I’m Thinking of Ending Things; Sulitnya Bermain di Film Surealis
Siapa yang tidak bingung menonton I’m Thinking of Ending Things? Hampir semua orang pasti bingung menonton film ini. Berdasarkan genre yang tertulis di IMDb, film ini masuk ke genre drama thriller. Tapi kalau dilihat sendiri, film ini lebih ke sebuah film horror surealis tanpa hantu-hantu dan jumpscare yang dominan. Itu kalau bicara soal filmnya yang sulit dipahami. Lalu bagaimana dengan permainannya? Apakah sulit dipahami juga? Kami rasa sama seperti filmnya, melihat permainan para aktor di film I’m Thinking of Ending Things ini juga cukup sulit. Kenapa? Dan bagaimana akhirnya capaian permainan para aktor di film ini? Berikut selengkapnya!
Ada Capaian, Tapi…
Kalau bicara capaian para pemain di film I’m Thinking of Ending Things tentu kami tak bisa pungkiri kalau masing-masing dari mereka memiliki capaian yang kompleks. Sekali lagi, jika melihat skala acting dan not acting milik Michael Kirby maka kita bisa memasukkan hampir permainan mereka semua ke dalam ruang complex acting. Atau ketika kita menggunakan pemahaman acting yang lain seperti kekuatan untuk hidup dalam ruang imajiner dan merespon stimulus imajiner. Hampir semuanya berhasil melakukannya. Atau juga, melihat mereka dari pengertian akting paling awam, menjadi orang lain. Mereka semua juga sebagian berhasil berada di posisi tersebut.
Misalnya pada permainan Jessie Buckley. Kita bisa melihat perubahan aksen yang sangat jelas. Sementara untuk bentuk fisik, perubahan memang tidak sangat signifikan, tapi kita bisa menyaksikan sedikit perubahan pada mulut Jessie. Lalu untuk Jesse Plemons, capaian yang dimilikinya lebih pada kondisi psikis dari pada capaian dimensional yang lain. Permainan psikis Jesse Plemons yang menjadi Jake cukup menarik. Ia berhasil menciptakan layer emosi yang kuat sekaligus misterius untuk karakternya. Tapi soal capaian fisiologis, kami tak bisa bilang ia lebih baik dari Jessie Buckley. Malah mungkin ada di bawah Jessie Buckley.
Kemudian permainan David Thewlis dan Toni Collette menurut kami justru berada di puncak kualitas di film I’m Thinking of Ending Things. David misalnya, berhasil mengubah fisiknya cukup drastis. Kita bisa melihat bentuk tubuh yang jadi lebih bungkuk, warna suara yang berubah, cara memandang yang berubah jadi lebih aneh, ditambah lagi tokoh yang dimainkan David Thewlis mengalami beberapa rentang usia. Dari yang paling tua, sampai usia yang muda. Semua perubahan fisiologisnya kami rasa tetap relevan. Ketika Father muda, kami bisa melihat bentuk tubuh bungkuk yang masih ada. Pun begitu ketika ia menjadi Father yang sudah renta dan pelupa. Tubuh bungkuk itu pun masih muncul dan terlihat. Jika bicara soal capaian keaktoran dari segi fisiologis saja, David Thewlis memiliki capaian terbaik di film I’m Thinking of Ending Things.
Sementara Toni Collette juga memiliki capaian fisiologis yang cukup menarik. Tidak lebih baik dari David Thewlis memang, tapi kurang lebih memiliki capaian yang sama dengan Jessie Buckley. Kami masih bisa melihat beberapa laku tubuh yang berubah dan menarik. Misalnya pada cara tertawa atau cara memandang. Tapi, kalau kalian pernah menonton Toni Collette di film Hereditary, cara Toni Collette menunjukkan intensitas emosi yang aneh muncul kembali di film ini. Bahkan kami rasa persis. Misalnya beberapa momen ketika ia tetiba menahan rasa sakit karena tinitus dan membuka mulutnya lebar-lebar. Atau ketika ia menahan beban emosi tertentu entah karena impuls apapun. Kita bisa melihat laku yang persis sama seperti ia di film Hereditary. Jadi, meski memiliki capaian fisiologis di beberapa bagian serta permainan emosi yang kompleks dan porsi memainkan karakter tua, muda, hingga renta, Toni Collette seperti masih kehilangan cara untuk menunjukkan kesakitan tokohnya sehingga harus menggunakan cara tokohnya di Hereditary.
Di luar capaian personal masing-masing aktor yang kami sebutkan di atas, satu hal yang menjadi capaian paling menarik adalah bagaimana mereka mampu mendengarkan satu sama lain dengan sangat baik dan merespon dengan tepat dan baik. Meskipun… ini yang jadi ganjalan kami ketika melihat I’m Thinking of Ending Things. Mereka semua memang memiliki capaian permainan emosi yang kompleks dan bahkan aneh di beberapa bagian. Tapi ada beberapa emosi yang tiba-tiba muncul tanpa alasan yang jelas atau tanpa sebab yang jelas. Jadi meski kami menangkap emosi yang intens terkadang emosi intens yang kami tangkap hampir mendekati palsu.
Kami menonton I’m Thinking of Ending Things tiga kali untuk memahami ceritanya dan memahami latar belakang setiap karakternya. Tapi tiga kali sepertinya tidak cukup untuk kami benar-benar memahami film ini dan sejarah serta latar belakang setiap karakter di film ini serta cara pikiran dan perasaan tiap karakter di film ini berjalan. Memang, cara pikiran dan perasaan karakter di film ini berjalan cukup jelas. Tapi hanya pada adegan-adegan yang kami bisa bilang masuk dalam ruang realis. Sementara ketika masuk ke dalam ruang-ruang surealis, yang mungkin sudah harus berhubungan dengan sejarah karakter yang tidak tersebutkan di film, kami jadi merasa seintens apapun emosinya, semuanya terkesan mengada-ada. Mungkin itu alasan kenapa para aktor di film ini, meski begitu intens permainan mereka, tidak ada satu pun Oscar, BAFTA, Golden Globe, atau Screen Actors Guild yang mampir. Bagus memang, tapi karena seperti tidak berdasar, atau untuk menemukan dasarnya mungkin harus membaca novel dan menonton berulang kali, jadi permainan mereka yang intens di beberapa bagian terasa aneh dan mendekati artifisial.
Sulitnya Bermain di I’m Thinking of Ending Things
Memang bermain di film surealis macam ini tentu sangat sulit. Sama sulitnya dengan bermain di sebuah naskah surealis. Tokoh-tokoh serta peristiwa-peristiwa di naskah dan film surealis tampaknya tak pernah jelas. Kita tak pernah benar-benar tahu siapa tokoh ini, apakah dia seorang manusia, perwakilan kelompok, atau entitas yang lain. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan ketika bermain di film surealis atau sebuah naskah surealis adalah menginterpretasi sendiri siapa karakter ini dan mencari perwujudannya di dunia nyata yang sesuai dengan interpretasi kita. Dibutuhkan kecerdasan tinggi untuk bisa mengerti sebuah tokoh surealis macam di film I’m Thinking of Ending Things.
Seperti yang kami bilang di atas, banyak sekali permainan yang intens, capaian emosi yang menarik, tapi sayangnya, karena ini film surealis, kami kesulitan menangkap sebab musababnya. Intensitas itu jadi seolah tak berdasar. Tapi untunglah, jika karakternya tak begitu berdasar, mereka, para aktor berhasil memainkan dan merespon peristiwa dengan baik. Jadi kalau kami tak menemukan dasar capaian yang intens itu pada hasil ciptaan si aktor, kami menemukan dasar permainan yang intens itu pada respon mereka terhadap peristiwa.
Pada akhirnya, jika seorang aktor tidak merespon peristiwanya dengan cukup baik, ia akan kehilangan segala hal yang menjadi pondasi permainannya. Ingat prinsip dasar Acting is Reacting. Coba kalian perhatikan baik-baik, pada semua momen peristiwa yang terjadi di I’m Thinking of Ending Things. Entah itu adegan di dalam mobil, atau adegan di rumah yang terlihat makin nggak jelas, atau adegan di toko es krim. Se-nggak jelasnya sebuah adegan, setiap aktor tetap berusaha menjalankan respon mereka sesuai peristiwa dan sepertinya sesuai tokohnya.
Jika beberapa film menjelaskan secara langsung bagaimana sejarah karakternya entah itu lewat adegan, dialog orang lain, atau dialog si karakter sendiri, di I’m Thinking of Ending Things tidak. Bahkan pada dialog si tokoh itu sendiri. Kami hanya bisa menebak-nebak bagaimana latar belakang sejarah si karakter lewat bagaimana mereka merespon sebuah peristiwa. Itulah yang kami lihat di adegan toko es krim. Dimana kami ditunjukkan bekas luka ruam, lalu badan yang arah hadapnya membelakangi toko es krim, dan laku-laku lain yang kemudian membuat kami berinterpretasi sendiri dan mengatakan kalau mungkin karakter ini punya sejarah kelam. Semacam pernah di bully, atau semacamnya.
Kami sekali lagi hanya bisa menduga dan menyusun sendiri sejarah karakter ini. Kami tidak bisa memutuskan secara mutlak kalau karakter ini punya sejarah seperti apa. Meskipun, ada beberapa karakter yang informasi sejarahnya lebih mudah ditangkap. Seperti misalnya Jake, Ibu, dan Ayahnya. Mereka yang “bernama” di credit title lebih mudah dicari sejarahnya dan disusun sendiri lalu kami simpulkan apakah lakunya relevan atau tidak dengan sejarah si karakter. Misalnya pada respon Jake di adegan ketika Jake membawa si perempuan ke sekolahnya dan mengatakan bahwa masa sekolah adalah masa paling mengerikan dalam hidupnya. Kami rasa informasi itu akhirnya membuat lakunya di toko es krim logis. Mungkin para penjual di toko es krim itu adalah pembully nya dulu, atau semacamnya.
Tapi pada karakter yang tidak bernama seperti si tokoh utama, Jessie Buckley yang di credit title hanya disebut Woman, kami makin nggak tahu siapa dia dan bagaimana tiga dimensi karakternya tersusun. Kami bahkan hampir merasa tokoh Woman di I’m Thinking of Ending Things ini sama seperti tokoh di naskah-naskah Samuel Beckett. Artinya tokoh-tokoh yang dimensinya tidak lengkap. Ia mungkin memiliki fisiologis, tapi tidak dengan sosiologis atau psikologis. Nah, Woman tampaknya seperti itu. Mungkin ada, tapi sedikit, samar dan sangat sulit ditemukan. Sepertinya itu yang membuat kami agak bingung pada beberapa respon yang dilakukan Woman.
Ada beberapa laku yang muncul tiba-tiba. Misalnya ketika di dalam mobil, lalu muncul tangisan saat membaca puisi. Kenapa dia menangis? Apa yang membuatnya menangis? Sampai akhir film kami tak menemukan jawabannya. Meskipun, selama di mobil dan selama Woman melakukan V.O, kami tetap melihat ekspresi yang relevan dengan V.O nya. Nah, ini yang kami bilang menarik. Walau pun sejarah dan basis tokohnya mungkin buat kami sebagai penonton agak kabur, nampaknya untuk para pemain tidak. Atau, jika kabur atau samar, mereka tetap bergerak pada peristiwa dan tetap bergerak dari satu pikiran dan perasaan tokoh ke pikiran dan perasaan tokoh yang lain. Sepertinya itu yang dilakukan oleh Jessie. Itu kenapa, semua lakunya hampir bisa kami bilang selalu sesuai peristiwa.
Kami tak tahu bagaimana proses pembuatan film ini, entah itu proses kreatifnya, atau proses perbincangan aktor dan sutradara. Mungkin sutradara tetap memberikan penjelasan siapa karakternya. Atau mungkin di novel yang ditulis Iain Reid tokohnya tetap memiliki latar belakang sejarah yang jelas. Tapi jika kami mengenyampingkan entah itu novelnya atau proses kreatif pembangunan tokohnya, kami merasa permainan setiap aktor di I’m Thinking of Ending Things kuat di meski berlubang. Beruntunglah ada responnya atas peristiwa yang membantu “menambal lubang” tersebut. Jadi, seharusnya, sesulit apapun bermain di film surealis, semua kembali pada prinsip dasar bahwa acting is reacting.
Itu menurut kami. Bingungkan? Sama, kami juga. Kalau menurut kalian bagaimana permainan para aktor di I’m Thinking of Ending Things?