Da 5 Bloods; Kuat Tapi Berlebihan

Kami sebenarnya sudah menonton Da 5 Bloods dari beberapa minggu yang lalu. Jujur saja, awalnya kami agak ragu untuk menuliskan acting review film ini. Di momen pertama kami melihat Da 5 Bloods, kami memang merasa ada akting yang kuat, tapi kami merasa aneh dengan akting yang intens itu. Karena itulah kami kemudian menunda sementara membuat Acting Review Da 5 Bloods. Terlebih lagi pada beberapa minggu belakangan muncul banyak film yang permainannya jauh lebih menarik. Tapi akhirnya kami memberanikan diri menonton Da 5 Bloods lagi hari ini. Meski ada ketakutan mendapatkan kesan yang sama seperti momen kami menonton pertama, kali ini kami berusaha menemukan apa masalahnya. Jadi, ini Acting Review Da 5 Bloods.
Da 5 Bloods, Delroy Lindo dan Chadwick Boseman
Di Acting Review Da 5 Bloods ini kami hanya akan membahas dua orang itu. Delroy Lindo yang menjadi Paul dan Chadwick Boseman yang menjadi Norman. Sementara pemain yang lain, akan kami sebut di bagian akhir Acting Review ini, jika cukup menarik.
Pertama mari kita bahas soal Delroy Lindo. Pemain yang satu ini disebutkan oleh banyak pihak akan mampu menembus nominasi Oscar. Kami awalnya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh beberapa expert yang bisa kalian lihat di beberapa website seperti Variety atau Goldderby. Terutama sebelum nominasi Golden Globe dan Screen Actors Guild rilis. Tapi setelah dua penghargaan itu rilis, kami jadi agak ragu. Kenapa? Sejauh yang kami pernah teliti, ada kecenderungan aktor yang masuk Oscar pasti akan masuk dua penghargaan itu, atau setidaknya salah satu, sebagai nominasi. Sayangnya Delroy Lindo tidak masuk keduanya. Meski begitu kami masih menduga kalau Delroy memiliki kesempatan masuk Oscar terlebih setelah namanya masuk Longlist BAFTA dan nominee Critics Choice Awards. Tapi terlepas dari itu semua, bagaimana permainan Delroy?
Pertama, soal capaian fisiologis, kami mendapati temuan yang menarik. Hal itu ialah warna suaranya yang berubah cukup drastis. Jika kami tak salah dengar, dari beberapa interview Delroy yang sudah kami tonton, warna suara Delroy yang asli terdengar agak ringan. Sementara warna suara Paul, tokoh yang dimainkan Delroy terdengar lebih berat dan serak. Lalu untuk aksen, kami tak mendapati perubahan aksen yang signifikan. Mungkin karena tokoh yang Delroy mainkan memiliki latar belakang sosial yang tidak terlalu jauh, sehingga aksen tak perlu diciptakan. Setelah suara, pada bentuk fisik kami tak menemukan capaian yang sama signifikannya dengan capaian suara. Jadi kita lewat kan saja.
Untuk capaian Delroy sendiri, yang paling menarik dibahas adalah permainan emosinya serta bagaimana cara Delroy mengejawantahkan tokoh yang memiliki penyakit PTSD. Jika kamu menonton film ini, kamu pasti sudah tahu bahwa ada informasi di beberapa dialog yang menyebutkan bahwa ia adalah tokoh yang PTSD. Kami menangkap cara pertama Delroy menunjukkan penyakitnya itu adalah dengan perubahan tempo tubuh. Jika diperhatikan baik-baik, tempo tubuh Delroy cenderung lebih cepat dan terkadang agak acak dan mungkin agresif. Sejauh yang kami tahu tentang PTSD, beberapa gejala perilaku yang bisa muncul antara lain; agitasi, mudah tersinggung, waspada yang berlebihan, cemas, merasa sedih dan tak punya harapan, takut yang berlebihan, marah, dan beberapa gejala lain. Tapi di antara banyaknya gejala PTSD secara behavioral, kami melihat Delroy mengambil beberapa gejala penting seperti mudah tersinggung dan waspada yang berlebihan sehingga kesan agresif yang berlebihan mampu muncul dengan baik.
Pada cara Delroy merepresentasikan kondisi PTSD itu kami acungi jempol dan tak ada masalah. Justru disinilah kami belajar bahwa bagaimana pun, data itu penting. Setelah data didapatkan, aktor punya hak penuh untuk menunjukkan data itu, entah keseluruhan, atau sebagian.
Tapi, di antara kuatnya permainan Delroy, capaian fisiologisnya yang cukup signifikan, dan caranya menunjukkan PTSD, kami masih merasa permainan Delroy artifisial. Padahal, kami melihat Delroy mendengarkan dengan sangat baik. Semua kemampuan dasar keaktoran sudah dilakukan Delroy dengan sangat baik. Tapi kami masih merasa permainan Delroy artifisial. Kami mengulang menonton beberapa adegan beberapa kali. Hingga akhirnya kami menemukan jawabannya.
Coba perhatikan adegan ketika Paul menyidang anaknya. Kita bisa melihat Delroy mendengarkan dengan baik, meski pandangan matanya sering tidak fokus dan memunculkan kesan tidak in the moment. Tapi perhatikan bagian terakhir, setelah ia marah dan mau pergi. Sebelum pergi, Delroy sempat mau menusuk makanannya lagi, tapi gagal dan makanannya jatuh. Kami rasa laku itu tidak perlu tak terkesan terlalu mengada-ada. Kami jadi merasa terkadang Delroy memasang “bunga” yang terlalu banyak pada permainannya. Akhirnya juga, kami merasa beberapa respon yang dikeluarkan Delroy di Da 5 Bloods terkesan menunggu dan mengada-ada.
Lalu coba kalian perhatikan adegan ketika dia di atas perahu. Sejauh yang kami lihat, cara Delroy menyusun emosi karakter cukup baik di awal. Meski agak terasa kurang menyentuh karena matanya tertutup kacamata. Sampai momen sebelum tos, kami merasa semuanya aman-aman saja. Tapi ketika tos, lalu Delroy mengucapkan “Norm” dua kali, kami merasa “Norm” yang kedua tidak perlu muncul dan terlalu mengada-ada. Memang intens, tapi kami merasa pengucapan kata itu terlalu mengada-ada. Mungkin karena pada pengucapan “Norm” yang pertama sudah cukup intens. Ketika ditambah lagi, intensitasnya malah jadi berlebihan dan mengakibatkan permainan Delroy terkesan berlebihan sampai artifisial. Jika kalian perhatikan baik-baik, ada banyak sekali tambahan dialog yang tidak perlu. Tambahan-tambahan dialog itu malah justru membunuh permainan Delroy yang awalnya sudah kokoh.
Tapi pengulangan yang “membunuh permainan” itu tidak terjadi di semua adegan. Pada adegan dimana Paul bilang kalau dia tidak bisa membalas cinta David, Pengulangan semacam itu terjadi lagi. Tapi penggalannya menarik, jedanya tepat, perjalanan emosinya juga sesuai dan tidak mengada-ada. Kami bisa membaca dengan jelas bagaimana emosi Paul berjalan dan berubah. Kemudian adegan lain yang juga kuat terjadi ketika dia menemukan tengkorak Norm. Kita bisa melihat tangga emosi yang jelas dan logis serta permainan emosi yang kokoh. Pada adegan itu kami tak menemukan permainan emosi yang aneh. Kami awalnya sempat merasa apakah seperti ini cara orang PTSD merespon sesuatu? Kami pikir iya, jika itu cara merespon. Tapi tidak pada mengulang-ulang dialog atau melakukan aksi-aksi yang tidak penting. Jika bicara soal respon dan cara merespon orang PTSD, kami rasa Delroy sudah mendekati cara orang PTSD merespon. Tapi tambahan-tambahan dialog dan aksi yang tidak penting itu yang justru menurut kami membuat permainannya berlebihan dan cenderung artifisial atau palsu.
Di luar tambahan dialog itu, permainan Delroy sebenarnya cukup intens. Ada banyak adegan menarik, intens, dan kokoh. Misalnya ketika Delroy memisahkan diri dari rombongan, atau monolog panjang Delroy setelah memisahkan diri dari rombongan. Terasa agak sedikit dilebihkan, tapi kami rasa masih masuk dalam ranah orang-orang dengan gangguan Post Traumatic Disorder.
Lalu bagaimana dengan Chadwick Boseman? Jujur saja, tanpa bermaksud menyinggung siapapun, kami agak terkejut Chadwick bisa masuk ke dalam jajaran nominasi SAG. Permainan Chadwick di Da 5 Bloods tidak lebih kuat dari permainannya di Ma Rainey’s Black Bottom. Memang ada banyak adegan intens dan menyentuh, tapi kami rasa tidak lebih baik dari Chadwick di Ma Rainey’s. Apakah mungkin Chadwick masuk ke nominasi sebagai bentuk penghormatan terakhir padanya?
Secara keseluruhan, permainan para aktor di Da 5 Bloods menarik. Masing-masing memang punya daya ciptanya masing-masing. Jika kami harus menyebutkan pemain lain selain Delroy dan Chadwick Boseman, maka kami akan menyebut Clarke Peters yang memerankan Otis dan Paul Walter Hauser yang memerankan Simon serta Norm Lewis yang memerankan Eddie. Ketiganya bermain cukup apik. Itu menurut kami, menurutmu?