[Acting Review] Perempuan Tanah Jahanam; Ciptaan yang Begitu Melulu

Perempuan Tanah Jahanam

Tak dipungkiri bahwa Perempuan Tanah Jahanam adalah salah satu film horor terbaik Indonesia saat ini. Film ini punya banyak alasan kenapa kami sebut begitu. Pertama karena naskah yang matang, kedua karena sutradara yang cerdas, dan ketiga karena sebagian pemain yang bermain cukup apik. 

Kenapa sebagian? Bagaimana dengan keseluruhan pemain? Kenapa juga hanya “cukup apik”? Apakah mereka semua punya capaian yang “Jahanam”? Atau gap penciptaan mereka begitu-begitu saja? 

Perempuan Tanah Jahanam dan Ciptaan yang Begitu Melulu

Mohon maaf jika kami menyebutkan “Ciptaan yang begitu melulu”. Tapi itulah yang kami tangkap pada sebagian pemain di Perempuan Tanah Jahanam. Sebelum membahas siapa yang penciptaannya begitu melulu dan kenapa “begitu melulu” menjadi hal yang patut dikhawatirkan dalam keaktoran, kami berikan sebuah kutipan dari Stella Adler yang ia tulis di bukunya “The Art of Acting”; 

Acting is only when you refuse to use yourself as the character. In the entire history of acting, nobody played himself. There is no such thing in the history of acting as Henry Irving playing Mr. Irving. Outside the theatre is perhaps another matter. But inside, never! They all played characters. (Adler, 2000: 144)

Sudah jelas dikatakan oleh Stella Adler bahwa akting adalah ketika si aktor menolak untuk menggunakan dirinya sebagai karakter. Si aktor harus memerankan karakter, bukan dirinya. Kemudian ada kutipan lain yang makin mendukung kenapa “Ciptaan yang begitu melulu” seharusnya tidak terjadi. 

Every man lives in the moral situation of his moment. What is his moral situation? Does he believe the family should be kept together? Does he believe in divorce? Does he believe in abortion?

Every man is subject to a political situation. What is your character? How did it grow? The social situation is what has created the human being throughout history. Hermits do not need to put on plays for themselves. (Adler, 2000:144-145)

Seperti apa yang dikatakan Stella, setiap orang hidup pada situasi tertentu. Tokoh tersebut tumbuh pada situasi itu. Ia memiliki prinsip tertentu dan lain sebagainya. Setiap tokoh juga hidup pada kondisi politik yang berbeda, tumbuh dengan cara yang berbeda, dan semua itu menghasilkan manusia yang seharusnya berbeda. Bukan manusia yang begitu melulu pada setiap film yang dimainkan si aktor. 

Kami tambah lagi kutipan yang lain untuk memberikan dasar yang tepat bahwa meskipun tokoh yang diberikan oleh si sutradara “itu melulu” si aktor tidak seharusnya terjebak pada typical cast macam begitu. 

If you’re playing “a father,” you’re still not playing a type. You have to ask, “Where did this father come from?” Is he Hamlet’s father? Hamlet’s father had a kingdom. He created a dynasty. He needed a son to carry it on. Is he Strindberg’s character in The Father? Strindberg’s Father is enormously challenged by his position in life. His authority is threatened. (Adler, 2000:145)

Ketika seorang aktor bermain tokoh “Ayah”, si aktor tidak seharusnya terjebak pada typical cast “Ayah” yang umum. Seperti apa yang dikatakan oleh Stella, setiap “Ayah” berbeda. Aktor harus bertanya dari mana si ayah hadir? Bagaimana ia tumbuh, apakah ia menciptakan sesuatu? Dan pertanyaan lain yang membuat tidak ada type cast

Jadi ketika si aktor mendapatkan tokoh “Perempuan yang Selalu Susah”, maka tokoh itu harus selalu berbeda. Kenapa? Alasannya jelas. “Perempuan yang Selalu Susah” itu tumbuh dengan cara yang berbeda di tiap filmnya. Punya nama yang berbeda, sekolah di tempat yang berbeda, lahir di tanggal yang berbeda, dan yang paling pasti adalah manusia yang berbeda. 

Dengan semua penjelasan dari kutipan Stella Adler itulah kami kemudian memutuskan bahwa sebagian pemain di Perempuan Tanah Jahanam terjebak pada type cast yang itu melulu. Kita mulai dari Tara Basro. 

Perempuan Tanah Jahanam

 

 

Tara Basro yang “Terjebak”

Kami hampir tak menangkap capaian yang menarik dari permainan Tara. Pada Flash Review Perempuan Tanah Jahanam, kami sudah menyebutkan bahwa Tara bermain begitu melulu. Pada permainan Tara, kami tak menemukan suara yang berbeda, laku tubuh yang berbeda, cara menjalankan emosi yang berbeda, dan lain-lain. Semuanya hampir sama. Mungkin yang berbeda hanyalah pembawaan atas tokoh tersebut. 

Kami tahu bahwa dalam banyak film, Tara memang diberikan tokoh yang hampir mirip dimensinya satu sama lain. Atau bisa kami sebut bahwa Tara hampir selalu typical cast. Sehingga seperti tidak ada capaian yang menarik atas permainannya. Tapi ingat apa yang dikatakan Stella soal “Ayah” di atas. Bahkan ketika ia memerankan tokoh dengan satu profesi atau kondisi yang sama, tokoh itu tetap berbeda. 

Dalam pemahaman kami yang paling sederhana, tidak ada manusia yang diciptakan sama. Mereka semua pasti berbeda. Bahkan kalau seandainya kita memanggil 10 “Perempuan yang Hidup Susah”, dan menjejerkannya, mereka semua punya bentuk tubuh yang berbeda, warna suara yang berbeda, cara berpikir yang berbeda, sampai pada cara menjalankan emosi yang berbeda. 

Sayangnya pada permainan Tara Basro, kami tak menemukan itu. Bentuk yang ia ciptakan pada tokoh Rahayu/Maya sama persis dengan bentuk yang ia ciptakan pada tokoh Wulan di film Gundala. Bahkan juga di film-filmnya yang lain. Ini bisa dianggap sebagai sebuah kondisi kritis dari seorang aktor. Kami tentu berharap Tara Basro menyadari hal ini dan mengejutkan kami di film berikutnya. 

Tara Basro bukan hadir tanpa capaian. Ia tetap berlaku sebagai seorang “aktor dengan jam terbang tinggi”. Jika kita mengenyampingkan jauh-jauh soal bentuk dan katakanlah ini kali pertama kami menonton Tara Basro, maka kami akan angkat topi atas permainannya. Tara berhasil bermain dengan konsentrasi yang baik. Misalnya pada adegan pertama ketika ia menjaga pintu tol sembari ngobrol dengan temannya, Dini yang diperankan oleh Marissa Anita. Pada adegan tersebut Tara berhasil membagi konsentrasinya dengan baik antara berbincang dan bekerja. Tidak banyak aktor, terutama yang belum memiliki jam terbang tinggi, yang bisa bermain macam itu. 

Sejatinya pada adegan-adegan lain pun, Tara menjalankan responnya dengan cukup baik. Ia bisa mereaksikan apapun yang sedang terjadi di sekitarnya dengan sesuai. Meskipun, lagi-lagi, caranya menjalankan ketakutan, caranya menjalankan pikiran dan respon si tokoh, sama persis dengan tokohnya di film yang lain. Ingat, setiap tokoh punya cara berpikir, cara takut, cara marah, cara tertawa, dan cara-cara lain yang berbeda. Kami hampir bosan melihat Tara Basro bermain. Untungnya ia bisa bermain dengan emosi yang intens. 

 

 

Marissa Anita yang Perlu Berhati-hati 

Sebenarnya Marissa Anita hampir menghadapi persoalan yang sama seperti Tara Basro. Tapi beruntunglah Marissa Anita bahwa ia selalu mendapatkan tokoh yang secara dimensi berbeda. Sehingga bentuk yang sama pada tiap tokoh yang ia mainkan hampir tidak ada. Meskipun, jika kita lihat dengan detail, bentuk-bentuk yang dihadirkan tetap terasa sama. 

Untuk Marissa Anita, kami mendengar suara yang tak berbeda. Bentuk tubuh netral si tokoh pun sama. Meskipun, lagi-lagi, pembawaannya saja yang kelihatan berbeda. Marissa Anita bermain di level yang sama dengan Tara Basro. Itu kenapa kami menuliskan Marissa perlu berhati-hati. Jika Marissa tak menyadari hal ini, maka bisa jadi pada film-film yang selanjutnya, ia akan bermain dengan bentuk yang sama. Apa sebenarnya pemahaman seni peran dalam sudut pandang aktor-aktor ini? Apakah seni peran hanya soal memainkan emosi? Kami perlu kroscek. 

Dalam catatan kami, kami hanya menulis “Marissa Anita bermain sama seperti Tara Basro”. Itu yang terjadi. Iya, memang benar bahwa ia bermain intens dan menjalankan responnya dengan cukup baik. Pada adegan ia dikejar oleh Bambang dan Banyu misalnya, Marissa berhasil menunjukkan intensitas emosi yang baik. Beruntunglah juga bahwa sejauh yang kami pernah lihat dalam film Marissa Anita, ia hampir tak pernah bermain dalam adegan dengan emosi macam itu. Jadi kesan “hampir sama” tak terlalu terlihat. 

Selain itu pada adegan ketika Bambang dan Banyu menjemputnya di rumah, kami bisa melihat permainan pikiran yang berlapis. Ada “pikiran dalam pikiran” yang sedang terjadi di adegan tersebut. Kami bisa melihat dari ekspresi-ekspresi dan lemparan pandang mata yang dilakukan Marissa. 

Begitu pun pada adegan ketika ia digantung dan hendak dibunuh oleh Nyi Misni. Ia berhasil menunjukkan emosi yang intens. Terlebih dengan adegan dibalik macam itu, pasti dibutuhkan konsentrasi yang bagus dari si aktor. Marissa Anita berhasil melakukannya dengan baik. Dengan kondisi terbalik macam itu, ia masih bisa fokus pada apa yang membuat tokohnya ketakutan. Menarik. 

Pemain Lain Perempuan Tanah Jahanam

Lalu bagaimana dengan pemain lain di Perempuan Tanah Jahanam? Kita mulai dari Teuku Rifnu Wikana. Rifnu berhasil menciptakan bentuk tokoh yang menarik. Jika diperdengarkan baik-baik, suara Rifnu sedikit berubah menjadi lebih berat dari suara aslinya. Selain itu tempo bicaranya pun diubah menjadi lebih lambat. Kombinasi penciptaan warna suara yang tidak terlalu jauh dan tempo bicara yang berubah lambat, menghasilkan kesan yang berbeda dari permainan Rifnu yang lain. 

Selain itu permainan emosinya juga cukup intens. Ia berhasil menggunakan matanya dengan baik. Rifnu seperti tahu apa tujuan utama Bimo hadir di adegan tersebut. Sehingga tujuan utamanya itulah yang ia pakai untuk menggerakkan semua perangkat yang dimiliki si tokoh. Hasilnya, permainan emosi yang intens, dan respon yang berjalan baik. 

Kemudian Kiki Narendra. Kami memang tak mendapati perubahan fisiologis yang signifikan. Fisiologis disini bukan hanya soal kurus dan gemuk ya. Tapi juga cara berjalan, cara tersenyum, cara melihat, warna suara, dan hal lain yang berhubungan dengan fisik. Kami tak mendapati hal itu. Justru dalam permainan Kiki Narendra, yang paling mencuri perhatian kami adalah ketika ia menjemput Dini yang kemudian mengaku sebagai Rahayu. 

Dalam adegan tersebut, Kiki Narendra berhasil menunjukkan pertumbuhan pikiran dan perasaan yang tepat. Jika diperhatikan baik-baik, setelah Dini mengaku sebagai Rahayu, ada suara yang bergetar seperti menahan sesuatu. Matanya pun seperti berisi kegembiraan yang luar biasa sekaligus kekejaman yang tersembunyi. Kiki Narendra berhasil melakukan apa yang dalam keilmuan Seni Peran disebut Akting dalam Akting. Bentuk itu pun memiliki motif yang jelas. Dalam sudut pandang kami, Bambang berlaku macam itu karena di depannya sedang berdiri perempuan yang akan mengakhiri kutukan 20 tahun yang terjadi di desanya. Jadi kemunculan emosi dan bentuk itu tepat. Selain adegan tersebut, kami tak mendapati permainan pikiran dan perasaan tokoh yang menarik. Mungkin juga karena tidak adanya kesempatan. 

Lalu Ario Bayu. Di film ini kami mendapati perubahan fisik yang minim. Salah satu yang berubah adalah tampilan wajah yang tumbuh brewok. Selain itu juga tempo tubuh tokoh yang dalam penglihatan kami seperti diperlambat. Kami merasa tempo tubuh yang diperlambat itu relevan dengan tokohnya yang seorang dalang dan hidup di sebuah desa terpencil. Dengan kondisi sosial macam itu, maka wajar ketika Ki Saptadi hadir dengan tempo tubuh yang pelan. 

Lalu soal permainan emosi dan pikiran, kami mendapati permainan yang intens. Meskipun, tak bosan kami katakan, bentuknya mirip dengan bentuk tokoh yang ada di film Ario Bayu sebelumnya. Seperti misalnya pada adegan terakhir ketika ia akhirnya menggorok dirinya sendiri. Pada adegan itu, Ario Bayu berhasil mendengarkan lawan main dan merespon sekitar dengan baik. Sehingga respon yang keluar relevan dengan apa yang terjadi di sekitar tokoh waktu itu. Permainan Ario Bayu sejatinya menarik, meski tidak pada semua sisi. 

 

 

Sementara untuk Asmara Abigail, kami mendapati effort untuk terlihat berbeda. Meskipun, beberapa bentuk tubuhnya masih sama. Seperti misalnya caranya melihat. Perhatikan baik-baik cara tokoh Ratih yang dimainkan Asmara melihat dan tokohnya di film Gundala melihat. Bentuknya sama persis. Kami tak tahu, apakah itu karena kontur wajah atau memang tidak ada penciptaan. Tapi bukankah dengan kontur wajah apapun, cara melihat bisa diubah? 

Satu capaian yang menurut kami menarik di satu sisi tapi luput di sisi yang lain pada permainan Asmara adalah soal logat yang ia pakai. Dari apa yang kami dengar, Asmara menggunakan logat Jawa yang kental. Penggunaan logat itu juga yang sepertinya membuat warna suara Asmara terdengar sedikit berubah. Tapi sayang, kami menemukan luput yang sangat terasa pada logat Asmara. Hal itu terjadi ketika ia mengucapkan Mbak. 

Dalam bahasa Jawa, Mbak diucapkan dengan cara mulut mengatup terlebih dahulu baru konsonan B diucapkan. Sehingga dalam penulisan, ia ditulis Mbak. Pada Asmara, beberapa pengucapannya memang seperti itu. Tapi banyak pengucapan Mbak yang berubah menjadi Bak. M nya hilang. Mungkin itu sederhana, tapi untuk tim kami yang sebagian berdarah Jawa, pengucapan itu terasa aneh dan membuat logat yang sudah dibangun terasa hampir palsu. 

Satu lagi yang ingin kami tahu. Sebenarnya, tokoh Ratih ini ingin dimunculkan dengan kesan macam apa? Apakah ia sengaja dimunculkan dengan kesan menyeramkan? Misterius? Atau apa? Jika tokoh ini sengaja dimunculkan dengan kesan misterius, maka kontur wajah dan cara Asmara memandang, berhasil merepresentasikan hal itu (diluar soal bentuknya yang sama). Semoga hal itu karena tokoh yang ingin dimunculkan misterius, bukan efek yang semata hadir karena bentuk wajah Asmara. 

Angkat Topi Setinggi-tingginya Untuk Christine Hakim

Dalam sudut pandang kami, dengan semua teori keaktoran dan referensi yang kami punya, Ibu Christine Hakim adalah aktor dengan capaian paling lengkap, signifikan, dan menarik di film ini. Jika kita break down Ibu Christine Hakim berhasil merubah sedikit warna suara, aksen dan logat, bentuk tubuh netral si tokoh, cara berjalan, bentuk wajah, dan cara si tokoh menjalankan pikiran serta perasaannya. 

Pada kemunculan pertama tokoh Nyi Misni, kami sudah dibuat berdecak. Ibu Christine Hakim berhasil berubah ke bentuk Nyi Misni. Ada satu lagi, di awal kemunculannya, kami menemukan laku kecil yang sangat menarik. Laku itu adalah bergeraknya pundak bagian kanan ke atas, bersamaan mengernyitnya wajah bagian kanan. Tapi sayang, gerakan kecil itu hanya dilakukan sekali. Kami pun bertanya-tanya. Apakah gerakan itu memang tidak bisa muncul di adegan-adegan lain dan hanya bisa muncul sekali saja? Kenapa gerakan itu tidak sekaligus ia jadikan ciri dan dimunculkan pada beberapa adegan yang senada dengan adegan pertama? Jika ada yang membaca artikel ini dan kenal dengan Ibu Christine, tolong tanyakan. 

Lalu jika kita bicara soal cara si tokoh merespon, Ibu Christine Hakim adalah salah satu yang berhasil memunculkan bentuk respon yang berbeda. Dalam sudut pandang kami, bentuk respon itu jadi berbeda karena bentuk netral dari tokohnya sudah berbeda. Maka mau tak mau bentuk respon dengan emosi apapun dan atas kondisi apapun sudah pasti akan ikut berubah. 

Mungkin itu yang perlu dipelajari oleh banyak aktor lain di film ini yang bentuk respon dan cara mereka menjalankan pikiran sama dengan caranya di film lain. Perlu digaris bawahi bahwa jika bentuk dasar tokoh sudah berubah jauh dari diri si aktor, maka disadari atau tidak cara dan bentuk respon si tokoh juga pasti akan berubah. 

Secara keseluruhan, permainan para cast Perempuan Tanah Jahanam ini oke. Oke dalam sudut pandang “akting hanyalah soal bermain emosi”. Jika kita mengacu pada semua yang dikatakan Stella Adler di atas, maka beberapa bagian dari permainan para Cast perlu diperbaiki. Di luar itu, setidaknya para cast sudah bermain sesuai porsi mereka. Satu hal yang kadang dilupakan oleh aktor. Bermain sesuai porsi tokohnya, tidak melebihkan atau mengurangi. 

Terima kasih, viva aktor

About The Author