokoh Leo memiliki perangkat emosi yang berbanding terbalik dengan Cliff Booth di Once Upon a Time in Hollywood.
Selain itu, yang menarik lagi soal Brad Pitt adalah bagaimana ia menjalankan pikirannya dalam posisi-posisi silent act. Pada kondisi-kondisi semacam itu kita bisa melihat Brad menjalankan betul operasional dalamnya. Sehingga kami bisa melihat laku luarnya muncul dengan porsi dan timing yang tepat. Sistematika itu yang berjalan dalam diri Brad ketika memainkan tokoh.
Dengan semua pencapaian itu, nampaknya Brad belum akan masuk radar Oscar. Kenapa? Sederhana saja, persaingan best supporting actor butuh lebih dari sekedar bisa merespon dengan porsi yang tepat. Harus ada penciptaan tubuh yang kompleks, permainan emosi yang dalam, dan kemampuan mendukung tokoh utama. Brad hanya memiliki setidaknya 1 dari 3 hal yang bisa membuatnya masuk Oscar. Mungkin bukan di Once Upon a Time in Hollywood ini, Ad Astra bisa jadi film yang bikin Brad Pitt masuk nominasi. Lalu Leo bagaimana?
Once Upon a Time In Hollywood dan Kesempatan Leo
Leonardo diCaprio bermain apik jika kita melihat keseluruhan dan sekilas di Once Upon a Time in Hollywood. Pertama yang membuat permainannya menarik adalah berubahnya aksen, dimana semua pengucapannya terasa seperti menggulung ke dalam. Hal itu membuat suaranya juga ikut berubah. Meskipun tidak banyak. Selain soal aksen dan warna suara, tempo bicara Leo juga ikutan berubah.
Rick Dalton ini adalah seorang tokoh buatan Tarantino atau tokoh fiksi. Rick adalah seorang aktor, yang sedang berusaha untuk mendapatkan kembali ketenarannya. Kisahnya mungkin mirip seperti Birdman, hanya saja dalam ruang lingkup film. Dan Rick Dalton adalah orang yang sekilas nampak melankolis dan sangat perasa. Nah, semua ciri tentang Rick Dalton itu berhasil ditunjukkan dengan baik oleh Leonardo diCaprio.
Leo pun mendapatkan banyak sekali kesempatan untuk menunjukkan permainan emosi dan psikologi Rick Dalton. Misalnya, ketika ia keluar dari bar dan menangis, lalu menyalakan rokok dan berkata “Aku sudah tidak terkenal”. Kita bisa melihat betapa Rick Dalton begitu melankolis. Kita juga bisa melihat bagaimana Leo menyusun tangisan itu, membuat matanya sedikit berair, mengambil rokok, dan menyalakannya. Semua bit itu berhasil diisi motivasi yang tepat oleh Rick sehingga tidak ada yang terasa palsu.
Prinsip yang sama yang harusnya ada ketika seorang aktor menggunakan metode penciptaan Physical Action milik Stanislavski.
The main purpose of the Method of Physical Actions was for actors to find the precise and logical sequence of actions that would enable their characters to achieve their ‘tasks’. (Merlin, 2003:30)
Nah, Leo berhasil menemukan dengan tepat setiap urutan tindakan yang dilakukan oleh si tokoh beserta motivasinya.
Adegan yang menarik lagi lainnya adalah ketika Leo marah di dalam mobil setelah ia berulang kali lupa dialog. Kita bisa melihat kemarahan yang menarik dan otentik. Meskipun tidak sepenuhnya otentik. Beberapa poin dalam kemarahannya terasa seperti ketika ia sedang marah di The Wolf of Wall Street. Misalnya pada caranya menunjuk dan memainkan tangan. Tapi dalam adegan tersebut, kita bisa melihat persona Rick Dalton yang lain. Persona seorang lelaki yang selalu merasa insecure, gagal, dan penuh kekurangan.
Leo bisa tampil cukup memukau di film ini juga mungkin karena Rick Dalton berbanding 180 derajat dari tokoh yang dimainkan Brad Pitt. Respon dari Rick Dalton ini hampir bisa dikatakan selalu cepat dalam menghadapi apapun. Sementara Cliff Booth lebih tenang dan tidak responsif. Perbedaan ini yang membuat mereka berdua muncul dan menonjol. Hubungan timbal balik yang menarik antara Brad Pitt dan Leonardo.
Ada satu adegan lagi yang menarik ketika ia berdialog dengan seorang anak perempuan saat menunggu giliran syuting. Perjalanan emosi Rick Dalton menarik. Pada momen ini kita bisa melihat Leo berusaha mendengarkan dengan baik dialog lawan mainnya. Leo sepertinya tahu bahwa pada adegan itu, yang menjadi motor operasional dalamnya adalah semua ucapan si anak kecil. DiCaprio somehow harus membuat tokoh ini sangat perasa sehingga hal kecil yang dikatakan anak itu yang secara langsung atau tidak langsung menyentuh hidupnya, jadi sangat penting untuk Rick. Dan ia berhasil melakukannya. Dengan semua capaian itu, ia sangat mungkin masuk nominasi Oscar.
Tapi… Oscar Tak Semudah Itu
Tapi, dari semua kepiawaiannya menunjukkan perjalanan emosi dan pikiran tokohnya, Leo kekurangan satu hal yang membuatnya cukup sulit mendapatkan Oscar. Apa itu?
Pertama, Oscar seperti punya kebiasaan untuk memberikan penghargaan aktor terbaik pada aktor yang memiliki adegan-adegan dengan emosi-emosi yang dalam dan kompleks. Emosi Rick Dalton memang kompleks, tapi dibawakan seperti tidak dalam. Bahkan ketika dalam film itu hanya ada satu adegan yang punya emosi dalam, dan si aktor berhasil melakukannya dengan baik, ia sangat mungkin jadi Best Actor. Kasus ini terjadi di Daniel Day-Lewis ketika memainkan Lincoln.
Sayangnya, hampir semua adegan Rick Dalton, tidak ada yang sangat dalam dan emosional. Emosi-emosi Rick Dalton seperti emosi-emosi yang ada di layer pertama atau kedua. Ini bisa terjadi karena memang susunan tokoh dan naskahnya begitu.
Kedua, Oscar melihat proses pencarian si aktor. Sejauh yang kami tahu, Leo tidak mengalami sebuah rintangan yang sangat besar ketika menciptakan tokoh ini dan ketika melakukan proses syutingnya. Bisa dikatakan hampir tidak ada media yang memblow-up proses shooting yang berat atau proses pencarian tokoh yang rumit. Seperti ketika Leo mendapatkan Oscar dari film The Revenant.
Ketiga, saingan Leo tahun ini sangat berat. Setidaknya, ada beberapa nama yang sudah masuk daftar Oscar dalam kacamata kami. Pertama jelas Joaquin Phoenix. Lalu ada Christian Bale yang bermain di film Ford v Ferrari, Robert De Niro di The Irishman, dan beberapa film yang belum rilis. Masuk nominasi sudah sangat bagus untuk permainan Leo. Tapi mendapatkan Oscar kedua? Sepertinya rintangan itu lebih berat.
Dengan semua alasan itu, maka pantas kiranya kami berkata bahwa Oscar tak semudah itu ada di genggaman Leo tahun depan. Tapi kemungkinan selalu ada. Jadi, apakah Leo akan berhasil mendapatkan Oscar keduanya? Kita tunggu besok Februari!
Terima kasih, viva aktor!