[Acting Review] The Danish Girl; Ciptaan yang Sempurna?
The Danish Girl, adalah sebuah film yang bercerita tentang Einar Wegener, yang kemudian mengubah namanya menjadi Lili Elbe, seorang transgender pertama di dunia. The Danish Girl diperankan oleh Eddie Redmayne dan Alicia Vikander. Kedua pemeran tersebut mendapatkan banyak pujian atas permainan mereka. Alicia Vikander bahan berhasil mendapatkan Oscar pertamanya, sementara Eddie Redmayne, hampir mendapatkan Oscar keduanya secara berturut-turut. Seandainya kala itu ia tak “kalah” dari Leonardo Dicaprio di The Revenant, mungkin ia jadi aktor kedua dalam sejarah yang berhasil mendapatkan Best Actor Oscar 2 kali berturut-turut setelah Tom Hanks. Tapi kita tak hendak membahas itu.
Melihat The Danish Girl dan permainan Eddie serta Alicia tentu menarik jika kita membahas capaian mereka. Apa saja yang berhasil mereka capai dan kenapa mereka bisa mendapatkan banyak pujian. Apakah permainan mereka sesempurna itu? Acting Review ini penuh dengan spoiler. Kami sarankan tidak membacanya sampai akhir kalau kalian belum menonton The Danish Girl. Jadi, mari kita bahas. Apakah ciptaan Eddie dan Alicia telah sempurna?
The Danish Girl, Eddie, dan Jembatan yang Tepat
Membahas permainan Eddie Redmayne tentu tak akan ada habisnya. Di The Theory of Everything ia telah berhasil mencuri mata dunia dan membuat kami kagum dengan betapa ia bisa menghidupkan Stephen Hawking, dari sehat, sampai sakit. Tokohnya di The Danish Girl kami rasa memiliki tingkat kesulitan yang hampir sama dengan The Theory of Everything. Eddie harus menunjukkan tokoh yang tumbuh dan berubah. Pertumbuhan dari tokohnya pun tidak hanya sekedar pertumbuhan emosi saja, tapi juga pertumbuhan dimensi yang lain seperti misalnya fisiologis hingga dimensi psikologis yang begitu abstrak.
Jika kita bicara Lili Elbe dan Einar Wegener, maka sejatinya kita bicara soal 1 manusia yang terjebak dalam satu bentuk dan norma tertentu. Seperti apa yang dikatakan Eddie Redmayne dalam sebuah interview dengan Fox. Einar Wegener adalah “belenggu” yang menahan Lili Elbe muncul. Jika kita memahami tokoh Einar Wegener macam itu, maka kita bisa tahu bahwa Eddie sudah berada di jalur yang tepat dalam menciptakan Einar Wegener.
Jika di dalam tubuh Einar sebenarnya ada Lili Elbe yang terbelenggu, maka bentuk dasar tokoh ini sejatinya adalah Lili Elbe, bukan Einar Wegener. Hal itu terlihat jelas dari pemilihan bahasa tubuh Eddie Redmayne ketika menjadi Einar Wegener.
Kita bisa melihat bahasa tubuh yang agak feminin ketika ia menjadi Einar Wegener. Bahasa tubuh feminin yang kami maksud adalah caranya tersenyum, caranya memandang, dan caranya memainkan dagu. Hanya itu. Kami rasa jika lebih dari itu, misalnya pada cara berjalan dan bentuk jari, maka kesan feminin akan muncul terlalu kuat di awal dan kesan Einar Wegener yang seorang lelaki tulen di awal, akan amburadul.
Karena tak dipungkiri, di satu sisi ia masih Einar Wegener, terutama di awal film The Danish Girl, sebelum ia memutuskan untuk memberanikan diri menjadi Lili Elbe sepenuhnya. Ia adalah Einar Wegener, seorang berada, masyarakat menengah ke atas, yang semua bahasa tubuh dan laku tubuhnya diatur oleh norma yang beredar kala itu. Ia tak bisa memilih bahasa tubuh sembarangan ketika menjadi Einar Wegener. Ia bahkan tak boleh terlihat feminin. Sederhana saja; ia adalah lelaki, dan lelaki yang punya bahasa tubuh perempuan yang dominan, dianggap homoseksual. Dan homoseksual kala itu dianggap gila. Jadi, logis rasanya, jika dalam bahasa kami; ketika Eddie Redmayne menjadi Einar Wegener, prosentase bahasa tubuh yang feminin hanya ada sekitar 10%.
Dalam bahasa kami, prosentase sedikitnya bahasa tubuh feminin itu mengaburkan anggapan orang sekitarnya bahwa ia memiliki bahasa tubuh feminin. Kami merasa, apa yang ditangkap oleh orang sekitar Einar Wegener kala itu adalah Einar Wegener yang dalam bahasa kita sekarang “cupu”. Ia hanya terlihat sebagai seorang lelaki lugu dan cupu saja. Tidak terlihat sebagai seorang perempuan. Tapi menariknya, kita bisa melihat dan membaca bahasa tubuh “cupu dan lugu” itu sebagai bahasa tubuh feminin. Kami rasa selain karena trailer, mungkin juga karena poster The Danish Girl. Dimana trailer dan poster sudah memberikan sedikit pengetahuan pada penonton mengenai “akan dibawa kemana saya ketika menonton The Danish Girl”.
Lalu pada adegan ketika ia menggunakan baju perempuan untuk pertama kalinya, disanalah kami rasa Lili Elbe muncul untuk pertama kalinya. Dalam bahasa yang agak puitis; disanalah Lili Elbe pertama kali dibukakan pintunya oleh Einar Wegener. Kita bisa melihat pertumbuhan emosi yang menarik, perlahan, dalam, dan relevan. Kami menangkap perasaan seperti; “Aku menemukan sesuatu yang lain dan menyenangkan, apa ini?” Kelegaan sekaligus pertanyaan itu mampu muncul bersamaan. Kita bisa melihat laku tubuh Einar Wegener merepresentasikan emosi tersebut.
Perhatikan betul bagaimana caranya memandang, caranya memainkan dagu, hingga caranya memainkan ujung jari. Bahasa tubuh itu, dari yang besar sampai yang terkecil berhasil merepresentasikan kondisi “Selamat datang di dunia, Lili Elbe”. Tapi, pertanyaan “Apa ini? Kok Enak?” juga tetap berhasil dimunculkan dengan caranya bernafas. Jika kalian perhatikan dan dengarkan baik-baik, kalian akan melihat nafas yang sedikit terengah. Seperti sebuah perasaan “exciting” tapi sekaligus ragu dan bertanya.
Satu hal yang menarik lagi adalah bahasa tubuh yang muncul tanpa sadar. Bahasa tubuh ini bisa kalian lihat tepat sebelum Einar Wegener naik ke atas kursi. Perhatikan bagaimana cara ia naik. Kakinya yang “on point” memunculkan bahasa tubuh feminin yang kuat tapi tak disadari. Bentuk itu relevan dengan kondisi tokoh yang masih Einar Wegener dan Lili Elbe masih “tertidur” di dalam. Terima kasih pada DOP dan sutradara yang menunjukkan bahasa tubuh tersebut sehingga membuat permainan Eddie Redmayne di The Danish Girl terasa detail dan lengkap.
Eddie Redmayne juga berhasil menciptakan ritme yang lain dari tokoh yang pernah ia mainkan sebelumnya. Paling dekat, di The Theory of Everything, kita bisa menangkap ritme Stephen Hawking yang kadang cepat dan acak. Sementara pada Einar Wegener ini, kita bisa melihat ritme yang perlahan, lembut, dan pasti.
Ritme yang lembut ini menurut kami adalah bagian dari kepemilikan Lili Elbe. Berkat ritme lembut ini Eddie Redmayne berhasil menemukan jembatan yang tepat dari tokoh Einar Wegener ke tokoh Lili Elbe. Jembatan itu yang kami pikir penting. Karena jembatan itulah yang bisa membawa Eddie Redmayne ke bentuk tokoh yang tepat dan jalur yang juga tepat. Jika ia tak menemukan jembatan tersebut, maka sangat mungkin kami akan melihat bentuk yang mendadak dan artifisial. Jembatan pertumbuhan inilah yang bisa jadi pelajaran banyak aktor ketika mendapatkan tokoh dengan perubahan yang signifikan pada hampir tiap dimensi yang dimiliki si tokoh. Jembatan ini membantu memunculkan bentuk yang relevan dan tidak mengada-ada.
Eddie Redmayne jelas memunculkan setiap adegannya dengan baik dan relevan dengan pertumbuhan tokohnya. Misalnya di adegan ketika ia menuju tempat ganti pakaian, lalu membuka pakaiannya di depan kaca dan melipat penisnya. Kami melihat sebuah kepuasan batin. Kami rasa di adegan inilah pintu sepenuhnya terbuka untuk Lili Elbe. Ia sepenuhnya sudah masuk dalam diri Einar Wegener. Lili Elbe tak terbendung lagi. Bahkan kami rasa di titik inilah Einar Wegener mati.
Dalam pemahaman kami, ketika Einar Wegener mati, dan Lili Elbe sepenuhnya muncul, maka akan muncul gejolak yang luar biasa besar ketika seseorang memanggil nama Einar Wegener ketika ia menjadi Lili Elbe. Hal itu benar terjadi di adegan bersama Henrik, ketika Henrik mencium bibirnya, lalu berusaha memegang kelamin Lili dan memanggilnya Einar. Ada semacam penyadaran di diri Einar Wegener bahwa ini tak benar. Ia jelas bukan Lili. Ia adalah Einar Wegener. Ia jelas bukan perempuan, ia adalah lelaki. Gejolak ini berhasil dimunculkan dengan baik oleh Eddie. Bukan hanya persoalan porsi, tapi timingnya pun tepat. Eddie mendengarkan dengan baik Henrik berdialog.
Satu pemahaman yang juga sepertinya menjadi dasar dari penciptaan tokoh ini ialah Lili Elbe merupakan manusia yang lain. Ia adalah entitas yang lain. Bukan Einar Wegener yang berubah jadi perempuan. Lili Elbe sepenuhnya adalah manusia lain yang terjebak dalam tubuh Einar Wegener. Setidaknya itu anggapan Einar Wegener atas Lili dan tanggapan Lili atas kondisinya. Pemahaman ini penting untuk kemudian mampu menempatkan Lili Elbe pada posisi dan porsi yang tepat.
Lalu kita melihat pertumbuhan tokoh yang menarik dari Einar Wegener ke Lili Elbe sepenuhnya. Kami menganalogikan tahap pertumbuhan tokoh Einar Wegener seperti ini. Di 15 menit pertama film, ia adalah 95% Einar Wegener dan 5% entah siapa, tapi tak terlalu penting. Lalu pada 15 menit berikutnya menjadi 90% Einar Wegener dan 10% Lili. Hal itu terjadi ketika Einar Wegener menggunakan baju perempuan untuk pertama kalinya. Lalu pada momen ketika Einar Wegener membuka baju dan telanjang di depan cermin, kami rasa pertumbuhan tokohnya menjadi Einar Wegener 60%, Lili Elbe 40%. Ini yang kami bilang Lili Elbe sudah dibukakan pintu selebar-lebarnya. Ia sudah keluar dari persembunyian puluhan tahunnya.
Dari sana Einar Wegener mulai terkikis secara bertahap. Dari 60% Einar Wegener, berubah menjadi 40% Einar Wegener dan 60% Lili Elbe. Lalu pada saat adegan di Paris, Gerda membawa Hans, teman masa kecil suaminya, kami rasa 70% Lili Elbe sudah menguasai tubuh Einar Wegener. Einar Wegener sudah hampir tiada.
Iya, kami memang menyebut Einar Wegener sudah mati di adegan melihat cermin. Tapi ingat, Lili masih ada di dunia Einar Wegener. Ia masih bertemu dengan istri Einar Wegener, masih bertemu dengan teman-temannya, sehingga meski telah mati, Lili Elbe dipaksa untuk “menjadi Einar Wegener”. Fenomena ini yang kemudian kami temukan muncul setelah Gerda pulang kehujanan.
Perhatikan adegan tersebut. Kalian akan melihat Lili yang kali ini berpura-pura sebagai Einar Wegener. Nah, ketika sudah sampai di titik itu, kami rasa 90% tubuh Einar Wegener sudah milik Lili Elbe. Einar Wegener tinggal 10% saja. Pertumbuhan tokoh yang menarik, jelas, dan tepat.
Ada satu adegan yang sangat sederhana menurut kami tapi paling menarik dari semua adegan yang dijalani oleh Eddie Redmayne. Adegan itu adalah adegan ketika ia pamit pergi ke perpustakaan dan berkata “I love you” pada Gerda. Pada adegan itu, kami rasa caranya mengucapkan terasa sederhana sekali tapi memiliki arti yang luar biasa dalam. Kami merasa pada nada pengucapannya terlintas sejarah tokoh dan gejolak tokoh yang rumit dan besar. Semua berhasil dirangkum oleh Eddie Redmayne dalam satu kalimat “I Love you”.
Lalu apakah permainan Eddie Redmayne sempurna? Kami rasa belum. Hampir, mungkin. Tapi belum. Kenapa? Kami tak menemukan warna suara yang berbeda. Kami tak tahu, apakah memang konsep atau bagaimana, tapi kami juga tak menemukan perubahan aksen. Jika seandainya memang konsep, kenapa pada tokoh lain muncul aksen Denmark dalam dialognya?
Soal permainan emosi, kami rasa selaras dengan bagaimana Eddie Redmayne menumbuhkan tokohnya. Sesuai porsi, dan relevan. Satu lagi, otentik! Kami rasa kesan otentik itu berhasil didapatkannya karena ritme yang ia ciptakan dan sedikit bahasa tubuh yang membawa kesan besar. Yakni cara tersenyum, memainkan dagu, dan caranya memandang.
Lalu bagaimana dengan Alicia Vikander?
Alicia Vikander dan Emosi yang Intens dan Konsisten
Jika pada Eddie Redmayne kami lebih menitik beratkan pada pertumbuhan tokoh yang relevan dan menarik, pada Alicia Vikander, kami tak bisa menitik beratkan pada pertumbuhan tokoh. Memang, tokohnya tumbuh, tapi hanya pada kondisi psikologis dan emosinya saja. Kalau di permainan Alicia Vikander, kami tak bisa mendapati perubahan fisiologis yang menarik. Hanya saja, pada permainan emosi, kami merasa Alicia Vikander bermain luar biasa.
Ia berhasil menempatkan dirinya sesuai porsi. Tak berusaha melebihi porsi Eddie Redmayne. Dari awal kita sering sekali disuguhi emosi yang intens lewat permainan Alicia. Permainan Alicia kami rasa juga begitu dinamis, berwarna dan kontras pada pada satu adegan ke adegan lainnya. Semua emosi itu dijalankan dengan tepat, sesuai porsi, dengan respon yang juga sesuai. Meskipun bentuknya kami rasa sama dengan Alicia Vikander di filmnya yg lain. Tak ada perubahan warna suara dan tak ada perubahan laku tubuh yang signifikan.
Tapi satu hal yang kami lihat jelas adalah Gerda terlihat punya tempo yang berbeda setidaknya dengan kebanyakan tokoh yang pernah dimainkan Alicia Vikander. Tapi perbedaannya tipis. Sehingga untuk mengatakan Alicia Vikander berhasil menciptakan Gerda Wegener seutuhnya, detail, dan berhasil pada tiap dimensi, kami tak bisa.
Kurang lebih, permainan Alicia berkutat pada ranah emosi saja. Salah satu adegan dengan emosi paling menarik menurut kami, sekaligus tidak menarik pada beberapa menit setelah adegan itu terjadi adalah ketika Lili meninggal. Kami memang melihat gejolak luar biasa besar yang dirasakan Gerda. Emosinya intens, besar, tajam, dan dalam. Vibranya luar biasa menggetarkan. Tangisannya pun relevan.
Tapi kenapa dia bisa secepat itu mengendalikan tangisannya? Apakah memang sekuat itu Gerda? Dan apakah akan secepat itu ia mengendalikan tangisnya? Apakah gejolak yang luar biasa besar itu terkendalikan dengan sekejap? Bukankah ia kehilangan seseorang yang begitu disayanginya? Masalahnya juga, ketika tangisannya berhenti, kami merasa gejolak di dalamnya juga seperti berhenti. Kami bisa melihat itu di mata, bagaimana nafasnya keluar, dan cara dia memainkan bibir. Nafasnya tak lagi terengah-engah, tapi tenang dan begitu cepat tenang. Kenapa?
Keduanya, Alicia Vikander dan Eddie Redmayne berhasil mencapai kualitas permainan yang sama baiknya di The Danish Girl. Jika Alicia baik di permainan emosi, Eddie baik di pertumbuhan tokoh.
Ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari permainan keduanya. Jika dari Eddie Redmayne, menurut kami, penting untuk seorang aktor tahu siapa sebenarnya tokoh yang ia mainkan. Siapa sejatinya tokoh itu. Esensi dari tokoh itu siapa. Aktor harus menguliti sampai bagian paling dalam dari si tokoh, sehingga ia tahu akan kemana dan harus kemana tokohnya. Jika tokohnya diwajibkan tumbuh, maka si aktor juga harus menemukan jembatan yang membawa mereka menuju pertumbuhan tokohnya.
Sementara pada Alicia Vikander, permainan emosi yang intens itu sangat penting. Tapi ada yang lebih penting dari pada sekedar permainan emosi yang intens. Hal itu adalah mendengarkan dengan baik dan berlaku sesuai porsi. Tingkat intensitas emosi hanya bisa kita dapatkan ketika tahu seberapa porsi tokoh kita dan kita bisa tahu seberapa porsi tokoh kita ketika kita mendengarkan dengan baik.