[Flash Review] Darah Daging; Berdarah Tapi Tak Berdaging
Darah Daging, film action yang rilis 5 Desember lalu ini akhirnya kami tonton. Kenapa? Kenapa baru setelah 4 hari perilisannya kami menonton film ini? Sebenarnya kami agak ragu pada film ini. Kami takut hanya dipukau visual saja tanpa memiliki jalinan cerita yang utuh dan kokoh. Tapi setelah kami menonton, Darah Daging tidak sepenuhnya begitu. Flash Review ini kami upayakan bebas spoiler. Jika terlalu takut terkena spoiler yang tak sengaja, baiknya tidak membacanya sampai akhir.
Darah Daging, Peristiwa yang Hampir Aneh
Darah Daging ini bercerita tentang 3 saudara yang berusaha untuk menyelamatkan ibu mereka yang sakit dan 1 sahabat yang berusaha menyelamatkan anaknya yang sakit dengan merampok bank. Mereka adalah Arya (Ario Bayu), Rahmad (Rangga Nattra), Fikri (Arnold Leonard) dan Salim (Donny Alamsyah). Segitu saja sinopsisnya. Jika ingin tahu cerita lengkapnya nonton saja. Dari sudut pandang film secara keseluruhan, kami sebenarnya bisa bilang film ini cukup menarik. Darah Daging memiliki cerita, premis, dan intensitas dramatik yang menarik. Tapi film ini seperti hanya berdarah saja tapi tak berdaging di beberapa bagian.
Misalnya pada soal cerita, dan premis. Pada bagian itu kami bilang menarik karena memang ceritanya kami pikir baru. Premisnya pun meski mungkin sering diangkat, yakni “upaya menyelamatkan seseorang yang tersayang dengan mengorbankan nyawa” atau persahabatan dan pengkhianatan atau semacamnya, tapi menarik. Menarik karena premis film ini digerakkan oleh konflik yang dimiliki masing-masing tokoh. Tokoh yang menghasilkan cerita dan mempertajamnya. Kami pikir ini cukup jarang terjadi di film-film laga Indonesia.
Tapi jadi tidak menarik karena banyak sekali logika peristiwa yang bolong. Selain itu, kalian akan bisa menebak kemana arah cerita film ini. Bisa tertebak karena tokoh-tokoh yang menghasilkan konflik itu tidak diracik sedemikian rupa sehingga memunculkan peristiwa lain yang tak terduga. Dan lagi, dengan cara bertutur yang lompat-lompat dan punya pola lompatan yang sama membuat film ini mudah tertebak. Kami beri contoh agar tak spoiler.
Misalnya si A, melakukan sesuatu karena di masa lalunya dia begini dan begitu. Ditunjukkan dengan si A yang dipanggil seseorang, lalu menoleh, dan tersenyum. Angle yang dipilih adalah medium close up misalnya. Si B pun ditunjukkan dengan cara yang sama. Jika dilakukan dua kali kami pikir tak masalah. Tapi di film ini, bentuk bertutur seperti itu terjadi berulang kali pada hampir setiap tokoh ketika berupaya menjelaskan latar belakang si karakter. Semuanya jadi tertebak dan tidak menarik. Spektakel yang dimaksudkan jadi hanya berefek pada momen pertama saja. Momen kedua, ketiga, dst, jadi tidak berefek sama.
Lalu soal intensitas dramatiknya. Memang intens, tapi somehow kami merasa intensitas itu buntung. Seperti tidak terjelaskan dengan baik, padahal sudah dijelaskan. Kami sempat bingung menonton film ini. Kami mau bilang menarik, tapi tertahan. Kemudian kami menemukan jawabannya. Karena intensitas permainan dan adegan muncul mendadak tanpa pengantar yang tepat. Ini yang kami bilang di awal soal logika peristiwa yang bolong. Padahal adegan-adegan itu “berdarah” tapi kami bertanya, dari mana “darah” itu muncul? “Daging”nya saja kami tak melihat. Itu kenapa juga banyak peristiwa di film ini memiliki logika yang aneh. Entah itu soal logika lingkungan sekitar, polisi, dan betapa luar biasa kuatnya si Borne, bahkan melebihi superhero. Semua logika peristiwa yang terjadi seperti tidak terpikir dan terbangun dengan baik.
Pemain yang Intens Tapi Datar
Kami rasa hanya Ario Bayu dan Donny Alamsyah yang bermain dengan baik dan lengkap. Maksudnya, mereka menjalankan respon dengan baik, menjalankan permainan emosi mereka dengan dinamis, memunculkan emosinya karena perjalanan pikiran dan perasaan, dan menjalankan sejarah tokohnya dengan baik. Sementara pada pemain lain, kami hanya menangkap intensitas saja. Kami tak menangkap alasan dari intensitas itu.
Intensitas emosi yang hadir seperti dihadirkan untuk “pamer” kemampuan. Pamer kalau mereka bisa menangis. Pamer kalau mereka bisa bermain emosi dalam. Lupa kalau emosi tersebut muncul karena suatu alasan. Mereka lupa kalau tokoh punya sejarah dan aktor harus menunjukkan sejarah itu. Bukan hanya dengan adegan, tapi dengan laku, gesture, kecepatan memutuskan sesuatu, dan lain sebagainya. Mereka bahkan sepertinya lupa bahwa mereka sedang bermain Seni Peran. Ruang kesenian dalam permainan mereka hampir nihil.
Ini bahkan dengan catatan kami mengenyampingkan semua dimensi tokoh yang seharusnya ada dalam bangunan keaktoran. Karena memang tidak ada sama sekali capaian fisiologis, psikologis, hingga sosiologis. Kami hanya melihat “akrobatik emosi” saja. Mereka seperti tidak sedang menjalankan seorang manusia yang memiliki hidup dan masalah. Mereka seperti manusia yang tetiba muncul dan diberi peristiwa macam itu. Mereka lupa bahwa peristiwa dalam film ini dimunculkan oleh konflik pada tiap tokoh di film ini.
Mungkin mereka menjalankan pikiran dan perasaan si tokoh, tapi mereka seperti tidak hidup menggunakan pikiran dan perasaan itu. Bahkan pada beberapa pemain, emosi yang muncul seperti hanya muncul karena diwajibkan muncul oleh naskah atau sutradara. Respon-respon mereka juga buntung. Permainan mereka berdarah, tapi tak berdaging.
Ingat, akting bukan hanya soal aktor bisa menangis tersedu sedan, atau gembira yang tak terkira. Tapi ia harus bisa menjalankan inner life si tokoh, operasional dalam si tokoh. Menyadari bahwa reaksi yang keluar adalah perjalanan pikiran dan perasaan. Beberapa aktor atau jika kami cukup tega, semua aktor di film ini seperti lupa bahwa akting adalah bereaksi. Ia tak bisa berdiri sendiri dan tetiba muncul.
Secara garis besar film ini menarik. Tapi ia seperti berdarah saja, tapi tak berdaging.