[Acting Review] Blue Jasmine; Pertumbuhan Psikis yang Rumit
Setiap kali menonton sebuah film dengan kondisi psikis tokoh yang rumit pasti selalu menarik. Terlebih jika si aktor mampu memainkannya dengan baik. Bukan hanya sekedar menunjukkan kompleksitas psikis si tokoh, tapi bagaimana membuat tokoh dengan kondisi psikis yang serumit itu terasa tetap manusiawi. Hal itulah yang terjadi di film Blue Jasmine garapan Woody Allen.
Film Blue Jasmine ini dibintangi oleh Cate Blanchett. Di tahun film itu rilis, Cate berhasil menyabet hampir semua penghargaan aktris terbaik. Tapi, apakah memang sesempurna itu permainan Cate Blanchett? Apakah ia benar-benar berhasil memainkan tokoh Jasmine? Acting review ini akan mengulasnya lebih dalam dari sudut pandang seni peran dan mungkin sedikit mengutip penelitian psikologi yang beredar di internet tentang permainan Cate Blanchett di Blue Jasmine. Untuk kalian yang belum menonton, kami sarankan jangan membaca artikel ini sampai akhir karena akan sangat penuh dengan spoiler. Jadi, mari kita bahas!
Capaian yang Tidak Lengkap
Yes! Itulah yang terjadi. Ketika kami melihat permainan Cate Blanchett di menit-menit pertama film ini dimulai sampai menit terakhir, capaian Cate Blanchett memang tidak lengkap. Maksudnya, ada aspek yang sepertinya tidak diciptakan. Entah itu terlewat, sengaja dilewatkan, atau memang itulah interpretasi dari Cate Blanchett atas tokoh.
Lengkap dan tidak lengkapnya sebuah capaian tentu harus kita sepakati bersama dulu. Dalam sudut pandang kami, penciptaan tokoh yang menyeluruh itu artinya semua aspek berhasil ia ciptakan. Dari mulai aspek psikologis, sosiologis, hingga fisiologis. Lalu ketika kita bicara tiga aspek itu, pastinya tidak bisa berhenti pada pemahaman mendasarnya saja. Artinya harus sampai pada pemahaman yang lebih jauh dan dalam atas aspek tersebut.
Misalnya aspek fisiologis. Memang, jika kita melihat dari satu lapis saja pemahaman atas aspek fisiologis, maka kita mungkin akan berhenti pada laku tubuh besar yang terlihat. Seperti misalnya cara jalan, warna suara, potongan rambut, bentuk tangan, dan lain sebagainya. Dalam lapis ini, Cate Blanchett tampak tak menciptakan apapun. Kami mendengarkan warna suara yang sama, cara berjalan yang hampir sama, dan laku tubuh besar lain yang cenderung sama dengan permainan Cate Blanchett di film-filmnya yang lain. Bahkan, di kehidupan nyata pun, setelah kami melihat interview Cate Blanchett dan mendengar suaranya, lalu membandingkan suara tersebut dengan tokoh Jasmine yang ia ciptakan, kami tak menemui perbedaan. Itu jika kami melihat ciptaan Cate dalam satu lapis di aspek fisiologis.
Bandingkan dengan video ketika ia menjadi Jasmine.
Lalu jika kita melihat ciptaan fisiologis Cate lebih dalam. Artinya tidak di lapis pertama, maka kami melihat ciptaan yang cukup menarik. Misalnya pada laku tubuh kecil yang dimunculkan tokoh ini. Seperti yang diceritakan di film, tokoh ini adalah seorang perempuan yang pernah kaya. Ia lalu bankrut karena suaminya kedapatan menipu banyak orang. Dikisahkan juga bahwa tokoh ini awalnya adalah seorang yatim piatu. Jasmine lalu bertemu dengan Hal, suaminya, yang sudah kaya dan menikahi Hal. Jasmine seperti tokoh dengan sejarah yang dari miskin tiba-tiba punya banyak uang karena suaminya kaya. Ia bukan perempuan yang berjuang dari bawah bersama suaminya, lalu jadi kaya. Ditambah lagi masa lalu sebagai seorang yatim piatu. Tokoh ini sepertinya dibangun sebagai tokoh yang entah bagaimana caranya, secepat mungkin dia harus jadi kaya.
Kami lalu merasa bahwa sejarah itu membentuk kesan tokoh yang terlihat borjuis, dalam sudut pandang orang lain terkesan angkuh, dan begitu stylish. Ia mengagumi kekayaannya. Ia juga memuji kekayaannya sendiri. Nah, kesan itu berhasil dimunculkan di laku tubuh – laku tubuh yang kecil. Misalnya ketika ia diberi sebuah gelang emas oleh suaminya di masa lalu dan ia memakainya untuk bertemu dengan teman dari Ginger, adiknya di masa sekarang. Kita melihat Cate beberapa kali menyentuh gelangnya. Ia seperti ingin menunjukkan bahwa gelang itu begitu indah dan berharga. Setiap orang yang melintas seharusnya melihat gelang tersebut.
Bahasa tubuhnya yang borjuis tampak di laku tubuh – laku tubuh kecil itu. Cate berhasil merepresentasikan sejarah dan kesan tokohnya ke laku tubuh yang kecil. Meski tidak berhasil pada laku tubuh yang besar, ciptaan Cate dalam sudut pandang fisiologis jadi tetap menarik. Ciptaan fisiologisnya yang “minim” itu jadi lebih menarik dengan penciptaan psikologis yang rumit nan berhasil.
Blue Jasmine yang Psikisnya Rumit dan Tumbuh
Satu aspek yang membuat kami percaya bahwa Cate Blanchett pantas memenangkan banyak penghargaan adalah capaian pada aspek psikologisnya. Sebelum kita membahas apakah ciptaan psikologisnya sesuai dengan kondisi-kondisi psikis yang ada di dunia nyata, kita bahas dulu permainan Cate Blanchett tanpa melihat relevansi ciptaan psikisnya dengan kondisi-kondisi psikologis yang sudah diteliti oleh para pakar.
Dari menit pertama, kami sudah melihat Cate Blanchett berusaha membangun tokoh yang memiliki kejanggalan. Kejanggalan itu sengaja tidak dimunculkan begitu besar oleh Woody Allen di awal film. Cate Blanchett berhasil menangkap maksud itu. Ia tidak sesumbar atas kondisi psikis tokoh yang janggal. Ia membukanya sesuai porsi yang dibutuhkan di adegan. Itulah yang juga menjadi kunci kenapa psikis tokoh Jasmine tumbuh dengan sangat baik. Karena Cate Blanchett tidak sesumbar atas kejanggalan dan kompleksitas tokoh, dan membukanya sesuai porsi yang diminta adegan. Jika Cate sesumbar, atau bermain melebihi porsi, maka tidak akan ada pertumbuhan tokoh yang tampak. Beruntung juga Woody Allen sepertinya memahami cara membuat kondisi psikis tokoh tampak tumbuh sedikit demi sedikit.
Jika kalian perhatikan dengan seksama, di awal-awal film terlihat bahwa tokoh Jasmine ini memang tertekan. Tapi tidak begitu tertekan. Tingkat stresnya masih ada di taraf normal. Sampai akhirnya ketika dia memutuskan untuk bekerja dan bersekolah lagi, tingkat stresnya meningkat. Kami rasa tingkat stres Jasmine meningkat karena tokohnya adalah seorang borjuis yang tidak biasa bekerja dan belajar lagi. Tokohnya yang terbiasa dengan hal-hal mewah lalu memutuskan untuk bekerja dan bersekolah lagi menampar kebiasaan borjuis si tokoh. Di adegan itu, tingkat stres si tokoh ditunjukkan dengan porsi yang tepat dan relevan dengan sejarah tokoh yang diciptakan.
Sifat borjuis dan sedikit angkuh itu juga berhasil ia jadikan sebagai pembentuk respon tokoh agar otentik. Misalnya di adegan Jasmine bekerja sebagai admin di sebuah tempat praktek dokter. Kita bisa melihat Jasmine seperti jijik dengan tempat itu. Ia tidak nyaman, tapi harus memaksa diri untuk nyaman agar bisa bertahan hidup dan keluar dari masalahnya. Sekali lagi, cara respon itu relevan dengan latar belakang tokoh yang borjuis dan sedikit angkuh.
Di adegan ini jugalah akhirnya kami tahu bahwa Jasmine memiliki kelainan psikis. Realitas tokoh seperti bertumpuk. Terkadang di satu momen, kesadaran Jasmine tidak sedang berada di tempatnya sekarang. Tapi berada jauh di belakang. Sehingga ia sering bicara sendiri atau lebih tepatnya mengatakan apa yang sudah pernah ia katakan dalam peristiwa yang sudah dilaluinya dulu. Kondisi itu terjadi semakin sering. Semakin Jasmine tertekan, kondisi realitas yang tumpang tindih itu makin sering hadir. Kami rasa intensitas kemunculan realitas bertumpuk di tokoh ini juga jadi kunci pertumbuhan psikis tokoh. Semakin mendekati akhir film, intensitas psikis realitas yang bertumpuk makin sering terjadi. Sehingga kesan di penonton, tokoh ini psikisnya tumbuh ke arah gila. Itulah kondisi psikis Jasmine di Blue Jasmine. Sekarang, apakah kondisi psikis itu benar-benar ada? Apakah sense of truth berlaku dalam ciptaan Cate Blanchett? Dan jika ada, apakah ciptaan Cate Blanchett relevan dengan yang ada di dunia nyata?
Psikis Tokoh di Film dan Psikis Manusia Sesungguhnya
Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Dani Jacoby dari Southern New Hampshire University berjudul Psychological Assessment of Jasmine from the movie “Blue Jasmine”, dikatakan bahwa Jasmine menderita Borderline Personality Disorder.
Sejauh pemahaman kami tentang kondisi psikis itu, ialah ketika seseorang merasa insecure tapi dalam taraf yang lebih besar. Ia takut ditinggalkan karena kesalahannya. Orang dengan gangguan psikis ini juga memiliki emosi yang labil. Lalu, salah satu cara seseorang yang terkena kondisi psikis ini menghadapi kondisinya adalah menganggap bahwa dirinya baik-baik saja. Membohongi dirinya atau menciptakan realitas palsu dalam dirinya.
Penciptaan realitas palsu itu relevan dengan adegan ketika Jasmine bercerita pada Dwight, kekasihnya. Ia menceritakan bahwa kehidupannya memang buruk, tapi tidak menceritakan yang sesungguhnya. Jasmine tidak menceritakan bahwa ialah sumber kesalahan dari kehancuran hidupnya.
Soal realitas yang bertumpuk itu memang tidak disebutkan dalam jurnal tersebut. Tapi kami merasa realitas yang bertumpuk dan momen mengucapkan dialog sendiri dari masa lalu adalah mekanisme pertahanan diri atas rasa bersalah yang muncul kembali. Kami rasa jadi relevan dengan timing kemunculan “realitas bertumpuk” ini.
Pembahasan soal psikis dari Jasmine di Blue Jasmine memang masih sangat dangkal. Jadi, jika ada rekan psikolog atau psikiatri yang mau diajak Bincang Aktor untuk memahami kondisi-kondisi manusia secara psikologis dan membaca tokoh dalam sudut pandang psikologis, kami akan menerima dengan tangan terbuka.
Secara keseluruhan, itulah yang kami dapat dari permainan Cate Blanchett di Blue Jasmine. Menurut kalian, apa yang menarik dari film dan permainan Cate Blanchett? Coba tulis di kolom komentar!