Love for Sale 2 Flash Review; Lebih Baik 1 atau 2?
Musim pilpres memang sudah lewat jauh. Tapi sepertinya memilih antara 1 dan 2 tetap terjadi sampai sekarang. Tapi kali ini bukan soal presiden. Melainkan sebuah film yang oleh banyak pihak disebut sebagai kisah horor paling seram tahun ini. Setelah sukses dengan Love for Sale, Andi Bachtiar Yusuf, atau yang biasa kami panggil Bang Ucup merilis kembali sebuah sekuel atau apalah sebutannya, dengan judul Love for Sale 2.
Film ini dibintangi oleh Adipati Dolken, Ratna Riantiarno, Yayu Unru, Putri Ayudya, Ariyo Wahab, Bastian Steel, Taskya Namya, dan cast lainnya. Kami mendapatkan kesempatan spesial menyaksikannya jauh-jauh hari sebelum film ini dirilis serentak tanggal 31 Oktober nanti. Bagaimana kami melihat film “horor” ini? Tenang, Flash Review ini bebas spoiler. Jadi, aman untuk dibaca sampai habis.
Mana yang Lebih Oke? Love for Sale 1 atau 2?
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan oleh banyak orang sebelum menonton film ini. Jika kami ditanya pertanyaan yang sama, maka kami akan berusaha sebijak mungkin menjawab “Tonton saja dulu”. Dari apa yang kami lihat, film Love for Sale 2 sedikit banyak memiliki kesamaan dengan yang pertama. Kesamaannya muncul dari komposisi gambar, warna, alur cerita, tapi tidak dengan tokohnya.
Dari komposisi gambar dan warna misalnya. Kalian akan melihat warna-warna yang sama seperti Love for Sale pertama. Seperti yang terlihat di trailer dan poster, kira-kira akan ada banyak warna yang semacam itu. Tapi sayang, ada beberapa cutting dan dubbing yang meleset. Di sebelah mana? Ada, kami tak bisa menyebutkan adegannya karena akan spoiler.
Tapi tenang, cutting dan dubbing yang meleset itu tidak sangat terlihat. Setidaknya nonton 2 kali, kalian baru bisa mendapati adegan dengan cutting dan dubbing yang kurang pas itu. Tentunya, jika apa yang diputar untuk press screening ini adalah “telor setengah matang”, Maka mungkin cutting dan dubbing yang kurang tepat itu akan hilang ketika dirilis serentak. Semoga.
Lalu soal alur cerita, seperti yang menjadi tagline film ini; “The Most Horror Love Story” ia tetap terasa horor. Malah menurut kami, horornya jadi lebih manusiawi, realistis, dan dekat (setidaknya dengan kami). Kenapa? Karena Arini jadi terasa lebih manusiawi. Kok bisa? Tonton aja besok tanggal 31 Oktober!
Dari beberapa aspek itu, bagi kami 1 dan 2 sama saja. Sama-sama menyeramkan, dan menyisakan sesuatu setelah menonton. Meminjam apa kata penonton di sebelah kami, “Nyebelin!”
Bagaimana Dengan Para Cast?
Lalu bagaimana dengan castnya? Jika dibandingkan dengan yang pertama, maka kami memutuskan untuk tidak membandingkannya. Karena memang mereka adalah tokoh dengan dimensi yang berbeda. Tapi jika kita melihat dari capaian penciptaan, maka yang pertama sedikit lebih baik. Kenapa? Kami berpikir kalau hal tersebut juga terjadi karena dimensi tokohnya.
Sederhananya begini; tokoh di Love for Sale lebih kompleks secara psikis dari pada Love for Sale 2. Di Love for Sale kita bisa melihat Gading Martin hadir sebagai tokoh yang dari menit pertama sudah penuh kompleksitas. Sementara tokoh di Love for Sale 2 tidak sekompleks itu. Tokoh di film kedua ini lebih tepat dibilang “sederhana tapi terkadang dalam”. Meski begitu, kesederhanaan tokoh-tokoh di Love for Sale 2 terkadang muncul terlalu sederhana ketika dibutuhkan “sederhana” dan tidak sederhana ketika dibutuhkan sederhana. Sehingga pada beberapa permainan, kalian akan mendapati acting yang hampir tak sesuai porsi.
Kami mencoba menggunakan prinsip kami sendiri dalam memahami akting untuk melihat permainan para aktor di film ini. Kami merasa bahwa;
Akting adalah reaksi – akuaktor –
Tapi dalam film ini kami tak melihat akting sebagai reaksi. Memang tidak di semua bagian, tapi di beberapa bagian yang terkadang juga sebuah bagian penting.
Dari sekian banyak pemain di film Love for Sale 2, kami menyarankan untuk memperhatikan bagaimana Yayu Unru bermain. Ciptaannya dalam film ini menarik, meski tidak semua. Kenapa? Tunggu Acting Reviewnya.
Sementara untuk si tokoh utama dan pemain lain, kami merasa ada beberapa bagian yang tidak sangat beres. Seperti misalnya respon yang terkadang tepat dan menusuk dalam ke hati penonton, terkadang terlalu cepat. Lalu kedalaman emosi yang terkadang terlalu dalam sehingga sulit dinikmati, dan terkadang sangat dangkal tapi justru menggetarkan.
Sementara untuk penciptaan fisiologis, kami tak mau bicara banyak. Mungkin karena waktu persiapannya yang mepet, atau… apologi apalagi? Dan bagaimana mereka bermain “luruh”, ini yang harus diperhatikan baik-baik. Selebihnya, kalian harus nonton dulu! Kami akan membahas soal permainannya lebih lengkap di Acting Review.
Overall, Love for Sale 2 memang harus ditonton. Kenapa kami bilang terus-terusan untuk “harus nonton”? Ya setidaknya mendukung perfilman Indonesia tak ada salahnya kan? Apalah arti 50 ribu? Selain nasi telor 5 bungkus dan es teh 5 bungkus. Tapi siap-siap aja. Siap-siap untuk mendapatkan sesuatu yang… Ah! Apa ya bahasa yang tepat?
Terima kasih, viva aktor!