[Acting Review] Abracadabra; Dunia Antah Berantah yang Tak Dijelajah

Abracadabra sudah turun dari bioskop. Film yang menurut kami menggebrak kebiasaan film Indonesia kebanyakan ini ternyata tak cukup berhasil menggebrak selera pasar. Tercatat menurut tabloidbintang.com Abracadabra hanya mencapai 12 ribu penonton saja. Angka yang kecil jika dibandingkan dengan jajaran pemain di dalam film itu. Tapi mungkin ini bukan persoalan filmnya, hanya persoalan penonton awam Indonesia yang belum sepenuhnya siap untuk menerima film-film macam ini.
Tapi sudahlah, kami tak ingin bicara itu. Ada hal yang lebih menarik dari soal banyak sedikitnya penonton. Karena bagi kami, banyak sedikitnya penonton bukan parameter kualitas sebuah film, apalagi parameter keberhasilan seni peran. Lalu jika kita bicara soal capaian permainan para cast di film ini, bagaimana capaian mereka? Dengan dunia imaji sebagai latar, apakah permainan para cast cukup memukau? Berikut pembahasannya;
Abracadabra yang “Aman”
Setelah selesai menonton film Abracadabra di perhelatan JAFF tahun 2019 lalu, kami keluar dengan kesan yang “Aman” pada permainan para cast. Kami tak tercengang, memutar otak untuk cari tahu kenapa bisa macam itu bentuknya, dan kesan lain yang menjurus pada kalimat “Akting di film ini mind blowing!”. Kami rasa semuanya bergerak “Aman” saja. Apa maksudnya?
Mari kita bahas satu persatu. Pertama soal capaian fisiologis para pemainnya. Sejauh yang kami lihat (kami bisa saja salah lihat, selip, atau semacamnya) capaian fisiologis pada semua pemain bisa dikatakan minim. Ada, tapi tak banyak. Salah satu pemain yang kami catat setidaknya memiliki capaian fisiologis adalah Reza Rahadian. Yakni rambut yang berwarna kuning, sedikit berantakan, dan wajah yang berjenggot. Selain itu? Kami tak menemukan apapun. Kami rasa cara berjalan, cara memainkan tangan, cara memainkan pandangan, hampir semua laku tubuh Reza sama seperti laku tubuhnya di film lain.
Terutama ketika si tokoh yang bernama Lukman ini berada pada adegan dengan emosi yang intens. Kami bisa melihat cara menyusun emosi yang hampir sama dengan cara Reza Rahadian menyusun emosi di filmnya yang lain. Meski begitu, ada beberapa respon yang dijalankan dengan baik. Maksud kami dengan baik adalah Reza mendengarkan dan melihat peristiwa dengan baik dan meresponnya dengan porsi yang tepat.
Misalnya pada adegan ketika Iwan, si anak kecil yang hilang. Kita bisa melihat respon yang menarik. Lalu di adegan lain ketika buku dan topi juga ikutan hilang setelah ditaruh di kotak ajaib, respon yang berjalan juga menarik. Tepat dan sesuai porsi. Meskipun bentuknya tidak sangat otentik. Tentu saja, bagaimana bisa otentik jika kendaraannya tak berubah?
Lalu bagaimana dengan pemain lain? Kurang lebih sama. Pada Lukman Sardi kami tak mendapati perubahan yang signifikan. Sejauh yang kami lihat, perubahan yang tampak adalah tempo tokohnya yang jadi agak cepat. Tempo tokoh yang dipercepat itu membantunya membentuk laku tubuh yang sedikit berbeda. Terutama pada cara respon. Tapi kami merasa pada bentuk yang diciptakan Lukman Sardi hampir terkesan artifisial atau tempelan saja. Tempo yang dipercepat itu seperti belum menyaru dengan tubuh si aktor.
Lalu pada Paul Agusta. Kami rasa hanya dia yang punya perubahan fisiologis cukup drastis dan lumayan detail. Pada bagian ini, Paul Agusta memang merubah bentuk tangan, sedikit merubah cara berbicara (bukan warna suara, hanya cara bicaranya saja), cara si tokoh menggerakkan leher, memainkan pandangan mata, dan merubah sedikit pada tempo tubuh si tokoh. Sisanya, semua ada di taraf yang “Aman” saja.
Tapi ada satu hal yang mengganjal kami ketika melihat penciptaan fisiologis Paul Agusta. Kami merasa bentuk yang dibuatnya hampir mendekati artifisial, sama seperti kasus di Lukman Sardi. Kami tak tahu kenapa? Apa mungkin karena bentuk itu baru ditemukan beberapa hari sebelum proses shooting saat ia sedang mencobakan kostum? Atau karena bentuk itu ditemukan lewat kostum, sehingga tak memiliki kesejarahan yang baik dan kokoh? Atau karena bentuk itu belum sangat menyatu dengan si pemain sehingga terkesan ditempel?
Mungkin bentuk itu memang masih baru untuk tubuh Paul Agusta. Sehingga ia belum sepenuhnya menyatu dan hidup. Mungkin juga karena bentuk tersebut lahir karena kostum. Kami menyadari ada banyak sekali proses lahirnya sebuah bentuk, salah satunya bisa lewat kostum. Tapi setelah bentuk itu lahir lewat kostum, si aktor bertugas untuk membuat sejarah yang kokoh dari bentuk tersebut. Dengan pemahaman yang baik atas sejarah bentuk tersebut, maka si aktor akan lebih mudah untuk menghidupkan bentuk tersebut sehingga bentuk itu tak jadi sekedar tempelan saja.
Atau mungkin karena ia belum sangat menubuh pada si Aktor. Kalau proses penubuhan ini memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Ia tak bisa seketika muncul, lalu menyatu dan hidup. Kecuali bentuk itu lahir karena bentuk dasar tokoh yang sudah tercipta. Ia jadi semacam bentuk sampingan dari bentuk dasar di tokoh.
Lalu pada pak Butet Kartaredjasa. Kami merasa penciptaan Pak Butet di film ini ada di taraf yang “Aman” saja. Kami sering menonton pentas teater yang dilakukan oleh pak Butet. Hal yang menarik ketika melihat pak Butet bermain film adalah ia bisa menjaga proyeksinya dengan baik. Penyakit orang teater yang masuk film tak kami lihat di permainan Pak Butet. Hanya saja, kami merasa bahwa bentuk yang diciptakan oleh Pak Butet sangat khas seperti bentuknya ketika sedang pentas teater. Mulai dari cara bicara, tempo bicara, nada bicara, cara merespon, kecepatan merespon, cara menjalankan pikiran dan perasaan si tokoh, kami rasa semuanya hampir sama dengan cara pak butet menjalankan tokohnya di pentas teater yang pernah kami tonton. Sedikit catatan, kami menonton Pak Butet mulai dari Pandol, Gundala Gawat, hingga Para Pensiunan 2049.
Dari beberapa pentas teaternya yang sempat kami tonton, kami rasa bentuk permainan pak Butet di film Abracadabra mirip dengan bentuk permainannya di panggung. Tentunya jadi sebuah pertanyaan, apakah tokoh si polisi yang ia mainkan di Abracadabra memiliki latar belakang yang sama dengan para tokoh yang sempat ia mainkan di pertunjukan-pertunjukan teater itu? Tentu tidak kan? Tapi kenapa bentuknya sama?
Pada pemain lain kami tak bisa berkata banyak. Pada Salvita Decorte misalnya, kami merasa ia bermain di taraf yang “Aman” saja. Pun begitu dengan yang lain. Kami mengganti kata biasa-biasa saja dengan kata “Aman”.
Dunia Imaji yang Tak Dieksplorasi?
Siapa yang mau menyangkal kalau Abracadabra itu dunia imaji? Dunia antah berantah yang latar belakang sosialnya tak jelas. Bahkan kami bisa bilang Abracadabra adalah sebuah semesta baru yang menarik. Ia mengawinkan sejarah yang berdasar fakta dengan imaji si empunya cerita. Kami rasa Semesta Abracadabra tidak ada padanannya. Tapi ingat, semesta Abracadabra tercipta dari gabungan fakta dan fiksi. Lalu, dengan kondisi macam itu, kenapa eksplorasi para pemainnya seperti minim? Kenapa eksplorasi penciptaan mereka biasa saja?
Ini yang paling mengecewakan kami setelah selesai menonton Abracadabra. Seperti yang kami bilang di atas, Abracadabra itu semesta baru yang latar belakang sosialnya tak jelas. Kenapa hasil penciptaan para pemainnya jadi sangat terbatas? Apakah mereka tak cukup punya daya eksplorasi yang baik? Atau mereka tak diberikan ruang oleh sutradara untuk bereksplorasi?
Misalnya begini, Abracadabra itu kan latar belakangnya tidak sangat jelas tapi kita bisa tahu bahwa ia menggabungkan sejarah sulap, perang dunia kedua, dan sejarah lain yang nyata adanya. Kenapa para pemain tak berusaha menciptakan tokoh dengan prinsip yang macam itu? Mereka bisa saja mengambil bentuk yang benar-benar baru, kemudian menciptakan sejarah yang somehow jadi logis.
Kita bisa melihat salah satu contohnya saat Heath ledger menciptakan tokoh Joker. Kita tahu semesta The Dark Knight adalah imajinasi. Tapi semua aspek yang diciptakan oleh Heath mengambil dari dunia nyata, memilih dan memilahnya, lalu mengkombinasikannya dengan realitas imaji dalam film. Prinsip ini kurang lebih sama seperti sense of truth yang diungkapkan Stanislavski. Bahwa para aktor mengambil bentuk dari dunia nyata, lalu “mengadaptasinya” menjadi bentuk dan milik tokoh. Dengan hanya menggunakan sense of truth saja, setidaknya si aktor jadi punya ruang lebih untuk bereksplorasi. Terlebih ketika semesta si tokoh tidak terhalang pakem-pakem tertentu.
Lalu kenapa para pemain di Abracadabra tak melakukan hal macam itu sehingga bisa memunculkan capaian penciptaan yang baru dan menarik? Bukankah tidak ada pakem sosial yang jelas dari film itu? Bukankah ketika tidak ada pakem sosial yang jelas dari film tersebut, si aktor bisa mengambil pakem sosial manapun, lalu membuatnya seolah logis dengan tokoh yang sedang mereka mainkan, dan membuat bentuk tersebut hidup? Memang terkesan mengada-ada, kalau hanya berhenti pada bentuk saja. Ingat apa yang dikatakan oleh Larry Moss dalam bukunya The Intent to Live;
“because great actors don’t seem to be acting, they seem to be actually living.” Larry Moss, Introduction Part.
Aktor yang besar tidak terlihat akting, tapi ia sedang hidup dalam peran. Setelah bentuk ditemukan, maka tugas aktor selanjutnya adalah membuat bentuk itu hidup dengan berbagai metode yang bisa mereka cobakan. Entah Physical Action, Active Analysis, atau metode yang lain.
Itu kan ruang penciptaan seni peran? Pun seandainya mereka bilang penciptaan macam itu tidak logis dan mengada-ada, bukankah film Abracadabra sudah tidak logis dan mengada-ada? Kenapa penciptaan keaktorannya tidak dibikin sekalian begitu? Dari pada bermain “aman”, bukankah lebih baik menggebrak kebiasaan?
Abracadabra dalam sudut pandang kami seharusnya bisa menjadi sebuah tonggak sejarah baru dalam ruang eksplorasi tokoh. Tapi pada kenyataannya, hampir tak ada pemain yang melakukan eksplorasi itu. Tak ada satupun dari mereka yang berupaya, misalnya, merubah warna suara, padahal sangat mungkin mereka merubah warna suara. Kostum mereka sudah sangat fantasi, tapi sayangnya permainan para aktornya tak seliar kostum yang diciptakan. Kenapa itu bisa terjadi? Tentunya pertanyaan itu terus kami lontarkan, dengan harapan bisa bertemu sutradara dan para pemainnya untuk tahu kenapa.
Dalam acting review ini kami sengaja tak membahas soal permainan emosi atau respon antar tokoh sedalam biasanya. Karena kami rasa mereka semua bermain pada taraf “Aman”. Satu hal yang kami anggap penting adalah bahwa Abracadabra merupakan sebuah film yang Semestanya benar-benar lain. Hal itu seharusnya memberi kesempatan aktornya untuk bereksplorasi sedemikian rupa atas tokoh yang mereka mainkan. Tapi kenapa itu tidak terjadi?
Terima kasih, viva aktor!