[Acting Review] Still Alice; Capaian Fisiologis yang “Beyond”
Still Alice adalah film yang jadi perbincangan banyak orang di tahun perilisannya karena permainan Julianne Moore yang luar biasa. Memainkan seorang perempuan yang menderita Early Onset Familial Alzheimer’s, Julianne Moore dinilai banyak pihak berhasil. Tapi apakah benar ia berhasil? Jika iya, bagian mana yang berhasil? Apakah keseluruhan, atau sebagian? Acting review ini penuh spoiler. Disarankan untuk berhenti sampai di paragraf ini jika belum menonton. Jadi, mari kita bahas permainan Julianne Moore di Still Alice.
Capaian Fisiologis yang Minim
Suara adalah aspek yang paling terlihat, tapi sekaligus menjadi aspek yang paling sulit diciptakan. Ada banyak persoalan yang melatar belakangi berhasil tidaknya capaian suara. Salah satunya adalah pengetahuan mendalam tentang mekanisme suara yang dihasilkan oleh seorang tokoh. Aktor mestilah menemukan mekanisme suara yang tepat dari si tokoh. Ia harus bisa menemukan bentuk mulut, bentuk lidah pada pengucapan huruf, tempo bicara serta bagaimana udara menyentuh pita suara sehingga menghasilkan warna suara tertentu. Suara jadi aspek yang luar biasa rumit untuk diciptakan.
Dalam Still Alice, Julianne Moore terdengar hampir tidak mendapatkan perubahan warna suara yang berbeda dari suara aslinya. Jika didengarkan baik-baik, warna suara Alice dan Julianne Moore tak terasa berbeda, malah cenderung sama. Cara pengucapan huruf juga hampir sama, tidak ada yang berubah. Sehingga kami kemudian memutuskan untuk mengatakan tidak ada capaian fisiologis, terutama pada aspek suara. Coba lihat dua video di bawah ini, satu video adalah interview Julianne Moore dan video lainnya adalah cuplikan adegan dalam film Still Alice.
Pun jika ditemukan perubahan suara, rasanya tipis sekali. Dibutuhkan pendengaran ekstra dan keyakinan besar untuk mengatakan bahwa Julianne Moore telah mengubah suaranya.
Lalu pada aspek fisiologis lain, misalnya pada cara berjalan dan laku tubuh lain, kami tak menemukan capaian yang signifikan. Malah cenderung sama dengan cara berjalan Julianne Moore di banyak film yang pernah ia mainkan sebelumnya, dan cara berjalannya sendiri. Lagi-lagi, untuk mengatakan ada perubahan pada laku tubuh dibutuhkan penglihatan yang luar biasa jeli dan kami tak mendapatkan perubahan laku tubuh itu meski sudah melihatnya berulang kali, bahkan melambatkan videonya untuk memastikan bahwa semua mekanisme berjalannya berbeda. Lalu kami berpikir, mungkin permainan Julianne Moore di Still Alice sama seperti permainan Cate Blanchett di Blue Jasmine. Capaiannya bukan pada fisiologis, tapi pada psikologis.
Capaian Psikologis yang Relevan dengan Latar Belakang Sosial Tokoh
Memang, capaian psikologis sudah menjadi perhatian kami sebelum menonton film ini. Sekedar informasi, kami menonton Still Alice hingga 4-5 kali. 1 kali kami lakukan 6 tahun lalu saat film ini pertama kali rilis (tentu saja, siapa yang belum menonton film ini saat ia rilis pertama kali 6 tahun lalu?) dan 4 kali sisanya kami lakukan di waktu yang berdekatan. Sekitar 2 bulan, sebulan, 2 minggu, dan sehari sebelum artikel Acting Review ini kami tulis.
Di sesi menonton yang terakhir, kami menyingkirkan harapan tentang capaian fisiologis karena memang tak menemukannya dan begitu fokus pada capaian psikologis si tokoh. Hasilnya, permainan Julianne Moore dalam aspek psikologis, di dalamnya termasuk permainan emosi, sungguh luar biasa. Ada banyak adegan dengan emosi intens yang berhasil dilakukannya.
Misalnya ketika Alice mendengar kabar pertama kali bahwa dirinya terkena Alzheimer. Kami bisa melihat Julianne Moore menjalankan emosinya dengan sabar, tenang, baik, dan sesuai porsi. Adegan dengan emosi yang menarik lainnya juga terjadi ketika Alice mengabarkan pada sang suami kalau dia terkena Alzheimer. Pada menit-menit pertama ia mengatakan itu, kita bisa melihat Alice mengendalikan emosinya dengan baik, hingga akhirnya ia meledak di momen yang tepat dan sesuai dengan respon yang dikeluarkan oleh sang suami.
Melihat dua adegan itu kami kemudian berpikir soal aspek sosiologis yang melatarbelakangi. Diceritakan bahwa Alice adalah seorang dosen terkemuka di Columbia University. Ia adalah perempuan berpendidikan tinggi yang kemudian kami pikir pasti memiliki pengaturan emosi yang luar biasa bagus. Terlebih dengan orang-orang di sekitarnya yang juga berpendidikan tinggi. Suaminya seorang dokter, anak lelakinya, Tom, juga seorang dokter. Dengan tingkat sosial dan pendidikan yang tinggi, kami rasa relevan dengan cara tokoh ini mengatur emosinya.
Alice tidak akan dengan mudah meledak-ledak dan marah. Ia akan hampir selalu dengan tenang menghadapi masalahnya semata-mata karena ia terdidik begitu tinggi. Terlebih dengan masa lalu si tokoh yang berasal dari keluarga yang berantakan, ditinggal mati ibunya sedari kecil, dan tak pernah tinggal bersama Ayahnya yang seorang pemabuk. Kami menduga, masa kecil tokoh ini dibangun bersama seorang Ayah temperamen sehingga ia tak ingin menjadi seperti Ayahnya yang tak bisa mengendalikan emosinya. Hasilnya, Alice mengontrol emosinya dengan sangat baik.
Sejarah dan latar belakang sosial ini yang kami pikir mempengaruhi cara Alice menjalankan emosinya. Dimana itu artinya, Julianne Moore menjalankan emosi dengan cara yang relevan dengan latar belakang si tokoh. Satu hal yang patut dicontoh aktor lain.
Adegan lain yang menunjukkan kepiawaian Alice mengendalikan emosi kembali muncul saat ia mengabarkan kepada ketiga anaknya bahwa ia terkena Alzheimer dan ada kemungkinan anak-anaknya juga ikut tertular karena sifat Alzheimer-nya yang menular berdasarkan keturunan. Dalam istilah kedokteran disebut Familial Alzheimer. Dalam adegan itu kita bisa melihat di awal Alice mengendalikan emosinya dengan sangat baik. Cenderung tenang dan tidak sangat melankolis. Hampir tidak ada air mata di momen ia mengabarkan kabar buruk itu pada anak-anaknya. Padahal, jika kita meletakkan kondisi yang sama pada manusia yang katakanlah memiliki tingkat pendidikan rendah dan tak memiliki latar belakang yang sama dengan Alice, air mata akan keluar di menit pertama bahkan sebelum ia mengatakan tentang penyakitnya. Lalu pada momen yang tepat, kesedihan Alice meledak.
Pengendalian emosi yang baik lainnya bisa kalian lihat saat Alice menerima telepon dari Anna dan mengabarkan bahwa ia positif Alzheimer seperti ibunya. Alice tak meledak, ia tak menangis, tapi justru berhasil mengendalikan emosinya dengan baik. Padahal di momen itu seharusnya perasaan bersalah Alice keluar dan membabi buta. Tapi Alice berhasil mengendalikannya.
Kami sedari awal memperhatikan mata Alice yang aneh tapi menarik. Dari awal film kami selalu melihat matanya berkaca-kaca. Aneh karena kenapa matanya begitu? Apa yang terjadi? Kami akhirnya menemukan jawaban yang kami rasa tepat.
Jawabannya adalah sepintar-pintarnya Alice mengendalikan emosinya, matanya akan selalu bocor dan tidak bisa mengendalikan emosi yang sesungguhnya terjadi dalam dirinya. Jika bahasa tubuh dan nada bicara berhasil ia kendalikan agar emosinya tak meledak-ledak, matanya lain. Matanya tak bisa dikendalikan. Mata Alice menjadi satu bagian tubuh yang merepresentasikan kondisi emosi Alice yang sesungguhnya. Mata menjadi tempat mengalirnya emosi Alice yang besar itu. Mata Alice melengkapi dimensinya sebagai manusia biasa yang sepintar apapun mengendalikan emosi, akan selalu bocor di satu atau dua bagian tubuh. Julianne Moore meletakkannya di mata.
Bicara Still Alice, Maka Bicara Capaian Fisiologis yang “Beyond”
Bicara tentang tokoh Alice, maka kami juga bicara soal capaian fisiologis yang “beyond”. Kami tak menemukan bahasa Indonesia yang tepat dari kata “beyond”. Maksudnya begini, jika bicara capaian fisiologis Alice, kita tak bisa berhenti pada bentuk tubuh luarnya saja. Tapi kita harus memperhatikan bagian dalam si tokoh. Bagaimana penyakit Alzheimer menggerogotinya.
Tak bisa dipungkiri bahwa Alzheimer, sejauh yang kami tahu, bukan kondisi psikologis. Alzheimer sepenuhnya adalah kondisi fisiologis. Berhubungan dengan otak dan kemampuan mengingat. Alice berhasil memberikan capaian fisiologis “beyond” itu. Ia menunjukkan pertumbuhan penyakit Alzheimer dengan sangat baik dan bahkan, sejauh penelitian kami tentang gejala Alzheimer, relevan.
Alzheimer ditunjukkan dengan gejala lupa arah, melupakan beberapa kata, hingga pada tahap berikutnya, lupa segalanya. Alice berhasil menunjukkan proses pertumbuhan penyakit Alzheimer tersebut dengan tepat dan sesuai porsi.
Lalu jika kita hubungkan prosesnya menjalankan emosi, Julianne Moore melakukannya lebih baik lagi karena menjadikan kondisi Alzheimernya sebagai motor emosinya. Terutama di bagian-bagian awal ketika Alzheimer si tokoh belum terlalu parah sehingga kesadaran Alice masih terhubung dengan kondisi fisiologisnya.
Contoh adegannya bisa kalian lihat ketika Alice memberikan pidato. Pada adegan tersebut kita bisa melihat Alice mengawalinya dengan ketakutan yang besar. Ia takut lupa, takut Alzheimernya kambuh di tengah momen ia memberikan pidato penting. Sehingga ketakutan jadi muncul. Mekanismenya, Alice sadar akan Alzheimer-nya dan kemudian emosinya bergerak sesuai kesadaran si tokoh.
Permainan emosi lain yang tumbuh tapi relevan dengan kondisi fisiologis tokoh yang “beyond” itu terjadi lagi di adegan terakhir saat si tokoh sudah kehilangan ingatan sepenuhnya. Julianne Moore masih berhasil menyampaikan emosinya. Dimana sebenarnya tokoh ini sudah tak bisa merasakan apapun lagi karena ia tak ingat tentang apapun yang ia pernah dengar dan rasakan sebelumnya.
Satu lagi yang patut diperhatikan dan digaris bawahi dari permainan Julianne Moore adalah bagaimana ia meletakkan lupa dalam lakunya. Julianne Moore meletakkan lupa dengan tepat. Dalam sebuah sesi wawancara ia mengatakan bahwa keberhasilannya meletakkan lupa dengan tepat adalah karena riset mendalam yang sudah dilakukannya. Sekedar informasi, Julianne Moore melakukan riset mendalam tentang penyakit Alzheimer ini. Ia menemui banyak dokter, bertemu banyak orang dengan penyakit Alzheimer, dan menganalisis setiap orang dengan Alzheimer yang ia temui. Hasilnya Julianne Moore mampu meletakkan lupa nya pada momen yang tepat dan sesuai porsi.
Riset, ini yang harus digaris bawahi oleh setiap aktor atau orang-orang yang berkecimpung di dunia seni peran, bermain film tapi tak mau menyebut diri mereka aktor semata-mata karena takut atau merasa tak layak. Riset yang mendalam selalu dibutuhkan untuk memainkan tokoh. Alasannya sederhana saja. Karena tokoh adalah manusia, sama seperti si aktor. Tokoh juga kompleks, maka bodoh rasanya jika memperlakukan sesuatu yang kompleks dengan sederhana tanpa melalui perjalanan yang kompleks terlebih dahulu. Kalau begitu, bukankah si aktor jadi terlalu pragmatis? Semoga kalian bukan aktor yang macam itu. Tapi kalau kalian begitu, apa mau di kata. Semoga segera berubah.