Siapa itu Aktor

Jika kamu lebih suka mendengarkan daripada membaca, bisa mendengarkan versi Podcastnya DISINI.

 

Siapa itu Aktor? Pernah terlintas nggak pertanyaan semacam itu? Siapa itu Aktor? Apakah Aktor adalah orang-orang yang pernah main film, masuk ke kamera, terekam kamera, main di atas panggung, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan akting? Atau siapa Aktor sebenarnya? Kalau dokter, misalnya, kan kita sudah jelas tahu batasannya dengan cukup jelas. Ketika dia lulus dari sekolah kedokteran, memiliki sertifikat sebagai dokter, berpakaian seperti dokter, bekerja di rumah sakit, memahami teori-teori kesehatan, bisa mengoperasi, memiliki ruang kerja dan tanggung jawab yang jelas, dan hal-hal yang berhubungan dengan kedokteran, maka kita bisa menyebutnya sebagai seorang dokter. Tapi bagaimana dengan Aktor? Apa yang bisa menandakan bahwa seseorang kita sebut sebagai Aktor? Apakah ketika ia yang muncul di layar kaca, layar lebar, panggung, atau di radio bisa kita sebut sebagai seorang Aktor?

 

Kita coba telaah satu persatu. Kita mulai dari arti kata Aktor. Kalau kita lihat dari KBBI, Aktor mempunyai definisi sebagai pria yang berperan sebagai pelaku dalam pementasan cerita, drama, dan sebagainya di panggung, radio, televisi, atau film, dan/atau orang-orang yang berperan dalam suatu kejadian penting. Kita coba lihat lagi pengertian yang lain. Kali ini dari Oxford Dictionaries. Dikatakan bahwa, Aktor adalah orang yang memiliki profesi yakni berakting di panggung, film, atau televisi. Oxford punya pengertian yang sama dengan KBBI secara garis besar. Kecuali soal Aktor sebagai profesi. Sementara dari Cambridge Dictionaries mengatakan bahwa Aktor adalah seseorang yang berpura-pura menjadi orang lain di dalam film, teater, televisi, atau radio. Nah, kalau dalam pengertian Cambridge, sedikit lebih spesifik dan sama, tapi tidak menyebutkan Aktor sebagai profesi, tidak seperti Oxford. Meskipun Cambridge menyebutkan “berpura-pura menjadi orang lain”, dimana secara sederhana dan pemahaman dasar, Aktor dalam pengertian Cambridge punya tugas “berpura-pura menjadi orang lain”. Dalam pengertian Cambridge, Aktor tidak hanya “muncul” di TV dan bisa disebut Aktor. Ia harus “berpura-pura menjadi orang lain” dulu baru bisa disebut Aktor. Tapi apakah itu cukup? Apakah pernah menjadi pelaku dalam pementasan, film, atau drama radio atau TV dan “berpura-pura menjadi orang lain” sudah bisa disebut sebagai Aktor? Mungkin dalam sudut pandang bahasa, layak disebut sebagai seorang Aktor. Tapi bagaimana dengan sudut pandang yang lain? Kita coba telaah dari beberapa tokoh Keaktoran dunia dan nasional.

Dalam buku Sistem Pelatihan Lakon yang ditulis Shomit Mitter, Aktor itu harus memiliki fisik prima, fleksibel, mampu mengobservasi kehidupan, menguasai kekuatan psikisnya, mengetahui dan memahami tentang naskah lakon, berkonsentrasi pada imaji, suasana, dan intensitas panggung, dan harus bersedia bekerja secara terus menerus serta serius mendalami pelatihan demi kesempurnaan diri dan penampilan perannya. Kalau dari pengertian itu, maka kita mulai masuk dalam ranah kerja Aktor. Jadi, kita lihat apakah seseorang itu bisa disebut Aktor dari ruang kerjanya. Seperti yang diketahui, ruang kerja Aktor secara sederhana dan dangkal adalah akting. Tapi akting yang seperti apa?

 

Kalau menurut Suyatna Anirun dalam buku Menjadi Aktor, Aktor memiliki tugas membawakan dan menghidupkan laku. Artinya harus menampilkan atau mempertunjukkan tingkah laku, berbuat seperti seseorang yang bukan diri kita sendiri. Lalu menurut Rikrik El Saptaria, Act atau Acting, yang dilakukan Aktor, adalah perpaduan antara atraksi fisikal (ketubuhan), intelektual (analisis karakter dan naskah) dan spiritual (transformasi jiwa). Jadi ada elemen fisik yang digunakan, kecerdasan yang terpakai, dan elemen spiritual yang ketiganya lebur jadi satu sehingga terbentuklah Acting yang dilakukan oleh para Aktor. Sementara menurut Mutiara Sani dalam pengantarnya di buku Persiapan Seorang Aktor karya Stanislavski mengatakan bahwa; Seni Akting adalah seni menciptakan ruh manusia yang berbeda di dalam dirinya.

Nah, dalam sudut pandang mencari siapa Aktor dari tugasnya, kita sepertinya sedikit bisa menyimpulkan bahwa tugasnya ialah menghidupkan laku dan berlaku yang bukan diri kita. Jadi, dari sudut pandang ini, seseorang mungkin bisa disebut Aktor ketika ia melakukan tugasnya yang mungkin dalam pengertian Shomit Mitter adalah yang paling spesifik di antara 3 pengertian lainnya. Seperti seorang dokter yang melakukan tugasnya sebagai dokter baru bisa disebut dokter. Lalu apakah penjelasan dari sudut pandang ini cukup?

Siapa sebenarnya Aktor itu? Kalau kita bisa menyimpulkan sedikit dari beberapa definisi secara bahasa yang kita cantumkan di atas, maka kita bisa saja menyebut siapapun yang muncul di televisi sebagai seorang Aktor. Tapi ketika kita melihat dari sudut pandang lain, seperti misalnya dari sudut pandang tanggung jawab kerja atau tujuan kerja, maka seseorang baru bisa disebut Aktor ketika ia menghidupkan laku atau berlaku (dalam pengertian yang sederhana, pada artikel berikutnya kita akan membahas soal menghidupkan laku). Tapi kita sepertinya juga tidak bisa berhenti pada sudut pandang itu saja. Semua orang bisa mencipta, semua orang bisa menangis, tapi apakah orang yang mampu menangis lalu bisa kita sebut sebagai Aktor? Apakah asal bisa menangis, tertawa, marah, dan berdialog secara natural lantas ia bisa disebut sebagai Aktor?

 

Jika kita mencoba menyimpulkan dari banyak penjelasan di atas, ada satu kata yang setidaknya bisa mewakili soal Siapa Itu Aktor. Pertama kita harus kembali pada pengertian bahwa Aktor adalah sebuah profesi, seperti yang disebutkan Oxford. Lalu, karena ia adalah sebuah profesi, maka ada ruang profesional yang harus ia jalani. Seperti layaknya profesi yang lain, ia memiliki tanggung jawab kerja, tujuan kerja, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Profesionalitas. Soal tanggung jawab kerja misalnya, Aktor punya tanggung jawab untuk menciptakan tokoh, atau dalam bahasa Cambridge Dictionaries “berpura-pura menjadi orang lain”. Jadi, ketika ia tidak melakukan tanggung jawab kerjanya untuk berhasil “berpura-pura menjadi orang lain”, maka ia tidak bisa disebut aktor. Bagaimana mau disebut aktor, kalau melakukan tanggung jawab kerja saja tak mau.

Lalu pada tujuan kerja, apa sebenarnya tujuan kerja aktor? Kalau meminjam kata Mutiara Sani, dimana seni akting, yang aktor lakukan, adalah menciptakan ruh manusia yang berbeda dari dirinya, maka tujuan kerja aktor adalah menciptakan ruh manusia lain. Jadi, ketika aktor sudah melakukan tanggung jawab kerjanya untuk menciptakan ruh manusia lain dan ia berhasil menciptakan ruh manusia lain yang bukan dirinya, ia bisa disebut sebagai aktor dengan kualitas yang baik. Sementara ketika ia hanya melakukan tanggung jawab kerja saja, tapi tidak berhasil menciptakan ruh manusia lain, maka ia tetap bisa disebut aktor, tapi dengan kualitas yang tidak cukup baik.

Ingat, pengertian kami ini tidak akan berhenti. Ini hanya kesimpulan sementara, yang di satu sisi mencoba mengingatkan orang-orang yang “berkecimpung di dunia dengan tanggung jawab kerja sebagai Aktor”, untuk menyadari bahwa ia sedang memegang sebuah profesi yang butuh profesionalitas. Sementara di sisi lain, kami juga mencoba mengingatkan orang-orang di luar aktor, untuk menyadari bahwa Aktor adalah sebuah profesi, peran besar atau kecil, yang punya hak dan kewajiban, dimana hak dan kewajiban itu harus dipenuhi. Bukan hanya soal pembayaran dan tetek bengek yang berhubungan dengan uang, tapi seperti layaknya Dokter yang butuh fasilitas untuk bekerja, ruang yang baik untuk bekerja, partner yang mendukung pekerjaannya, dan lain sebagainya, aktor juga membutuhkan itu.

Apakah kalian punya pendapat lain? Silahkan tinggalkan di kolom komentar ya. Mari berbincang kawan!

Terima kasih, Viva Aktor!

About The Author