Susi Susanti Love All Flash Review; Hampir Lempeng

Kami ingat pertama kali melihat trailer film Susi Susanti Love All, kami seketika langsung mencanangkan untuk menjadikan film ini salah satu target Acting Review kami. Alasan pertama adalah karena ini film biopic, dan yang kedua adalah karena Laura Basuki.
Ini bukan Acting Review tentunya, belum lebih tepatnya. Ini adalah Flash Review, dimana tak akan ada spoiler. Jadi aman untuk dibaca sampai akhir. Lalu bagaimana Flash Review film panjang pertama Sim F. ini? Berikut pembahasannya;
Susi Susanti Love All, Hampir Lempeng
Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas apa yang kami katakan di judul dan sub judul ini. Tapi nyatanya itu yang kami temukan di film ini. Pada film panjang pertama Sim F. ini (sejauh pengetahuan kami), kami tak menemukan cerita yang dinamis dan menarik. Bahkan cerita di film ini hampir lempeng. Kenapa?
Film ini, seperti trailernya, berbicara 2 hal utama. Pertama adalah perjalanan Susi dalam mendapatkan gelar juara dan konflik yang dialami etnis Tionghoa zaman itu. Dengan 2 topik utama itu, kalian akan disuguhi alur cerita yang hampir lempeng. Tidak ada konflik yang dibuat tajam. Sebenarnya banyak konflik yang dimunculkan. Tapi konflik itu seperti sengaja tak dibuat tajam. Konflik-konflik tersebut seperti hanya sekedar “dimampirkan” saja.
Jika dianalogikan menjadi sebuah Grafik Kurva, maka Susi Susanti Love All memiliki bentuk garis yang hampir lurus. Konflik-konflik yang dimunculkan baik ketika berhubungan dengan perjalanan Susi mendapatkan gelar juara atau konflik etnis Tionghoa, hanya sekedar mampir. Konflik-konflik itu hanya muncul sedikit. Konflik yang seharusnya bisa membentuk cerita yang dinamis, gagal karena ia tidak pernah “diperlakukan” dengan tajam.
Kami bisa bilang, hampir semua konflik yang muncul di film ini selesai dengan cepat atau sengaja “diselesaikan” dengan cepat. Sehingga film ini seperti tak memiliki cerita yang kental dan kompleks. Jika kalian menonton film ini, dan kalian suka dengan alur cerita yang lempeng, rintangan tokoh yang tidak sangat berat dan berarti, berisi banyak keberhasilan, dan hampir selalu menyenangkan, maka ini adalah film yang cocok untuk kalian. Tapi jika kalian mengharapkan kisah yang kompleks dan konflik yang tajam, film Susi Susanti Love All ini jelas bukan untuk kalian.
Tapi tak dipungkiri, bahwa film ini tetap menyenangkan, dalam standarnya sendiri tentunya. Dan sebagai sebuah film panjang pertama dari Sim F sebagai sutradara, nampaknya Sim F perlu sedikit lebih berani menghadirkan konflik yang tajam. Atau, mungkinkah Sim F memang sengaja tak ingin menghadirkan konflik tajam karena apa yang hendak dibicarakannya terlalu sensitif dan “membahayakan”?
Aksen yang Menarik
Lalu bagaimana dengan permainan para cast nya? Terima kasih pada para pemain. Dengan alur cerita yang hampir lempeng, film ini sedikit terselamatkan oleh para pemainnya. Misalnya pada Laura Basuki. Kami melihat effort menuju Susi Susanti. Ada kecenderungan bahasa tubuh yang diubah, warna suara yang berusaha mirip Susi Susanti (meskipun tak sampai), dan permainan emosi yang cukup menarik. Begitu juga dengan pemain yang lain seperti Dayu Wijanto, Dion Wiyoko, dan Lukman Sardi. Meskipun capaian mereka pada sudut pandang dimensi penciptaan keaktoran yang lain, tidak cukup menarik, kecuali tentang penciptaan aksen mereka. Itu kenapa pada sub judul ini kami beri judul “Aksen yang Menarik”.
Soal aksen, semua pemain konsisten dengan aksennya. Hampir tidak ada aksen yang terasa palsu. Mulai dari Dion Wiyoko, Lukman Sardi, sampai Dayu Wijanto. Mereka semua berhasil menciptakan aksen dengan baik dan melakukannya dengan konsisten. Meskipun juga pada capaian lain, seperti misalnya respon di beberapa adegan, banyak sekali pemain yang merespon terlalu cepat. Seperti tidak menjalankan pikiran dan perasaan si tokoh saat adegan terjadi. Mereka seperti tidak benar-benar mendengarkan lawan main dan merespon peristiwa dengan baik. Sehingga terkadang dialog yang muncul terasa bau kertas atau dikeluarkan memang karena di naskah tertulis begitu. Respon-respon mereka juga terasa terlalu cepat dan terburu-buru. Dialog dan laku tubuh mereka muncul seperti bukan karena hasil respon si tokoh atas apapun yang sedang terjadi di sekitarnya, tapi karena “harus dimunculkan” saja.
Kami menduga, permainan para cast hampir terasa “biasa saja” juga karena tidak adanya adegan yang kompleks atau bahasa kami, adegan yang menjadi ruang para pemain untuk unjuk pencapaian baik secara fisiologis maupun psikologis. Adegan-adegan semacam itu sejatinya ada. Tapi seperti yang kami bilang, adegan tersebut hanya sekedar dimampirkan saja.
Untuk review permainan para cast nya, kami akan bahas lebih mendalam di Acting Review nanti.
Secara garis besar, film Susi Susanti Love All ini layak ditonton. Setidaknya film ini sangat bisa membangkitkan rasa nasionalis kalian yang menonton. Setidaknya itu.
Terima kasih, viva aktor!