[Acting Review] The Two Popes; Chemistry yang Luar Biasa
Sudah nonton The Two Popes? Atau malah baru mendengar film ini? Kalau kalian baru mendengarnya, keterlaluan sekali. Kenapa keterlaluan? Bukan soal tema film yang membuat keterlaluan tak menonton The Two Popes, tapi soal cast dari film ini yang sungguh terlalu kalau sampai tak tahu soal The Two Popes. The Two Popes adalah film yang diproduksi oleh Netflix dan dibintangi oleh Jonathan Pryce serta Anthony Hopkins. Baik Jonathan Pryce atau pun Anthony Hopkins berhasil masuk nominasi Golden Globe tahun ini dan Screen Actors Guild. Mereka juga digadang masuk nominasi Oscar tahun ini. Gimana? Keterlaluan sekali kan kalau belum tahu film ini.
Ah sudahlah, yang terpenting sekarang kalian sudah tahu dan bisa segera menontonnya. Karena acting review ini akan penuh dengan spoiler, jadi kami sarankan untuk yang belum menonton bisa segera menontonnya. Di Netflix (yang belum kunjung bayar pajak itu) kalian bisa menontonnya. Atau di Indo… ah, sudahlah. Sudah pamitan (katanya).
The Two Popes, Dua Opa yang Luar Biasa
The Two Popes adalah cerita tentang pimpinan tertinggi agama Katolik di Vatikan, kita biasa mengenalnya dengan sebutan Paus. Film ini bercerita tentang Paus Benedict XVI yang diperankan oleh Anthony Hopkins, dan Paus Francis yang diperankan oleh Jonathan Pryce. Soal cerita lengkapnya kalian bisa menontonnya sendiri ya. Terlalu panjang dan bertele-tele kalau diceritakan sinopsisnya. Nyari di internet juga banyak kan? Sekarang kita bahas permainan dua Opa-opa yang sudah berusia 82 dan 72 tahun ini.
Pertama kita bahas Jonathan Pryce. Aktor yang berusia 72 tahun ini berhasil mengejutkan kami. Sebenarnya kami tak sangat terkejut kalau Pryce berhasil mencapai ciptaan macam itu di The Two Popes. Pasalnya ia memiliki track record permainan yang baik. Kami pertama kali melihatnya di film Pirates of The Caribbean. Kami merasa, meskipun tak mendapat penghargaan, ciptaan Pryce di film itu menarik. Lalu pada film-film berikutnya kami tak sangat mengikuti sampai ia berhasil memukau di film The Wife. Meskipun lawan mainnya yang mendapatkan nominasi Oscar, tapi Pryce berhasil bermain sesuai porsi dan standar kualitasnya.
Lalu The Two Popes muncul. Ketika pertama kali melihat permainan Pryce di film ini, kami segera ingin mengecek suaranya. Apakah ada perubahan dalam suara Pryce?
Dalam video tersebut kita bisa sekaligus mendengarkan suara Pryce sebagai Paus Francis dan Pryce sebagai dirinya sendiri. Kami tak menangkap ada perubahan suara yang signifikan. Tapi, kami menangkap hal lain yang menarik. Hal tersebut adalah bagaimana ia berhasil merubah aksen bicaranya ketika menjadi Paus Francis. Terutama pada pengucapan beberapa huruf konsonan seperti T. Kita juga bisa mendengar nada bicara yang berbeda.
Seperti tokohnya yang memiliki bahasa Latin sebagai bahasa ibu, Pryce berhasil menguasai bahasa Latin dengan baik. Hal itu bisa kalian dengarkan ketika di adegan pertama Pryce berpidato bahasa Latin dengan lancar. Bukan hanya bahasanya saja, tapi aksen dan cengkok yang khas dari bahasa Latin. Selain itu yang menarik lagi adalah ketika ia berbicara dengan bahasa Inggris, aksen bahasa Latinnya masih tertinggal dengan konsisten.
Sementara Anthony Hopkins kira-kira memiliki capaian yang sama dengan Pryce dalam soal suara. Coba lihat video di bawah ini;
Di video itu kalian juga bisa mendengarkan bagaimana warna suara Opa Hopkins. Kita bisa mendengarkan warna suara yang tidak diubah sama sekali. Meski begitu, dalam The Two Popes, Hopkins berhasil menguasai bahasa Latin dengan baik. Tapi tak seperti Pryce yang aksennya tetap muncul ketika mengucapkan bahasa Inggris, Hopkins tidak mempertahankan aksennya ketika ia berdialog dengan bahasa Inggris. Kami tak tahu apa pertimbangannya.
Karena ini film biopic dan tokohnya benar-benar ada di dunia nyata, maka kami juga harus membandingkan ciptaan Pryce dan Hopkins dengan Paus Francis dan Paus Benedict XVI. Coba lihat video Paus Francis berikut ini.
Jika kita mendengarkan dengan baik warna suara Paus Francis di video di atas, dan membandingkannya dengan warna suara ciptaan Jonathan Pryce, maka kita menemukan ketidak samaan. Suara Paus Francis terasa lebih ringan dan hampir tak ada serak. Sementara suara yang diciptakan oleh Jonathan Pryce terasa sedikit serak. Meskipun mungkin soal aksen keduanya mirip, tapi soal warna suara Pryce tidak mirip dengan Paus Francis.
Sekarang coba perhatikan video Paus Benedict XVI berikut ini;
Hal yang sama pada Pryce terjadi juga pada Anthony Hopkins. Jika kalian dengarkan dengan baik, suara Paus Benedict XVI terasa lebih kecil, pelan, dan sedikit serak. Sementara suara ciptaan Hopkins (jika dia benar-benar menciptakan warna suara yang lain) terasa lebih besar, lebih serak dan temponya lebih cepat.
Itu dari warna suara. Sementara jika kita melihat penampilan fisik, tanpa memperhatikan betul bagaimana cara berjalan dan laku tubuh lain, maka antara Pryce dan Hopkins yang paling mirip dengan tokoh yang mereka mainkan adalah Pryce. Sementara Hopkins tidak. Secara kenampakan ia terlihat lebih gemuk dari pada Paus Benedict XVI.
Sementara jika kita perhatikan capaian fisiologis lain, misalnya soal cara berjalan, dan tanpa membandingkannya dengan cara berjalan tokoh asli, maka Hopkins dan Pryce memiliki capaian yang berbeda juga.
Dari Hopkins misalnya, kita bisa melihat cara berjalan yang berbeda. Dari tempo berjalan, Hopkins jelas lebih pelan karena memang tokohnya sudah sangat tua dan memiliki keterbatasan dalam bergerak. Jika diperhatikan lagi, kita bisa melihat bentuk pundak yang agak membungkuk. Bentuk ini sedikit banyak sama dengan bentuk Paus Benedict XVI. Selain itu, kami tak menemukan capaian lain yang menarik. Lalu jika diperhatikan betul, cara berjalan Hopkins berubah menjadi lebih membuka (atau bahasa yang agak kasar “ngangkang”).
Sementara pada Pryce, kami menemukan capaian yang sedikit lebih menarik. Salah satu yang mencuri perhatian kami adalah bagaimana Pryce membuat caranya memainkan tangan, mulai dari tempo sampai bentuk ketika memainkan tangan relevan (kalau tidak bisa dibilang sama persis) dengan apa yang dilakukan oleh Paus Francis. Kalian bisa melihatnya pada video di atas. Sementara untuk cara berjalan, kami menemukan bentuk berjalan yang sedikit berbeda dari Pryce dan ia di tokohnya di film lain. Kami melihat langkah kaki yang sedikit kecil, pundak yang akan membungkuk, dan leher yang sedikit maju ke depan.
Itu soal capaian fisiologis. Memang tak ada yang sangat signifikan dalam soal capaian fisiologis ini. Karena memang bukan itu headline kami dalam menulis acting review untuk film ini.
Bagaimana Dengan Respon dan Emosi?
Fisiologis sudah, bagaimana dengan respon yang dijalankan oleh para pemain? Kami merasa Hopkins dan Pryce menjalankan respon mereka dengan sangat baik. Misalnya pada adegan penghitungan suara di awal. Kita bisa melihat Hopkins merespon suasana dengan sangat tepat. Apa yang dilakukannya relevan dengan apa yang sedang dirasakan tokohnya. Seseorang yang sedikit terobsesi untuk menjadi Paus (setidaknya itu yang kami tangkap). Dengan obsesi macam itu, kami merasa bahwa timing Hopkins melihat ke para anggota yang sedang memilih dengan pandangan mata yang tajam pada beberapa orang yang dipilih relevan. Intensitas pandangan mata itulah yang menarik.
Pryce pun menjalankan respon dengan baik. Ia menjalankan tiap respon atas peristiwa atau dialog lawan main dengan cara yang menurut kami relevan dengan tokoh yang sedang ia mainkan. Kita tahu bahwa tokoh Pryce di film ini dibangun sebagai persona yang bisa dibilang “bodoh amat” pada hampir apapun yang bersifat obsesif. Berbanding terbalik dengan tokoh yang dimainkan Hopkins. Dengan bentuk dasar macam itu, maka secara tak langsung ritme tokoh Pryce merespon juga berubah. Jika tokoh Hopkins lebih cepat dan terkadang menggebu-gebu, tokoh Pryce sebaliknya. Responnya jadi lebih lambat, santai, tapi pasti.
Sementara untuk permainan emosi, keduanya juga bermain pada taraf yang menurut kami menarik. Misalnya pada adegan ketika Hopkins mengatakan pada Pryce bahwa ia akan resign dari Paus. Kita bisa melihat perjalanan emosi yang menarik dari Pryce. Pada momen itu, Pryce berusaha bukan hanya menjalankan emosinya, tapi membuat lawan mainnya lebih hidup.
Permainan emosi yang menarik juga ditunjukkan oleh Hopkins. Opa yang memukau kami lewat permainannya di The Silence of The Lambs ini dan sampai detik ini kami terus berharap bisa Bincang Aktor dengan si Opa, berhasil memainkan emosi pada adegan ketika berkata ingin resign dengan baik. Jika Pryce berhasil menjalankan emosinya dengan baik sekaligus mendengarkan dengan baik, Hopkins berhasil memainkan nafasnya dengan baik dan menarik. Permainan nafasnya pun terasa relevan dengan emosi yang sedang dijalankannya.
Permainan emosi yang menarik lainnya dari Pryce adalah ketika ia bercerita tentang masa lalunya tentang upayanya untuk melindungi kawan pasturnya yang lain. Kita bisa melihat permainan emosi yang menarik, intens, dan relevan. Kami bilang relevan karena emosinya sesuai dengan masa lalu yang sedang diceritakannya. Kami bisa menangkap banyak sekali emosi ketika Pryce bercerita. Kami menangkap kesedihan, perasaan menyesal, kemarahan, hingga sedikit rasa takut. Semua emosi tersebut muncul dengan porsi yang tepat.
Sementara pada Hopkins, adegan dengan permainan emosi menarik lainnya ada ketika ia sedang mengakui dosanya pada Pryce. Kita bisa melihat betapa ia merasa dirinya penuh dengan dosa dan kesalahan. Betapa Paus Benedict XVI merasa dirinya sudah keterlaluan menuruti hawa nafsunya, atau perasaan macam itu. Semua emosi itu dijalankan dengan baik hingga menuju ledakan. Dalam proses meledakkan emosi itu pun kami merasa tangga yang dijalani oleh emosi Hopkins terasa tidak terburu-buru dan tepat sasaran.
Chemistry yang Luar Biasa
Ini yang menjadi headline kami dalam membuat acting review The Two Popes. Permainan chemistry keduanya inilah yang membuat kami “menyembah habis-habisan” dua Opa ini. Baik Pryce atau pun Hopkins berhasil mendengarkan dengan baik dan luruh. Mereka berdua bermain sangat rileks, tetap dalam bentuk tokoh, dan tidak pernah berusaha menguasai satu sama lain.
Ketika lawan mainnya berdialog, aktor yang lain mendengarkan sepenuh hati. Dalam sudut pandang kami, mereka tak berusaha mendesain apa yang akan mereka lakukan. Dua Opa ini hanya berusaha untuk menjalankan pikiran dan perasaannya serelevan mungkin dengan apa yang sedang disampaikan oleh lawan mainnya.
Ada banyak sekali contoh adegan dimana keduanya memiliki chemistry yang sederhana tapi luar biasa. Misalnya pada adegan ketika mereka berbincang di taman. Pada adegan itu teknis kamera terasa dekat sekali. Tapi kami melihat baik Pryce atau Hopkins tetap berusaha intens, berkonsentrasi, dan mendengarkan lawan main mereka dengan baik. Sehingga ketika salah satu lawan main mereka tak terlihat di kamera, kami masih merasa si lawan main ada disana dan hidup. Tak berhenti disitu, para Opa ini juga menjalankan respon mereka terhadap ruang di sekitar. Dan yang membuat kami kagum adalah mereka berdua luruh saja dengan peristiwa. Prinsip yang sangat sederhana tapi tak semua aktor mampu melakukannya.
Masih perbincangan di taman, pada adegan setelah mereka duduk di meja. Kami merasa adegannya sangat menarik. Pryce dan Hopkins menunjukkan bahwa mereka memang benar-benar mampu mendengarkan dengan baik dan luruh dengan laku apapun yang sedang dilakukan oleh lawan mainnya. Kami merasa bahwa semua responnya berjalan sempurna. Masing-masing dari mereka juga memunculkan timing respon yang tepat, nada yang pas, dan Pryce serta Hopkins seperti terhubung dengan sebuah benang merah yang kuat.
Pada soal chemistry ini, satu hal yang sangat bisa kita ambil pelajaran adalah bagaimana masing-masing aktornya bisa mendengarkan dengan luruh dan baik. Kenapa ini sangat spesial? Sederhana saja, terkadang banyak aktor yang lupa bahwa akting mereka adalah reaksi atas peristiwa yang terlihat mata, terdengar telinga, dan terasa indera yang lain. Akting mereka tak muncul sendiri dan tiba-tiba. Maka untuk menghasilkan akting yang menarik sekaligus bisa menghidupkan sekitar dan lawan main adalah dengan mendengarkan dengan ikhlas, luruh, dan baik.
Hopkins dan Pryce berhasil menunjukkan bahwa hal yang paling sederhana dalam keaktoran bisa membuat permainan mereka luar biasa kuat. Mereka berdua saling mengisi dan menguatkan satu sama lain. Baik Hopkins atau Pryce tak berusaha untuk menguasai atau mengalahkan satu sama lain. Keduanya bermain sesuai porsi, dan terasa sangat supportif. Hasilnya, mereka berdua berhasil memunculkan permainan yang luar biasa. Terasa sederhana, tapi dalam dan kuat.
Film ini, rasa-rasanya punya cerita yang sama seperti film biopic lainnya. Yang menarik dari film ini justru bukan penciptaan personal tiap aktornya, karena capaian personalnya memang menarik, tapi tidak lebih menarik dari nominator Golden Globe atau SAG yang lain. Tapi permainan ansambel Pryce dan Hopkins yang luar biasa menarik, saling menghidupi, dan saling mengisi dengan tepat. Satu hal yang patut dicontoh oleh para aktor.