[Acting Review] Imperfect; Bukan Soal Gemuk dan Kurus

Imperfect

Imperfect masih tayang sampai hari ini, setidaknya sampai tulisan ini rilis. Film ini berhasil menyentuh 2.6 juta penonton lebih. Imperfect memang film yang hampir sempurna dalam berbagai sudut menurut banyak orang. Tapi dalam keaktoran, kami tak mendapati hal tersebut. Jika kalian sudah membaca Flash Review Imperfect, kalian akan tahu bahwa film ini memang memberikan angin segar sekaligus sebuah sejarah baru untuk dunia seni peran di Indonesia. Tapi seperti yang kami bilang di flash review, sejarah baru ini hanya berhenti pada beberapa aspek saja, tidak pada aspek yang lain. 

Acting review ini akan berupaya mengulas dengan lebih detail capaian para aktor dan aktris di film Imperfect. Apakah benar bahwa terciptanya sejarah baru juga selaras dengan kualitas yang melebihi penciptaan seni peran di film-film yang lalu? Atau sama saja? Atau malah berada di bawahnya? Berikut pembahasan lengkapnya;

 

Chemistry di Imperfect yang Menarik

Sebelum kita membahas soal capaian fisiologis yang bersejarah itu dan menjawab pertanyaan apakah sebagus dan selengkap itu capaian fisiologisnya, kami ingin membahas soal chemistry antar pemain Imperfect terlebih dahulu. Bagi kami, sisi ini adalah salah satu yang menarik dan berhasil dimiliki semua pemain. 

Kita mulai dari Kiki Narendra yang bermain sebagai bapak. Dalam permainan Kiki Narendra, entah bagaimana caranya ia berhasil membangun chemistry dan menunjukkan chemistry yang menarik antara ia dan Rara kecil. Ia berhasil berada di posisinya sebagai ayah yang mendukung apapun kondisi yang dimiliki sang anak. Bagaimana hubungan Kiki Narendra dan Rara kecil bisa kita lihat pada tiap dialog yang ia ucapkan. Jika kami tak salah lihat, pada hampir semua dialog yang akan ia ucapkan, selalu dimulai dengan sebuah senyum kecil, dimana senyum itu akan membantunya menemukan nada yang menyenangkan, suportif, dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh si tokoh bapak dan Rara kecil. 

Lalu pada Ibu Debby, yang dimainkan oleh Karina Suwandi. Secara chemistry ia juga berhasil menunjukkan cara berhubungan yang berbeda 180 derajat dari suaminya. Menurut kami, keberhasilan Karina Suwandi dalam membangun chemistry adalah soal bagaimana ia berhasil merelasikan sejarah tokohnya dengan caranya membangun chemistry di peristiwa “disini dan sekarang” nya tokoh. 

Seperti yang kita tahu, tokoh Debby sangat melarang anaknya untuk jadi gendut dan tidak “cantik” secara fisik. Sehingga ia terkesan menjadi ibu yang perfectionis, cenderung jutek, dan hampir-hampir antagonis. Pada beberapa adegan ia memilih nada yang tinggi dan terkesan jutek. Nada itu, jika kami coba relasikan dengan sejarah tokoh, akan sangat relevan. 

Hal yang menarik lainnya adalah nada yang tidak monoton pada tiap pengucapan dialog Karina. Maksud kami dengan nada yang tidak monoton adalah bahwa pada beberapa adegan dimana ia memilih nada tinggi dan jutek, kami masih bisa merasakan posisinya sebagai seorang ibu. Kombinasi nada tersebut membuat tokoh Debby lengkap sebagai manusia dalam sudut pandang pengucapan nada dialog. 

Lalu pada Rara dan Dika, yang masing-masing diperankan oleh Jessica Mila dan Reza Rahadian. Seperti biasa, Reza selalu berhasil membangun chemistry yang baik dengan lawan main terutama ketika itu berurusan dengan percintaan. Apa yang Reza lakukan dan capai kami rasa sama seperti apa yang ia capai di Twivortiare, Critical Eleven, dan Kapan Kawin? Reza selalu berhasil luruh dengan lawan mainnya dan membuat si lawan main ikutan luruh dalam chemistry yang terbangun. 

Untuk pemain lain, kami rasa mereka ada di posisi yang aman dalam sudut pandang membangun chemistry. Kami tak ingin bertele-tele dan terkesan mengada-ada. Secara garis besar, untuk urusan chemistry, para pemain khatam dengan baik. 

Permainan Emosi yang Sebagian Menarik

Lalu bagaimana soal permainan emosi? Kami rasa, hampir semua pemain bermain emosi dengan baik dan tepat pada beberapa adegan. Misalnya pada permainan Jessica Mila. Kami rasa permainan emosinya ada di taraf aman. Ia berhasil menjalankan pikiran dan perasaan tokoh selaras dengan peristiwa yang sedang terjadi di sekitarnya. Jessica Mila berhasil mendengarkan dengan baik setiap peristiwa dan dialog yang terjadi. 

Contohnya bisa kalian lihat ketika adegan di tukang pijat dan ia berbincang dengan adiknya, Lulu. Pada adegan itu, Jessica berhasil menjalankan pikiran dan perasaan tokohnya dengan baik dan selaras dengan peristiwa yang sedang terjadi. Hal itu membuat semua pilihan nada, emosi, dan pikiran si tokoh berjalan dinamis. Tapi entah kenapa, kami merasa pada beberapa adegan perjalanan emosi dan pikiran si tokoh terasa dibuat-buat. Dan itu terjadi justru di adegan yang menurut kami hampir klimaks. Adegan itu adalah ketika ia bertengkar dengan sang adik dan si ibu menengahi, lalu terjadi perbincangan di atas kasur. Kami merasa perjalanan pikiran dan emosi pada adegan itu terlalu dibuat-buat. Kenapa? 

Perhatikan betul bagaimana nada dan jeda dialog yang terucap. Hampir semuanya seperti dihitung. Dialog yang keluar jadi seolah-olah tak hidup. Dialog itu seperti hanya sekedar diwajibkan keluar dengan cara itu karena suruhan naskah atau karena suruhan sutradara. Tiap dialog yang keluar seperti tidak memiliki bit dan motivasi yang jelas sehingga kemunculan dan perjalanan si dialog terkesan hampir selalu mendadak. Terlebih lagi timpalan dialog lawan main yang menurut kami juga muncul bukan karena mendengarkan dengan baik tapi karena dialog sebelumnya sudah habis dan sekarang giliran dialog ini yang muncul. 

Ini kasus yang sering terjadi pada pertunjukan teater dan mungkin pada film. Mereka bukan berupaya mendengarkan tiap kata dan perasaan yang dilemparkan lawan main tetapi menunggu kata terakhir dari tiap dialog dan menimpali setelah kata terakhir diucapkan. Hal itu membuat semua nada dialognya terkesan artifisial. 

Hal yang lebih parah menurut kami terjadi di segerombolan perempuan kantor yang diperankan oleh Karina Nadila, Clara Bernadeth, dan Devina Aureel. Kami merasa hampir semua dialog mereka terkesan artifisial dan tidak hidup. Mereka berdialog karena diwajibkan oleh naskah dan bukan karena buah dari pikiran dan perasaan yang mendengarkan lawan main. Kami cukup terganggu dengan hal tersebut. 

Untuk Reza Rahadian, lagi-lagi, ia bermain di taraf yang menurut kami aman. Seperti ia di kebanyakan filmnya, bagus saja tapi tidak memukau.    

 

 

Capaian Fisiologis Imperfect yang Bersejarah

Sekarang kita bicara soal bagaimana capaian fisiologis di film ini, pada satu tokoh, yakni Rara yang dimainkan Jessica Mila menjadi sebuah tonggak sejarah. Bukan persoalan ia menjadi gemuk lalu kurus lagi. Tapi soal bagaimana si empunya film menyediakan fasilitas macam ahli gizi yang sejauh pengetahuan kami jarang dilakukan di Indonesia. Karena jika kita bicara soal perubahan menjadi lebih gemuk dan kurus, rasa-rasanya juga dilakukan oleh banyak aktor Indonesia lain. Meskipun mungkin tidak dari gemuk ke kurus di satu film yang sama. Bahkan mungkin dalam sejarah Hollywood hal itu jarang terjadi. 

Dua kondisi itu adalah sebuah sejarah. Pertama sejarah untuk keaktoran Indonesia, kedua sejarah untuk (mungkin) keaktoran dunia. Tapi sejarah itu berhenti sampai di tubuh yang lebih gemuk dan kurus saja. Kenapa?

Memang secara fisiologis Jessica Mila memiliki capaian yang sangat signifikan. Ia berubah menjadi lebih gemuk dan kulitnya lebih gelap (terlepas ini bantuan make up atau tidak, semoga tidak). Dengan tubuh yang lebih gemuk cara berjalan tokoh ini juga jadi berubah. Cara berjalan adalah hal yang penting, karena ia menjadi salah satu basis tokoh. Ketika cara berjalan sudah ditemukan, maka bisa jadi si aktor akan menemukan ritme, hingga bahasa tubuh yang lain pada berbagai jenis adegan yang dilalui si tokoh. 

Nah, dengan bantuan tubuh yang lebih gemuk 10 Kg membuatnya mampu menemukan cara berjalan yang menurut kami otentik. Jika dilihat baik-baik, kita bisa melihat cara berjalan dengan kaki yang agak dibuka lebar dan ayunan tangan yang lebih lebar. Serta tumpuan berat yang lebih condong ke belakang. Sejauh yang kami lihat, ketika Rara gemuk berjalan, yang menjadi tumpuannya adalah tumit. Itu jika kita break down bentuk berjalan tokoh ini saat ia gemuk. Kami tak tahu apakah ini secara sadar diciptakan Jessica Mila atau ciptaannya muncul begitu saja karena bentuk tubuhnya yang lebih gemuk. Kami tentu berharap ini diciptakan dengan sadar. 

Lalu ketika Rara berubah menjadi lebih kurus, kami pun melihat cara berjalan yang berbeda. Pada cara berjalan Rara kurus, kami rasa langkah kakinya diperkecil, tumpuannya ada pada kaki bagian depan dan garis langkahnya cenderung lurus. Jika kami bisa bilang, cara berjalan Rara kurus seperti model yang berjalan di catwalk. Capaian ini tentu menarik jika disadari oleh si aktor. Artinya, ia tak hanya sekedar memunculkan bentuk tersebut karena tubuhnya yang lebih gemuk atau kurus. Tapi ia sungguh-sungguh menciptakan bentuk itu, mencari sejarahnya, hingga bisa membuat bentuk tersebut terasa hidup. Dan yang paling penting adalah pada film selanjutnya, si aktor tahu bagaimana menciptakan cara berjalan dan bentuk tubuh lain. Kami rasa Jessica Mila tak ingin kualitas seni perannya turun di film selanjutnya kan? 

Lalu apalagi soal fisiologis yang bisa kita bicarakan dari ciptaan Jessica Mila selain tubuh yang gemuk lalu berubah ke kurus? Sayang sekali, tidak ada. Kami tak menemukan capaian fisiologis yang lain. Seperti misalnya caranya memainkan tangan, hingga warna suara. Pada bagian fisiologis selain tubuh yang lebih gemuk dan kurus, kami tak menemukan ciptaan warna suara yang berbeda dari Jessica Mila. Semuanya masih sama. Kami bahkan merasa kalau seandainya Jessica Mila tak menciptakan tokoh yang gemuk lalu berubah kurus, kami tak akan melirik sedikitpun permainannya.

Para aktor sebaiknya tidak terjebak pada capaian harus gemuk dan kurus saja ketika kita bicara soal dimensi fisiologis. Karena dimensi fisiologis tidak sesempit gemuk dan kurus saja. Ingat, tubuh itu kompleks. Ia memiliki banyak bagian yang setiap bagiannya bisa memiliki bentuk pergerakan yang berbeda tergantung manusia yang sedang diciptakan si aktor. Jika aktor terjebak pada pemahaman bahwa capaian fisiologis adalah soal gemuk dan kurus saja, maka permainannya bisa dipastikan akan begitu-begitu saja.  

Memang apa yang terjadi pada Jessica Mila adalah sebuah sejarah. Tapi hanya pada perlakuan produksi pada proses keaktoran, yang wajib dicontoh oleh produksi lain, dan tubuhnya yang berubah drastis dari gemuk ke kurus. Itu saja. Soal yang lain, kami tak mendapatinya. 

Lalu bagaimana dengan pemain lain? Apakah pemain lain memiliki capaian fisiologis di film ini? Kami rasa tidak sama sekali. Bahkan Reza Rahadian. Dari ciptaan Reza, kami merasa hanya ada 1 hal dalam sudut pandang laku tubuh yang lain dari semua ciptaan Reza di film sebelumnya. Laku tubuh itu adalah cara tertawanya saat merayu si Jessica Mila. Hanya itu. Selain cara tertawa itu, kami tak menemukan bentuk baru yang otentik. 

Jika apologinya adalah tidak semua tokoh berbeda, artinya akan ada yang sama, maka kami akan menanyakan ulang. Apakah Dika, tokoh yang dimainkan Reza punya latar belakang sosial yang sama dengannya? Tumbuh di era yang sama? Tumbuh di lingkungan yang sama? Membaca buku yang sama? Meminum kopi yang sama? Sekolah di tempat yang sama? Dan lain sebagainya. Apakah secara sosiologis saja, tokoh Dika dan Reza sama? Kami meragukan itu. Lalu bagaimana bisa menyebut aktor dan tokohnya sama? Sementara dari sudut pandang sosiologis saja sudah berbeda. 

3 dimensi tokoh, atau fisiologis, sosiologis, dan psikologis adalah 3 hal yang saling bertautan. Ketika secara sosiologis tokoh ini tinggal di lingkungan perkampungan sempit, ahli fotografi, dan memiliki tingkat ekonomi yang tidak sangat kaya, maka hal itu sangat mungkin mempengaruhi dimensi fisiologis dan psikologis. 

Misalnya dengan tinggal di perkampungan sempit. Mungkin saja tokoh ini tidak akan memiliki bahasa tubuh yang besar dan lebar. Bisa jadi tokoh ini cenderung memiliki bahasa tubuh yang sempit karena ia memang tumbuh di tempat yang bahkan mungkin untuk melebarkan tangan saja sulit. 

Prinsip ini yang kami rasa perlu dipahami oleh aktor manapun sehingga ia tidak dengan mudah mengatakan bahwa ia dan tokoh yang ia mainkan sama. Tentu bukan berupaya mencari perbedaan, bahkan juga bukan berupaya mencari persamaan. Apa yang aktor lakukan harusnya berupaya mencari data sevalid mungkin soal tokoh. 

Lalu dari tokoh yang lain di Imperfect, tak ada yang mencapai ciptaan fisiologis yang signifikan. Entah apa pertimbangannya. Entah tokoh itu dianggap sama dengannya, atau tidak punya cukup waktu untuk menciptakan dimensi fisiologis yang detail. 

Imperfect bagi kami akan tetap mendapatkan tempat spesial karena berhasil memberikan udara segar untuk ekosistem seni peran Indonesia. Di luar soal capaian-capaian yang belum signifikan, kami rasa Imperfect tetap hampir sempurna. 

  

Terima kasih, viva aktor!  

About The Author